Selasa, 15 Agustus 2017

TOKOH-TOKOH SUFI DAN AJARAN - AJARANNYA

TOKOH-TOKOH SUFI DAN AJARAN - AJARANNYA

           Oleh : KH. Kharisudin Aqib, M. Ag

Banyak orang sufi yang ternama dalam Islam, disamping berkembangnya tasawuf
dari abad kea bad juga muncul dari berbagai Negara yang dominasi masyarakatnya Islam.
Dalam diktat ini hanya diambil beberapa tokoh saja,
diantaranya :
A. Ibnu ‘Araby
            Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah Abu Bakar Muhyiddin
ibnu ‘Araby Al-Hatimi At-tahi. Lahir di Mercia (Andalusia) 17 Ramadhan
560 H. (28 Juli 1165 M) dan meninggal di Damaskus tahun 1240 M.
            Bila orang membicarakan filsafat, nama Ibnu ‘Araby termasuk,
dan didalam daftar sufispun beliau populasir. Dalam teorinya di bidang
tasawuf, yaitu:
1. Wihdatul Wujud
            Dia telah menegakkan fahamnya dengan berdasarkan renungan
filsafat dan dzauq tasawuf. Baginya wujud itu hanya satu, wujud makhluk
adalah ‘ain wujudnya khaliq, dan wujud alam adalah ‘ain wujudnya Allah,
Allah adalah hakikat alam. Tak ada perbedaan antara makhlukdankhaliq,
perbedaqan itu hanya rupa dan ragam dari hakikat yang Esa. Oleh karena
Tuhan dan lam merupakandua sisi atau wajah dari satu hakikat, yakni dari
segi lahir disebut alat dan dari segi batin atau hakikat disebut Tuhan.
2. Al – Haqiqatul Muhammadiyah
            Allah adalah wujud yang mutlak, maka Nur (Allah) itu
sebagian hakikat Muhammadiyah, dan itulah sebagai kenyataan yang pertama
dalam Uluhiyah. Dari situ terjadilah segala alam, seperti alam Jabarut,
alam Malakut, alam Ajsam, alam Arwah. Haqiqatul Muhammadiyah merupakan
sumber yang qadim, melimpahkan Nurnya secara komplit dengan ilmu dan
amal kepada para Nabi dan Auliya’ dan semua insane yang kamil. Nur
Muhammad itu qadim, sebab ia sebagian dari yang satu, yang tunggal. Nur
Muhammad tetap ada biarpun tubuhnya telah wafat, sebab ia adalah
sebagian dari Tuhan.
3. Kesatuan Agama
            Akibat dari kedua teori di atas, timbullah teori kasatuan
agama, bahwa yang disembah oleh semua penganut adalah Dia (Allah) yang
maha Esa. Adapun berhala, ka’bah dan sebagainya hanyalah sekedar
lambang. Biarpun tak ada lambang yang berbentuk, apabila Allah yang
disembah, maka ibadah itu adalah sah.[2]

B. Ibnu Taimiyah
            Taqiuddin Abdul Abbas bin Abdul Halim bin Abdussalam bin
Abdullah bin Muhammad bin Taimiyah. Lahir di Harran pada senin tanggal
10 Rabiul Awal 661 H (22 Januari 1263 M), dan meninggal di Damaskus pada
tahun 726 H (1328 M).
            Adapun ajaran Ibnu Taimiyah lain dengan ajaran Ibnu ‘Araby.
Beliau penentangberat dari ajaran Ibnu ‘Araby dalam paham Ahli Wihdah,
Ahli Hulul dan Ahli Ittihat.
            Ajaran – ajarannya, antara lain :

1. Hubungan makhluk dengan khaliq adalah langsung tanpa perantara,
    tidak boleh memakai perantara atau wasilah.
2. Perhubungan langsung itu berpedoman pada petunjuk Rasulullah saw.
    Dengan lengkap, tak boleh berlebih atau berkurang, karena akan
    meninggalkan derajat iman.
3. Muhammad adalah hamba Allah dan pesuruh Allah dan barang siapa yang
    memakai cara hidup seperti yang digariskan beliau, dapat menjadi
    waliyullah.

Disini bahwa Ibnu Taimiyah berusaha mengembalikan umat kepada keaslihan
ajaran Nabi Muhammad saw. Mengenblikan tasawuf ke pangkal tauhid.[3]

C. Hasan Basri
            Beliau adalah seorang zahid yang amat masyhur dalam
kalangan tabi’in. lahir pada tahun 21-110 H. beliau juga yang pertama
kali membicarkan ilmu-ilmu kebatinan, kemurnian akhlak, dan usaha
mensucikan jiwa di masjid Bashrah. Segala ajarannya tentang kerohanian
yang senantiasa diukur dengan sunnah-sunnah Nabi.[4]

            Pandangan tasawufnya senantiasa bersedih hati dan takut,
sehingga membawa kepada pendirian beliau untuk zuhud, menolak akan
kemegahan, semata menuju kepada Allah, tawakkal, antara takut dan
mengharap tidak pernah terpisah. Dan rupanya pendirian hidup Hasan Basri
itu dijadikan pedoman oleh seluruh ahli tasawuf.
            Terkutip ajaran-ajaran beliau sebagai berikut :

1. Perasaan takutmu sehingga bertemu demgam hati yang tenteram, lebih
    baik dari pada perasaan tenterammu yang kemudian menimbulkan takut.
2. Dunia adalah negeritempat beramal. Barang siapa yang bertemu dunia
    dalam rasa benci kepadanya dan zuhud, maka akan berbahagialah dia
    dan beroleh faedah.
3. Tentang tafakkur. Tafakkur membawa kita kapada kebaikan dan berusaha
    mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat, kenudian meninggalkannya.
4. Orang yang beriman adalah orang yang telah berduka cita pagi dan
    sore, karena dia hidup di antara dua ketakutan (akan dosa yang
    lampau dan balasan yang akan menimpanya).[5]
  
D. Al – Ghazali
            Nama besarnay Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al- Imam
Al-Jahl, Abu AHmid Ath Thusi Al-Ghazali. Populair dengan gelar Hujjatul
Islam, karena banyak pembelaannya kepada keislaman. Beliau lahir di
Thusia pada tahun 450-505 H (1058-1111 M.).[6]

            Al-Ghazali berhasil membela kemurnian Islam dari dua serangan :
-          Pertama, serangan dari dunia filsafat yang menjadikan ilmu
tentang ketuhanan berupa pengetahuan ahli semta-mata yang membingungkan
umat Islam.
-          Kedua, mengembalikan tasawuf sesuai dengan syari’at Islam
yang sebelumnya telah keterlaluan dan membahayakan amal syari’at Islam.
Perhatian Al-Ghazali banyak dicurahkan di bidang akhlak sopan santun
yang tercakup dalam kitab Ihya’ Ulumiddin, yang isinya terbagi menjadi 4
jilid:

1. Bagian Ibadah         : Tentang rahasia beribadah
2. Bagian Adab            : Tentang sopan santun
3. Bagian Kejahatan     : Tentang penyakit-penyakit dan keburukan dunia serta cara  membersihkan hati.
4. Bagian Pujaan           : Tentang Syukur dan cinta.

Al-Ghazali mencapai kesufiannya berawal dari perasaan syak yang timbul
dari ilmu kalam (teologi), mengapa terjadi perbedaan atau pertentangan
pendapat ? Beliau harus berfikir mana yang benar, sehingga kemudian
masuklah sebagai filosof islam (mempelajari ilmu filsafat) sebagai
halnya dalam ilmu kalam, dalam filsafat Al-Ghazali juga menjumpai
argumen-argumen yang tidak kuat. Akhirnya dalam tasawuflah ia memperoleh
raga syak yang lama mengganggu dirinya.[7]
Dengan demikian satu-satunya pengetahuan yang menimbulkan kenyakinan
akan kebenarannya bagi Al-Ghazali adalah pengetahuan yang diperoleh
secara langsung dari Tuhan dengan Tasawuf. Beliau menolak
ajaran-ajarannya Ibnu ‘Araby juga Al Hallaj tentang (Hulul atau Wihdatul
Wujud). Kemudian memurnikan kembali pada tauhid yang benar, yang
berpangkal pada sunnah Rasul saw.
Tasawuf Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah terdapat sedikit perbedaan, yang
mana Ibnu TAimiyah dalam zuhudnya masih mau ikut dalam berperang demi
keberadaan masyarakat Islam. Akan tetapi sebaliknya, beliau hanya
mementingkan dirinya sendiri, mencari keselamatan sendiri, tanpa
memperdulikan keadaan dunia masyarakat.
Adapun ajaran-ajaran Al-Ghazali antara lain :

1. Dengan ilmu klam saya dapat mengatakan bahwa Allah itu ada, tetapi
    adanya Allah itu tiada saya rasa.
2. Allah itu hendaknya terasa bukan terpikir.
3. Dalami dahulu benar-benar rasa tauhid atas dasar LAA ILAA HA
    ILLALLAH menurut  Al-Qur’an dan hadits, bilamana tidak, engkau akan
    sesat dalam Whdatul Wujud.
4. Dengan tauhid menimbulkan iman, dengan taat menjalankan syari’at
    terlihatlah cinta Allah dan Rasul. Maka siapa yang tidak bertauhid,
    dia tidak beriman.
5. Jangan perdulikan keadaan dunia, terimalah takdir Allah dengan sabar
    dan tahankanlah penderitaan, kedhaliman raja-raja, karena itu adalah
    cobaan.

E. Al-Hallaj
Nama besarnya adalah Abu Wusith Al-Husain bin Manshur Al-Hallaj Muhammad
Al-baidhowi. Lahir di Thur, salah satu desa dekat Baida di Persia, pada
tahun 244H dan meninggal tahun 309 H. dan merupakan salah seorang murid
dari Sahl bin Abdullah At Tusturi dan berguru pula pada Amar Al-Makki
dan Al-Juanaid.[8]
Al-Hallaj hidup di zaman pemerintahan khalifah Al-Maktadirbillah. Dan ia
kawin dengana nak Abu Ya’kub Al-Aqtha’. Pernah dua kali ia ditahan
polisi kerjaan Abbasiyah dan atas perintah perdana menteri Ibnu Isa
dalam tahun 913 H. Al-Hallaj dipenjara selam 8 tahun.
Ajaran-ajarannya banyak dilukiskan berupa puisi atau terkandung prosa.
Adapun sari teorinya adalah tentang: Hulul, An Nurul Muhammad dan
perdamaian seluruh Agama. Dan isinya tidak berbeda denagn teori Ibnu
‘Araby yaitu :
1. Al-Hulul
            Yaitu bersatunya Al-Khaliq dengan makhluk, menjelmalah Tuhan
kepada dirinya apabila seseorang bersih batinnya dan senantiasa hidup
dalam kehidupan batiniyah maka pada mulanya ia muslim, lalu mukmin, lalu
shaleh dan yang terakhir muqarrab pada Allah setelah ia sampai pada Hulul.
2. An-Nurul Muhammadiyah
            Cinta kepada Allah adalah sebagai cinta yang pertama dan
cinta kepada Muhammad sebagai cinta kedua, sebab Muhammad adalah
penjelmaan yang Esa, Dialah yang batin dalam hakikat dan lahir dalam
ma’rifat. Jadi Muhammad sendiri sebagai Abdullah dan Aminah serta
sebagai Nur yang terlimpah, Allah memancarkan diri-Nya kepada sesuatu
yang dinamai Muhammad.
3. Perdamaian Seluruh Agama
            Agama islam menuju pada Allah. Jadi antara agama yang satu
dengan yang lain tak ada bedanya, hanya perbedaan jalan saja dan itu
merupakan taqdir Allah tak perlu diperselisihkan, maksud dan
tujuannyapun sama, yeitu kembali pada Allah.
         
            Akibat dari ajaran-ajaran tersebut, beliau dihukum pancung
oleh pemerintah, karena dianggap membahayakan dan merupakan ajaran yang
sesat.[9]

    Hikmah dari Kisah Waliyullah

Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillahi
Rabbil ‘aalamiin Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie
Washohbihie Waman Walaah amma ba’du…

Dunia tasawuf mengenal banyak cerita sufi. Sebagian dari cerita itu
termuat dalam kitab *Tadzkiratul Awliya, Kenangan Para Wali*, yang ditulis oleh Fariduddin Attar Buku
ini ditulis dalam bahasa Persia, meskipun judulnya ditulis dalam bahasa
Arab. Selain berarti kenangan atau ingatan, kata tadzkirah dalam bahasa
Arab juga berarti pelajaran. Sehingga Tadzkiratul Awliya berarti
pelajaran yang diberikan oleh para wali.

Attar mengumpulkan kisah para wali; mulai dari Hasan Al-Bashri, sufi
pertama, sampai Bayazid Al-Busthami. Dari Rabiah Al-Adawiah sampai
Dzunnun Al-Mishri. Selain buku ini, Attar juga menulis buku cerita sufi
berjudul Manthiquth Thayr, Musyawarah Para Burung. Berbeda dengan kitab
pertama yang berisi cerita para tokoh sufi, kitab ini berbentuk novel
dan puisi sufi. Sebagian besar ceritanya bersifat metaforis.

Fariduddin dijuluki Attar (penjual wewangian), karena sebelum menjadi
sufi ia memiliki hampir semua toko obat di Mashhad, Iran.

Dahulu, orang yang menjadi ahli farmasi juga sekaligus menjadi penjual
wewangian. Sebagai pemilik toko farmasi, Attar terkenal kaya raya.

Sampai suatu hari, datanglah seorang lelaki tua. Kakek itu bertanya,
“Dapatkah kau tentukan kapan kau meninggal dunia?” “Tidak,” jawab Attar
kebingungan. “Aku dapat,” ucap kakek tua itu, “saksikan di hadapanmu
bahwa aku akan mati sekarang juga.” Saat itu juga lelaki renta itu
terjatuh dan menghembuskan nafasnya yang terakhir. Attar terkejut. Ia
berpikir tentang seluruh kekayaan dan maut yang mengancamnya. Ia ingin
sampai pada kedudukan seperti kakek tua itu; mengetahui kapan ajal akan
menjemput. Attar lalu meninggalkan seluruh pekerjaannya dan belajar
kepada guru-guru yang tidak diketahui. Menurut shahibul hikayat, ia
pernah belajar di salah satu pesantren di samping makam Imam Ridha as,
di Khurasan, Iran. Setelah pengembaraannya, Attar kembali ke tempat
asalnya untuk menyusun sebuah kitab yang ia isi dengan cerita-cerita
menarik.

Tradisi mengajar melalui cerita telah ada dalam kebudayaan Persia.
Jalaluddin Rumi mengajarkan tasawuf melalui cerita dalam kitabnya
Matsnawi-e Ma’nawi. Penyair sufi Persia yang lain, Sa’di, juga menulis
Gulistan, Taman Mawar, yang berisi cerita-cerita penuh pelajaran.
Demikian pula Hafizh dan beberapa penyair lain. Tradisi bertutur menjadi
salah satu pokok kebudayaan Persia.

Kebudayaan Islam Indonesia juga mengenal tradisi bercerita. Islam yang
pertama datang ke nusantara adalah Islam yang dibawa oleh orang-orang
Persia lewat jalur perdagangan sehingga metode penyebaran Islam juga
dilakukan dengan bercerita. Mereka menggunakan wayang sebagai media
pengajaran Islam.

Dalam pengantar Tadzkiratul Awliya, Attar menjelaskan mengapa ia menulis
buku yang berisi cerita kehidupan para wali. Alasan pertama, tulis
Attar, karena Al-Quran pun mengajar dengan cerita. Surat Yusuf,
misalnya, lebih dari sembilan puluh persen isinya, merupakan cerita.

Terkadang Al-Quran membangkitkan keingintahuan kita dengan cerita:
Tentang apakah mereka saling bertanya? Tentang cerita yang dahsyat,
yang mereka perselisihkan. (QS. An-Naba; 1-3). Bagian awal dari surat
Al-Kahfi bercerita tentang para pemuda yang mempertahankan imannya:
Ingatlah ketika pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam
gua lalu mereka berdoa: Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami
dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam
urusan kami ini. (QS. Al-Kahfi; 10) Surat ini dilanjutkan dengan kisah
pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidhir, diteruskan dengan riwayat
Zulkarnain, dan diakhiri oleh cerita Rasulullah saw.

Demikian pula surat sesudah Al-Kahfi, yaitu surat Maryam, yang penuh
berisi ceritera; Dan kenanglah kisah Maryam dalam Al-Quran. Ketika ia
menjauhkan diri dari keluarganya ke satu tempat di sebelah timur . (QS.
Maryam; 16) Al-Quran memakai kata udzkur yang selain berarti “ingatlah”
atau “kenanglah” juga berarti “ambillah pelajaran.” Attar mengikuti
contoh Al-Quran dengan menamakan kitabnya Tadzkiratul Awliya.

Alasan kedua mengapa cerita para wali itu dikumpulkan, tulis Attar,
adalah karena Attar ingin mendapat keberkahan dari mereka. Dengan
menghadirkan para wali, kita memberkahi diri dan tempat sekeliling kita.
Sebuah hadis menyebutkan bahwa di dunia ini ada sekelompok orang yang
amat dekat dengan Allah swt. Bila mereka tiba di suatu tempat, karena
kehadiran mereka, Allah selamatkan tempat itu dari tujuh puluh macam
bencana. Para sahabat bertanya, “Ya Rasulallah, siapakah mereka itu dan
bagaimana mereka mencapai derajat itu?” Nabi yang mulia menjawab,
“Mereka sampai ke tingkat yang tinggi itu bukan karena rajinnya mereka
ibadat. Mereka memperoleh kedudukan itu karena dua hal; ketulusan hati
mereka dan kedermawanan mereka pada sesama manusia.”

Itulah karakteristik para wali. Mereka adalah orang yang berhati bersih
dan senang berkhidmat pada sesamanya. Wali adalah makhluk yang hidup
dalam paradigma cinta. Dan mereka ingin menyebarkan cinta itu pada
seluruh makhluk di alam semesta. Attar yakin bahwa kehadiran para wali
akan memberkahi kehidupan kita, baik kehadiran mereka secara jasmaniah
maupun kehadiran secara ruhaniah.

Dalam Syarah Sahih Muslim, Imam Nawawi menjelaskan dalil dianjurkannya
menghadirkan orang-orang salih untuk memberkati tempat tinggal kita. Ia
meriwayatkan kisah Anas bin Malik yang mengundang Rasulullah saw untuk
jamuan makan. Tiba di rumah Anas, Rasulullah meminta keluarga itu untuk
menyediakan semangkuk air. Beliau memasukkan jari jemarinya ke air lalu
mencipratkannya ke sudut-sudut rumah. Nabi kemudian shalat dua rakaat di
rumah itu meskipun bukan pada waktu shalat.

Menurut Imam Nawawi, shalat Nabi itu adalah shalat untuk memberkati
rumah Anas bin Malik. Imam Nawawi menulis, “Inilah keterangan tentang
mengambil berkah dari atsar-nya orang-orang salih.” Sayangnya, tulis
Attar dalam pengantar Tadzkiratul Awliya, sekarang ini kita sulit
berjumpa dengan orang-orang salih secara jasmaniah. Kita sukar menemukan
wali Allah di tengah kita, untuk kita ambil pelajaran dari mereka. Oleh
karena itu, Attar menuliskan kisah-kisah para wali yang telah meninggal
dunia. Attar memperkenalkan mereka agar kita dapat mengambil hikmah dari
mereka. “Saya hanya pengantar hidangan,” lanjut Attar, “dan saya ingin
ikut menikmati hidangan ini bersama Anda. Inilah hidangan para awliya.”

Attar lalu menulis belasan alasan lain mengapa ia mengumpulkan ceritera
para wali. Yang paling menarik untuk saya adalah alasan bahwa dengan
menceritakan kehidupan para wali, kita akan memperoleh berkah dan
pelajaran yang berharga dari mereka. Seakan-akan kita menemui para wali
itu di alam ruhani, karena di alam jasmani kita sukar menjumpai mereka.

Seringkali kita juga lebih mudah untuk mendapatkan pelajaran dari
cerita-cerita sederhana ketimbang uraian-uraian panjang yang ilmiah.

Berikut ini sebuah cerita dari Bayazid Al-Busthami, yang insya Allah,
dapat kita ambil pelajaran daripadanya;

Di samping seorang sufi, Bayazid juga adalah pengajar tasawuf. Di antara
jamaahnya, ada seorang santri yang juga memiliki murid yang banyak.
Santri itu juga menjadi kyai bagi jamaahnya sendiri. Karena telah
memiliki murid, santri ini selalu memakai pakaian yang menunjukkan
kesalihannya, seperti baju putih, serban, dan wewangian tertentu.

Suatu saat, muridnya itu mengadu kepada Bayazid, “Tuan Guru, saya sudah
beribadat tiga puluh tahun lamanya. Saya shalat setiap malam dan puasa
setiap hari, tapi anehnya, saya belum mengalami pengalaman ruhani yang
Tuan Guru ceritakan. Saya tak pernah saksikan apa pun yang Tuan gambarkan.”

Bayazid menjawab, “Sekiranya kau beribadat selama tiga ratus tahun pun,
kau takkan mencapai satu butir pun debu mukasyafah dalam hidupmu.”

Murid itu heran, “Mengapa, ya Tuan Guru?”

“Karena kau tertutup oleh dirimu,” jawab Bayazid.

“Bisakah kau obati aku agar hijab itu tersingkap?” pinta sang murid.

“Bisa,” ucap Bayazid, “tapi kau takkan melakukannya.”

“Tentu saja akan aku lakukan,” sanggah murid itu.

“Baiklah kalau begitu,” kata Bayazid, “sekarang tanggalkan pakaianmu.
Sebagai gantinya, pakailah baju yang lusuh, sobek, dan compang-camping.
Gantungkan di lehermu kantung berisi kacang. Pergilah kau ke pasar,
kumpulkan sebanyak mungkin anak-anak kecil di sana. Katakan pada mereka,
“Hai anak-anak, barangsiapa di antara kalian yang mau menampar aku satu
kali, aku beri satu kantung kacang.” Lalu datangilah tempat di mana
jamaah kamu sering mengagumimu. Katakan juga pada mereka, “Siapa yang
mau menampar mukaku, aku beri satu kantung kacang!”

“Subhanallah, masya Allah, lailahailallah,” kata murid itu terkejut.

Bayazid berkata, “Jika kalimat-kalimat suci itu diucapkan oleh orang
kafir, ia berubah menjadi mukmin. Tapi kalau kalimat itu diucapkan oleh
seorang sepertimu, kau berubah dari mukmin menjadi kafir.”

Murid itu keheranan, “Mengapa bisa begitu?”

Bayazid menjawab, “Karena kelihatannya kau sedang memuji Allah, padahal
sebenarnya kau sedang memuji dirimu. Ketika kau katakan: Tuhan mahasuci,
seakan-akan kau mensucikan Tuhan padahal kau menonjolkan kesucian dirimu.”

“Kalau begitu,” murid itu kembali meminta, “berilah saya nasihat lain.”

Bayazid menjawab, “Bukankah aku sudah bilang, kau takkan mampu
melakukannya!”

Cerita ini mengandung pelajaran yang amat berharga. Bayazid mengajarkan
bahwa orang yang sering beribadat mudah terkena penyakit ujub dan
takabur. “Hati-hatilah kalian dengan ujub,” pesan Iblis.

Dahulu, Iblis beribadat ribuan tahun kepada Allah. Tetapi karena
takaburnya terhadap Adam, Tuhan menjatuhkan Iblis ke derajat yang
serendah-rendahnya.

Takabur dapat terjadi karena amal atau kedudukan kita. Kita sering
merasa menjadi orang yang penting dan mulia. Bayazid menyuruh kita
menjadi orang hina agar ego dan keinginan kita untuk menonjol dan
dihormati segera hancur, yang tersisa adalah perasaan tawadhu dan
kerendah-hatian. Hanya dengan itu kita bisa mencapai hadirat Allah swt.

Orang-orang yang suka mengaji juga dapat jatuh kepada ujub. Mereka
merasa telah memiliki ilmu yang banyak. Suatu hari, seseorang datang
kepada Nabi saw, “Ya Rasulallah, aku rasa aku telah banyak mengetahui
syariat Islam. Apakah ada hal lain yang dapat kupegang teguh?” Nabi
menjawab, :”Katakanlah: Tuhanku Allah, kemudian ber-istiqamah-lah kamu.”

Ujub seringkali terjadi di kalangan orang yang banyak beribadat. Orang
sering merasa ibadat yang ia lakukan sudah lebih dari cukup sehingga ia
menuntut Tuhan agar membayar pahala amal yang ia lakukan. Ia menganggap
ibadat sebagai investasi. Orang yang gemar beribadat cenderung jatuh
pada perasaan tinggi diri. Ibadat dijadikan cara untuk meningkatkan
statusnya di tengah masyarakat. Orang itu akan amat tersinggung bila
tidak diberikan tempat yang memadai statusnya. Sebagai seorang ahli
ibadat, ia ingin disambut dalam setiap majelis dan diberi tempat duduk
yang paling utama.

Tulisan ini saya tutup dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dalam musnad-nya; Suatu hari, di depan Rasulullah saw Abu Bakar
menceritakan seorang sahabat yang amat rajin ibadatnya. Ketekunannya
menakjubkan semua orang. Tapi Rasulullah tak memberikan komentar
apa-apa. Para sahabat keheranan. Mereka bertanya-tanya, mengapa Nabi tak
menyuruh sahabat yang lain agar mengikuti sahabat ahli ibadat itu.
Tiba-tiba orang yang dibicarakan itu lewat di hadapan majelis Nabi. Ia
kemudian duduk di tempat itu tanpa mengucapkan salam. Abu Bakar berkata
kepada Nabi, “Itulah orang yang tadi kita bicarakan, ya Rasulallah.”
Nabi hanya berkata, “Aku lihat ada bekas sentuhan setan di wajahnya.”

Nabi lalu mendekati orang itu dan bertanya, “Bukankah kalau kamu datang
di satu majelis kamu merasa bahwa kamulah orang yang paling salih di
majelis itu?” Sahabat yang ditanya menjawab, “Allahumma, na’am. Ya
Allah, memang begitulah aku.” Orang itu lalu pergi meninggalkan majelis
Nabi.

Setelah itu Rasulullah saw bertanya kepada para sahabat, “Siapa di
antara kalian yang mau membunuh orang itu?” “Aku,” jawab Abu Bakar.

Abu Bakar lalu pergi tapi tak berapa lama ia kembali lagi, “Ya
Rasulallah, bagaimana mungkin aku membunuhnya? Ia sedang ruku’.”

Nabi tetap bertanya, “Siapa yang mau membunuh orang itu?” Umar bin
Khaththab menjawab, “Aku.” Tapi seperti juga Abu Bakar, ia kembali tanpa
membunuh orang itu, “Bagaimana mungkin aku bunuh orang yang sedang
bersujud dan meratakan dahinya di atas tanah?” Nabi masih bertanya,
“Siapa yang akan membunuh orang itu?” Imam Ali bangkit, “Aku.” Ia lalu
keluar dengan membawa pedang dan kembali dengan pedang yang masih
bersih, tidak berlumuran darah, “Ia telah pergi, ya Rasulullah.” Nabi
kemudian bersabda, “Sekiranya engkau bunuh dia. Umatku takkan pecah
sepeninggalku….” Dari kisah ini pun kita dapat mengambil hikmah: Selama
di tengah-tengah kita masih terdapat orang yang merasa dirinya paling
salih, paling berilmu, dan paling benar dalam pendapatnya, pastilah
terjadi perpecahan di kalangan kaum muslimin. Nabi memberikan pelajaran
bagi umatnya bahwa perasaan ujub akan amal salih yang dimiliki adalah
penyebab perpecahan di tengah orang Islam. Ujub menjadi penghalang
naiknya manusia ke tingkat yang lebih tinggi. Penawarnya hanya satu,
belajarlah menghinakan diri kita. Seperti yang dinasihatkan Bayazid
Al-Busthami kepada santrinya.

oleh : *KH. Jalaluddin Rakhmat*

Muara Hikmah Dibalik Kisah Kehidupan Wali Allah

Calon Penghuni Surga
Suatu ketika para sahabat duduk bersama Nabi di depan sebuah masjid.
Sedang asyik bercengkrama sambil bercakap-cakap, Nabi tiba-tiba
berkata,”Yang akan lewat ini nanti adalah calon penghuni surga!” Para
sahabat penasaran siapa gerangan calon penghuni surga itu? Tak lama
kemudian seorang lelaki yang berpakaian sederhana lewat di depan Nabi
dan para sahabat sambil menenteng terompahnya. Lelaki ini tidak tampak
istimewa, penampilannya sama dengan jama’ah masjid biasa.
Keesokan harinya Nabi dan para sahabat sedang duduk di depan masjid
sambil bercakap-cakap seperti biasa. Tiba-tiba Nabi kembali
berkata,”Yang lewat ini nanti adalah calon penghuni surga!” Para sahabat
pun kembali dibuat penasaran sambil melongok ke kanan ke kiri siapa
gerangan orang yang beruntung itu? Ternyata lelaki yang sama lewat di
depan Nabi dan para sahabat sambil menjinjing terompahnya. Ali tak tahan
dengan rasa penasarannya, ia memutuskan untuk membuntuti lelaki tersebut
ikut pulang ke rumahnya. Tiba di rumah si fulan, Ali kemudian berkunjung
dan bersilaturahmi. Ia pun bercakap-cakap sejenak dengan lelaki itu,
namun tak ada yang istimewa dengan lelaki itu. Hingga menjelang malam,
tak satu pun keistimewaan yang dapat dilihat oleh sahabat Ali dalam diri
lelaki itu.
Ali memutuskan untuk ikut menginap di rumah si fulan, setelah memperoleh
ijin pemilik rumah tentunya. Saat malam tiba, Ali bangun untuk
menegakkan sholat malam beberapa malam. Sejenak kemudian ia menengok
pemilik rumah si fulan. Ah ia tak bangun dari tidurnya, hanya saja tiap
kali ia menggeser tubuhnya di atas dipan selalu ia ucapkan Allah, allah.
Demikianlah beberapa hari Ali menginap di rumah si fulan untuk
mengetahui apa keistimewaan calon penghuni surga ini.
Keesokan harinya Ali berpamitan kepada si lelaki dan pulang ke rumahnya.
Saat di masjid ia merenung, apa kelebihan lelaki itu sehingga ia
dijanjikan masuk surga, sedangkan sholatnya seperti sholat para sahabat
tak lebih. Sholat sunnah juga dalam takaran yang biasa, sholat sunnat
qobliyah dan ba’diyah sholat wajib, tak lebih. Hingga akhirnya Ali tak
tahan untuk menanyakan masalah ini kepada Nabi. “Wahai Nabi apakah
kelebihan orang ini hingga ia dijanjikan masuk surga sedangkan ibadahnya
saya lihat biasa-biasa saja?” Nabi pun tersenyum seraya berkata,” Orang
ini tidak menyimpan dendam dalam hatinya, tidak pula kebencian kepada
orang lain. Hatinya bersih dari noda hawa dan nafsu amarah, iri hati,
dendam dan hasad. Hati yang bersih itulah yang menghantarkan ia masuk ke
surga!” Subhanallah maha suci Allah yang mengangkat derajat orang-orang
yang berhati bersih.
Baru Menanam Sudah Memanen Hasilnya
Suatu ketika khalifah Umar bin Abdul Aziz berkeliling kota sambil
menaiki kuda, beliau meninjau ibu kota untuk mengetahui secara langsung
kondisi rakyatnya. Di kejauhan sang khalifah melihat seorang yang sangat
tua sedang menanam pohon kurma dengan asyiknya. Dengan perlahan sang
khalifah mendekati orang tua tersebut, setelah turun dari kudanya,
khalifah Umar bin Abdul Aziz turun dari kudanya dan mengucap salam
kepada si orang tua dan bertanya,” Assalamu’alaikum sedang apa engkau
wahai Pak tua?” Pak tua pun menjawab dengan ramah salam dari khalifah,”
Wa’alaikum salam Tuan. Saya sedang menanam pohon kurma tuan.”
Khalifah kembali bertanya,” Engkau kan sudah tua, buat apa menanam pohon
kurma? Bukankah pohon kurma baru akan berbuah setelah menunggu
bertahun-tahun lamanya? Apakah engkau masih hidup saat panen buah korma
dari pohon yang engkau tanam?” Pak tua menjawab dengan tatapan mata yang
berbinar-binar penuh semangat,” Memang benar, tuanku, usia hamba memang
sudah tua, kalau hamba masih sempat memanen buah korma ini ya
alhamdulillah, namun sekiranya saat panen tiba hamba sudah dipanggil
oleh Allah dan sudah meninggalkan dunia ini tentu masih ada anak-anak
saya yang bisa memanen buah dari pohon ini. Seandainya anak-anak dan
keturunan saya pun telah tiada, bolehlah buah dari pohon ini dipetik
oleh orang lewat yang membutuhkan . Dengan demikian sekali menanam pohon
namun manfaatnya dapat dinikmati oleh banyak orang!”
Khalifah Umar bin Abdul Aziz terpana mendengar penjelasan Pak Tua,”
Sungguh pemikiran yang baik dari seorang hamba Allah yang ikhlas .”
Demikian pemikiran khalifah di dalam hati,” Pak Tua, engkau memiliki
pemikiran yang sangat bagus dan bermanfaat. Aku tersentuh dengan
ketulusanmu, ini ada sedikit pemberian dariku untukmu, terimalah. Semoga
rizqimu berkah.” Khalifah Umar menyodorkan sekantung uang kepada Pak Tua
karena ia terpesona dengan pemikirannya. Pak tua menerima pemberian itu
dengan sangat bahagia ia pun berujar,” Terima kasih tuan. Baru saja
menanam sudah memetik hasilnya.” Alangkah indahnya dunia ini kalau
banyak orang yang berpikiran dan bertindak seperti Pak Tua yang dengan
ikhlas menanam, bekerja dan berbuat untuk kepentingan banyak orang
dengan tanpa pamrih untuk kebaikan, dengan niat Lillahi ta’ala
mengharapkan ridho Allah SWT.
1. SEBUTIR KORMA PENJEGAL DO’A
Usai menunaikan ibadah haji, Ibrahim bin Adham berniat ziarah ke
mesjidil Aqsa. Untuk bekal di perjalanan, ia membeli 1 kg kurma dari
pedagang tua di dekat mesjidil Haram.
Setelah kurma ditimbang dan dibungkus, Ibrahim melihat sebutir kurma
tergeletak didekat timbangan. Menyangka kurma itu bagian dari yang ia
beli, Ibrahim memungut dan memakannya. Setelah itu ia langsung berangkat
menuju Al Aqsa.
4 Bulan kemudian, Ibrahim tiba di Al Aqsa. Seperti biasa, ia suka
memilih sebuah tempat beribadah pada sebuah ruangan dibawah kubah
Sakhra. Ia shalat dan berdoa khusuk sekali.
Tiba tiba ia mendengar percakapan dua Malaikat tentang dirinya.
“Itu, Ibrahim bin Adham, ahli ibadah yang zuhud dan wara yang doanya
selalu dikabulkan ALLAH SWT,” kata malaikat yang satu.
“Tetapi sekarang tidak lagi. doanya ditolak karena 4 bulan yg lalu ia
memakan sebutir kurma yang jatuh dari meja seorang pedagang tua di dekat
mesjidil haram,” jawab malaikat yang satu lagi.
Ibrahim bin adham terkejut sekali, ia terhenyak, jadi selama 4 bulan ini
ibadahnya, shalatnya, doanya dan mungkin amalan-amalan lainnya tidak
diterima oleh ALLAH SWT gara-gara memakan sebutir kurma yang bukan
haknya. “Astaghfirullahal adzhim” ibrahim beristighfar.
Ia langsung berkemas untuk berangkat lagi ke Mekkah menemui pedagang tua
penjual kurma. Untuk meminta dihalalkan sebutir kurma yang telah ditelannya.
Begitu sampai di Mekkah ia langsung menuju tempat penjual kurma itu,
tetapi ia tidak menemukan pedagang tua itu melainkan seorang anak muda.
“4 bulan yang lalu saya membeli kurma disini dari seorang pedagang tua.
kemana ia sekarang ?” tanya ibrahim.
“Sudah meninggal sebulan yang lalu, saya sekarang meneruskan
pekerjaannya berdagang kurma” jawab anak muda itu.
“Innalillahi wa innailaihi roji’un, kalau begitu kepada siapa saya
meminta penghalalan ?”. Lantas ibrahim menceritakan peristiwa yg
dialaminya, anak muda itu mendengarkan penuh minat. “Nah, begitulah”
kata ibrahim setelah bercerita, “Engkau sebagai ahli waris orangtua itu,
maukah engkau menghalalkan sebutir kurma milik ayahmu yang terlanjur ku
makan tanpa izinnya?”.
“Bagi saya tidak masalah. Insya ALLAH saya halalkan. Tapi entah dengan
saudara-saudara saya yang jumlahnya 11 orang. Saya tidak berani mengatas
nama kan mereka karena mereka mempunyai hak waris sama dengan saya.”
“Dimana alamat saudara-saudaramu ? biar saya temui mereka satu persatu.”
Setelah menerima alamat, ibrahim bin adham pergi menemui. Biar
berjauhan, akhirnya selesai juga. Semua setuju menghalakan sebutir kurma
milik ayah mereka yang termakan oleh ibrahim.
4 bulan kemudian, Ibrahim bin adham sudah berada dibawah kubah Sakhra.
Tiba tiba ia mendengar dua malaikat yang dulu terdengar lagi bercakap
cakap. “Itulah ibrahim bin adham yang doanya tertolak gara gara makan
sebutir kurma milik orang lain.”
“O, tidak.., sekarang doanya sudah makbul lagi, ia telah mendapat
penghalalan dari ahli waris pemilik kurma itu. Diri dan jiwa Ibrahim
kini telah bersih kembali dari kotoran sebutir kurma yang haram karena
masih milik orang lain. Sekarang ia sudah bebas.”
“Oleh sebab itu berhati-hatilah dgn makanan yg masuk ke tubuh kita,
sudah halal-kah? lebih baik tinggalkan bila ragu-ragu…

2. SALMAN AL-FARIS R.A
Kelahiran dan pertumbuhannya:
Salman Al-Farisi r.a. lahir di suatu desa bernama Jiyan di wilayah kota
Aspahan – Iran, yaitu antara kota Teheran dengan Syiraz. Setelah Salman
r.a. mendengar kebangkitan Rasulullah saw. dia langsung berangkat
meninggalkan Persia mencari Nabi saw. untuk menyatakan keislamannya.
Dalam suatu kisah, Salman menceritakan otobiografinya sbb. ‘Saya adalah
anak muda Persia yang berasal dari suatu desa di kota Aspahan yang
bernama Jiyan.
Ayah saya adalah kepala desa dan orang terkaya serta terhormat di desa
itu. Dari sejak lahir, saya adalah orang yang paling disayanginya, kasih
sayangnya kepada saya semakin hari semakin kental, sehingga saya di
kurung di rumah bagaikan gadis pingitan.
Saya termasuk orang yang takwa dalam agama majusi, sehingga saya
merasakan nilai api yang kami sembah itu dan saya diberi tanggungjawab
menyalakannya, jangan sampai padam sepanjang hari dan sepanjang malam.
Ayah saya mempunyai ladang yang luas yang memberi kami penghidupan yang
cukup. Ayah saya selalu mengurusi dan memanennya sendiri.
Di suatu hari, dia tidak bisa pergi ke ladang, lalu dia mengatakan
kepada saya, ‘Anakku! Ayah sibuk dan tidak bisa pergi ke ladang hari
ini, sebab itu pergilah urusi ladang tersebut menggantikan Ayah.’ Lalu
saya berangkat menuju ladang kami.
Di tengah perjalanan, saya melewati sebuah gereja Kristen dan mendengar
suara mereka yang sedang beribadah di dalam. Hal itu menarik perhatian
saya karena saya tidak pernah tahu sedikitpun tentang agama Kristen dan
agama lainnya, karena sepanjang usia saya selalu dipingit di dalam rumah
oleh orang tua saya. Setelah mendengar suara itu, saya masuk ingin
mengetahui secara dekat apa yang sedang mereka lakukan.
Setelah saya memperhatiakan apa yang mereka kerjakan, saya merasa
tertarik dengan cara mereka beribadah, malah saya tertarik dengan agama
mereka. Saya mengatakan dalam hati saya, ‘Sungguh agama mereka ini lebih
baik dari agama kami.’
Saya tidak keluar dari gereja tersebut sampai matahari terbenam sehingga
saya tidak jadi pergi ke ladang kami. Saya menayakan kepada mereka,
‘Dari mana asal agama ini?’ Mereka menjawab, ‘Dari daerah Syam.’
Setelah malam menjelang, saya pulang ke rumah. Ayah saya langsung
menanyakan kepada saya apa yang telah saya lakukan. Saya menjawab, ‘Hai
Ayahku! Saya melewati sekelompok orang yang sedang beribadah di dalam
gereja, lalu saya tertarik dengan cara mereka beribadah. Saya berada
bersama mereka sampai matahari terbenam.’ Ayah saya langsung marah
mendengar tindakan saya dan dia mengatakan,
‘Hai anakku! Agama mereka itu tidak baik, agamamu dan agama nenek
moyangmu lebih baik dari agama itu.’
Saya menjawab, ‘Tidak ayah! Agama mereka lebih baik dari agama kita.’
Dari perkataan saya itu, syah saya takut kalau-kalau saya akan murtad,
lalu dia mengurung saya di rumah dengan mengekang kaki saya.’
Berangkat ke negeri Syam:
Ketika saya mendapat kesempatan, saya mengirim pesan kepada kaum Kristen
itu. Saya mengatakan,’Bila ada rombongan yang akan berangkat ke negeri
Syam, tolong saya diberi tahu.’ Ternyata tidak berapa lama ada satu
rombongan yang akan berangkat ke negeri Syam.
Mereka pun langsung memberitahukannya kepada saya. Saya berusaha membuka
kekang kaki saya dan saya berhasil membukanya. Saya berangkat bersama
mereka secara sembunyi dan akhirnya kami sampai di negeri Syam.
Setibanya di negeri Syam, saya mengatakan, ‘Siapa orang nomor satu dalam
agama ini?’ Mereka menjawab, ‘Uskup pengasuh gereja.’
Saya mendatanginya dan mengatakan kepadanya, ‘Saya tertarik dengan agama
Kristen ini dan saya ingin mengikuti dan membantumu sekaligus belajar
dari kamu dan beribadah bersama kamu.’ Dia menjawab, ‘Silakan masuk!’
Saya pun masuk dan menjadi pembantunya.
Belum berlangsung lama, saya menilai bahwa orang tersebut adalah orang
jahat, dia menyuruh pengikutnya untuk berderma dan mengiming-imingi
mereka dengan pahala yang sangat besar. Setelah mereka memberikannya
dengan niat fi sabilillah, ternyata dia monopoli untuk dirinya sendiri,
tidak diberikan kepada fakir miskin sedikitpun. Dia berhasil
mengumpulkan sebanyak tujuh karung emas. Melihat keadaan itu, saya
menaruh kebencian yang luar biasa terhadapnya.
Ketika dia meninggal, kaum Kristen berkumpul untuk menguburkannya,
ketika itu saya mengatakan kepada mereka, ‘Sesungguhnya teman kamu ini
adalah orang jahat, dia menyuruh kamu bersedekah dan mengiming-imingkan
pahala besar, setelah kalian kumpulkan, dia monopoli untuk dirinya
sendiri, dia tidak berikan sedikitpun kepada fakir miskin.’ Mereka
menjawab, ‘Dari mana kamu tahu?’ Saya menjawab, ‘Mari saya tunjukkan
kepada kamu sekarang juga tempat penyimpanan harta itu’ Mereka
mengatakan, ‘Ayo tunjukkan kepada kami tempatnya.’
Saya pun menunjukkannya dan mereka menemukan tujuh karung emas dan
perak. Setelah mereka melihat secara langsung, mereka mengatakan, ‘Demi
Allah kita tidak akan menguburkannya, kita harus menyalib dan
melemparinya dengan batu.’
Tidak lama kemudian mereka mengangkat orang lain sebagai penggantinya,
lalu saya mengikutinya. Sungguh saya belum pernah mendapatkan orang yang
paling zuhud dan mengharap akhirat melebihi orang itu. Ibadahnya yang
berlangsung siang malam membuat saya mnyenanginya, lalu saya hidup
bersama dia beberapa tahun. Ketika menjelang wafatnya, saya mengatakan
kepadanya, ‘Ya Polan! Kepada siapa engkau pesankan saya dan dengan siapa
saya akan hidup sepeninggal kamu?’
Dia menjawab, ‘Ya anakku! Terus terang saya tidak melihat ada orang yang
tingkat keagamaannya seperti kita, kecuali satu orang di kota Musol yang
bernama Polan. Dia tidak merubah-rubah dan mengganti-ganti ayat Allah.
Oleh sebab itu carilah orang itu.’
Sepeninggal teman saya itu, saya pergi menyusul orang tersebut ke kota
Musol. Setibanya di rumah beliau saya menceritakan kisah saya dan
mengatakan kepadanya, ‘Ketika si Polan hendak meninggal dunia dia
memesankan kepada saya untuk menyusul kamu, dia memberitahukan kepada
saya bahwa kamu berpegang kuat dengan kebenaran. Dia mengatakan kepada
saya, kalau begitu, tinggallah bersama saya. Saya pun tinggal bersama
beliau, dan memang betul dia adalah orang baik.
Tidak lama kemudian, diapun menemui ajalnya. Ketika hendak meninggal
saya bertanya kepadanya, ‘Ya Polan! Janji Tuhan sudah dekat kepada Anda,
Anda tahu kondisi saya sebenarnya, oleh sebab itu kepada siapa Anda
memesankan saya dan siapa yang harus saya ikuti?’
Dia menjawab, ‘Hai anakku! Terus terang saya tidak melihat ada orang
yang tingkat keagamaannya seperti kita kecuali seorang di Nasibin yang
bernama Polan, susullah dia ke sana’ Setelah orang itu bersemayam di
liang lahad, saya berangkat ke Nasibin mencari orang yang disebutkan
itu. Saya menceritakan kepadanya kisah saya dan pesan teman saya
sebelumnya. Dia mengatakan, ‘Tinggallah bersama saya.’
Saya pun tinggal bersama dia dan ternyata memang dia adalah orang baik
seperti dua orang teman saya sebelumnya. Akan tetapi tidak lama kemudian
dia pun menemui ajalnya. Ketika menjelang maut, saya bertanya kepadanya,
‘Engkau telah mengetahui kondisi saya sebenarnya. Oleh sebab itu kepada
siapa engkau memesankan saya?’
Dia menjawab, ‘Ya anakku! Terus terang saya tidak menemukan ada orang
yang tingkat keagamaannya seperti kita kecuali seorang di kota Amuriah
yang bernama Polan, carilah orang itu.’ Saya pun mencarinya dan saya
menceritakan kisah saya kepadanya. Dia menjawab, ‘Tinggallah bersama
saya.’ Saya pun tinggal bersama dia. Ternyata memang dia orang baik
seperti yang dikatakan orang sebelumnya. Selama saya tinggal bersama dia
saya berhasil mendapatkan beberapa ekor sapi dan harta kekayaan lainnya.
Pendeta Kristen memesan Salman mengikuti Nabi:
Kemudian orang tersebut pun menemui ajalnya seperti yang sebelumnya.
Ketika menjelang kematiannya, saya mengatakan kepadanya, ‘Anda
mengetahui kondisi saya sebenarnya, oleh sebab itu kepada siapa engkau
akan pesankan saya atau apa pesan Anda untuk saya lakukan?’
Dia menjawab, ‘Hai anakku! Terus terang saya tidak menemukan seorang-pun
di muka bumi ini yang masih berpegang dengan agama kita, namun waktunya
sudah tiba, seorang nabi yang akan membawa agama Nabi Ibrahim akan
muncul di tanah Arab, dia akan hijrah dari tanah tumpah darahnya ke
daerah yang penuh dengan pohon kurma di antara dua gunung, dia mempunyai
tanda kenabian yang sangat jelas, dia mau memakan hadiah tapi tidak mau
memakan sedekah, di antara bahunya terdapat cap kenabian. Jika Anda bisa
menyusul ke negeri itu, silakan.’ Tidak lama kemudian dia pun meninggal
dunia, saya pun tinggal di kota Amuriah untuk beberapa waktu.
Datang ke jazirah Arabia:
Ketika rombongan pedagang dari Suku Kalb -Arab- lintas di Amuriah, saya
berkata kepada mereka, ‘Jika kalian sanggup membawa saya ke tanah Arab,
saya berikan kepada kalian sapi dan harta kekayaan saya ini.’ Mereka
menjawab, ‘Ya, kami sanggup membawa kamu.’ Saya pun memberikan sapidan
kekayaan saya tersebut kepada mereka dan mereka pun membawa saya.
Ketika saya sampai di Wadil qura, mereka menipu saya dan menjual saya
kepada kepada seorang yahudi dan memperlakukan saya sebagai hambanya.
Suatu ketika, saudaranya dari suku Quraizah datang menemuinya, lalu dia
membeli dan membawa saya pergi ke Yasrib (Madinah). Di sana saya melihat
pohon kurma yang disebut oleh teman saya yang di Amuria, dari diskripsi
yang disampaikan teman saya itu, saya tahu persis bahwa inilah kota yang
dimaksudkan itu. Saya pun tinggal brsama tuan saya di kota itu.
Ketika itu Nabi saw. sudah mulai mengajak kaumnya di Mekah untuk masuk
Islam, namun saya tidak mendengar apa-apa dari kegiatan Nabi itu karena
kesibukan saya sehari-hari sebagai budak.
Memeluk Islam:
Tidak berapa lama, Rasulullah saw. pun hijrah ke Yasrib. Demi Allah
ketika saya berada di atas sebatang pohon kurma milik tuan saya, sedang
memberesi kurma itu, sedangkan tuan saya duduk dibawah, seorang
saudaranya datang dan mengatakan kepadanya, ‘Celaka besar atas bani
Qilah, mereka sekarang sedang berkumpul di Kuba, menunggu seorang yang
mengklaim dirinya sebagai seorang nabi akan datang hari ini.’
Setelah saya mendengar pembicaraan mereka itu, saya langsung merinding
kayak demam, saya gemetar, sehingga saya khawatir akan jatuh ke tuan
saya. Saya segera turun dari pohon kurma tersebut lalu mengatakan kepada
tamu itu, ‘Apa tadi yang Anda katakan? Tolong ulangi katakan kepada
saya!’ Tuan saya langsung marah dan memukul saya sekuat-kuatnya lalu
mengatakan,
‘Urusan apa kamu dengan berita itu? Kembali teruskan pekerjaanmu!’
Di sore harinya, saya mengambil sedikit kurma yang telah saya kumpulkan
sebelumnya, lalu saya berangkat ke tempat Nabi tinggal. Ketika itu saya
mengatakan kepada Rasulullah, ‘Saya mendengar bahwa Anda adalah orang
saleh, datang bersama teman-teman dari kejauhan memerlukan sesuatu. Di
tangan saya ada sedikit sedekah, nampaknya kamu lebih pantas menerimanya.’
Lalu saya dekatkan kurma itu kepada mereka. Rasulullah saw. mengatakan
kepada para Sahabat, ‘Makanlah’ sedangkan dia sendiri tidak memakannya.
Saya mengatakan dalam hati saya, ‘Ini dia satu tanda kenabiannya.’
Kemudian saya kembali ke rumah dan mengambil beberapa buah kurma, ketika
Nabi saw. berangkat dari Quba ke Madinah, saya mendatanginya dan
mengatakan kepadanya, ‘Tampaknya Anda tidak memakan sedekah, ini ada
sedikit hadiah saya bawa sebagai penghormatan kepada Anda.’
Rasululullah pun memakannya dan menyuruh sahabat untuk ikut memakannya,
lalu mereka makan bersama-sama.
Dalam hati saya berkata, ‘Ini dia tanda kenabian kedua’
Ketika Nabi berada di Baqi Gargad, ingin menguburkan seorang sahabat,
saya mendatangi beliau dan melihat beliau sedang duduk memakai dua
selendang. Saya mengucapkan salam kepadanya, kemudian saya berjalan
berputar sekeliling beliau untuk melihat punggungnya, barang kali saja
saya dapat melihat cap seperti yang dikatakan oleh teman saya di
Amuriah. Setelah Nabi melihat bahwa saya memperhatikan punggung beliau,
dia mengerti tujuan saya, lalu dia mengangkat selendangnya, ketika itu
saya melihat ada cap, lalu saya yakin bahwa itulah cap kenabian, lalu
saya memeluk dan mencium beliau sambil menangis.
Melihat hal itu Rasulullah saw. bertanya, ‘Apa gerangan yang terjadi
pada kamu?’ Saya pun menceritakan kisah saya dan beliau sangat kagum dan
beliau menginginkan agar saya perdengarkan kepada para sabahat, lalu
saya memperdengarkannya. Mereka semua kagum dan gembira yang tiada taranya.
Salman masuk Islam dan dimerdekakan, seterusnya menjadi seorang sahabat
yang sangat mulia. Dia sempat menjabat gubernur di zaman khulafaur
Rasyidun di beberapa negeri. Mudah-mudahan Allah meridai beliau.
Biografinya:
Dalam satu riwayat, disebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah meletakkan
tangannya di atas Salman, lalu bersabda, ‘Seandainya iman berada nun
jauh di planet Tata surya, pasti akan dicapai oleh orang-orang mereka
ini.’ sambil beliau menunjuk kepada Salman r.a.
Sumber: alislam (Abu Saifulhaq)

http://alhikmah.com <http://alhikmah.com/>
3. TAUBATNYA MALIK BIN DINAR
Diriwayatkan dari Mali bin Dinar, dia pernah ditanya tentang sebab-sebab
dia bertaubat, maka dia berkata : “Aku adalah seorang polisi dan aku
sedang asyik menikmati khamr, kemudia akau beli seorang budak perempuan
dengan harga mahal, maka dia melahirkan seorang anak perempuan, aku pun
menyayanginya.
Ketika dia mulai bisa berjalan, maka cintaku bertambah padanya. Setiap
kali aku meletakkan minuman keras dihadapanku anak itu datang padaku dan
mengambilnya dan menuangkannya di bajuku, ketika umurnya menginjak dua
tahun dia meninggal dunia, maka aku pun sangat sedih atas musibah ini.
Ketika malam dipertengahan bulan Sya’ban dan itu di malam Jum’at, aku
meneguk khamr lalu tidur dan belum shalat isya’. Maka akau bermimpi
seakan-akan qiyamat itu terjadi, dan terompet sangkakala ditiup, orang
mati dibangkitkan, seluruh makhluk dikumpulkan dan aku berada bersama
mereka, kemudian aku mendengar sesuatu yang bergerak dibelakangku.
Ketika aku menoleh ke arahnya kulihat ular yang sangat besar berwarna
hitam kebiru-biruan membuka mulutnya menuju kearahku, maka aku lari
tunggang langgang karena ketakutan,
Ditengah jalan kutemui seorang syaikh yang berpakaian putih dengan wangi
yang semerbak, maka aku ucapkan salam atasnya, dia pun menjawabnya, maka
aku berkata :
“Wahai syaikh ! Tolong lindungilah aku dari ular ini semoga Allah
melindungimu”. Maka syaikh itu menangis dan berkata padaku :
“Aku orang yang lemah dan ular itu lebih kuat dariku dan aku tak mampu
mengatasinya, akan tetapi bergegaslah engkau mudah-mudahan Allah
menyelamatkanmu”,
Maka aku bergegas lari dan memanjat sebuah tebing Neraka hingga sampai
pada ujung tebing itu, aku lihat kobaran api Neraka yang sangat dahsyat,
hampir saja aku terjatuh kedalamnya karena rasa takutku pada ular itu.
Namun pada waktu itu seorang menjerit memanggilku,
“Kembalilah engkau karena engkau bukan penghuni Neraka itu!”, aku pun
tenang mendengarnya, maka turunlah aku dari tebing itu dan pulang.
Sedang ular yang mengejarku itu juga kembali. Aku datangi syaikh dan aku
katakan,
“Wahai syaikh, aku mohon kepadamu agar melindungiku dari ular itu namun
engkau tak mampu berbuat apa-apa”. Menangislah syaikh itu seraya
berkata, “Aku seorang yang lemah tetapi pergilah ke gunung itu karena di
sana terdapat banyak simpanan kaum muslimin, kalau engkau punya barang
simpanan di sana maka barang itu akan menolongmu”
Aku melihat ke gunung yang bulat itu yang terbuat dari perak. Di sana
ada setrika yang telah retak dan tirai-tirai yang tergantung yang setiap
lubang cahaya mempunyai daun-daun pintu dari emas dan di setiap daun
pintu itu mempunyai tirai sutera.
Ketika aku lihat gunung itu, aku langsung lari karena kutemui ular besar
lagi. Maka tatkala ular itu mendekatiku, para malaikat berteriak :
“Angkatlah tirai-tirai itu dan bukalah pintu-pintunya dan mendakilah
kesana!” Mudah-mudahan dia punya barang titipan di sana yang dapat
melindunginya dari musuhnya (ular).
Ketika tirai-tirai itu diangkat dan pintu-pintu telah dibuka, ada
beberapa anak dengan wajah berseri mengawasiku dari atas. Ular itu
semakin mendekat padaku, maka aku kebingungan, berteriaklah anak-anak itu :
“Celakalah kamu sekalian!, Cepatlah naik semuanya karena ular besar itu
telah mendekatinya”. Maka naiklah mereka dengan serentak, aku lihat anak
perempuanku yang telah meninggal ikut mengawasiku bersama mereka. Ketika
dia melihatku, dia menangis dan berkata :
“Ayahku, demi Allah!” Kemudian dia melompat bak anak panah menuju
padaku, kemudian dia ulurkan tangan kirinya pada tangan kananku dan
menariknya, kemudian dia ulurkan tangan kanannya ke ular itu, namun
binatang tersebut lari.
Kemudian dia mendudukkanku dan dia duduk di pangkuanku, maka aku pegang
tangan kanannya untuk menghelai jenggotku dan berkata : “Wahai ayahku!
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati
mereka mengingat Allah”. (QS. Al-Hadid : 16).
Maka aku menangis dan berkata : “Wahai anakku!, Kalian semua faham
tentang Al-Qur’an”, maka dia berkata :
“Wahai ayahku, kami lebih tahu tentang Al-Qur’an darimu”, aku berkata :
“Ceritakanlah padaku tentang ular yang ingin membunuhku”, dia menjawab :
“Itulah pekerjaanmu yang buruk yang selama ini engkau kerjakan, maka itu
akan memasukkanmu ke dalam api Neraka”, akau berkata :
“Ceritakanlah tentang Syaikh yang berjalan di jalanku itu”, dia menjawab
: “Wahai ayahku, itulah amal shaleh yang sedikit hingga tak mampu
menolongmu”, aku berkata :
“Wahai anakku, apa yang kalian perbuat di gunung itu?”, dia menjawab :
“Kami adalah anak-anak orang muslimin yang di sini hingga terjadinya
kiamat, kami menunggu kalian hingga datang pada kami kemudian kami
memberi syafa’at pada kalian”. (HR. Muslim dalam shahihnya No. 2635).
Berkata Malik : “Maka akupun takut dan aku tuangkan seluruh minuman
keras itu dan kupecahkan seluruh botol-botol minuman kemudian aku
bertaubat pada Allah, dan inilah cerita tentang taubatku pada Allah”.
Dikutip dari : Hakikat Taubat.
SUMBER : http:/www.alirsyad-alislamy.or.id

4. RASA KASIH TERLIHAT DALAM MATA
Sore itu adalah sore yang sangat dingin di Virginia bagian utara,
berpuluh-puluh tahun yang lalu. Janggut si orang tua dilapisi es musim
dingin selagi ia menunggu tumpangan menyeberangi sungai. Penantiannya
seakan tak berakhir. Tubuhnya menjadi mati rasa dan kaku akibat angin
utara yang dingin.
Samar-samar ia mendengar irama teratur hentakan kaki kuda yang berlari
mendekat di atas jalan yang beku itu. Dengan gelisah iamengawasi
beberapa penunggang kuda memutari tikungan.
Ia membiarkan beberapa kuda lewat, tanpa berusaha untuk menarik
perhatian. Lalu, satu lagi lewat, dan satu lagi. Akhirnya, penunggang
kuda yang terakhir mendekati tempat si orang tua yang duduk seperti
patung salju.
Saat yang satu ini mendekat, si orang tua menangkap mata si
penunggang…dan ia pun berkata, “Tuan, maukah anda memberikan tumpangan
pada orang tua ini ke seberang ? Kelihatannya tak ada jalan untuk
berjalan kaki.”
Sambil menghentikan kudanya, si penunggang menjawab, “Tentu. Naiklah.”
Melihat si orang tua tak mampu mengangkat tubuhnya yang setengah membeku
dari atas tanah, si penunggang kuda turun dan menolongnya naik ke atas kuda.
Si penunggang membawa si orang tua itu bukan hanya ke seberang sungai,
tapi terus ke tempat tujuannya, yang hanya berjarak beberapa kilometer.
Selagi mereka mendekati pondok kecil yang nyaman, rasa ingin tahu si
penunggang kuda atas sesuatu, mendorongnya untuk bertanya,
“Pak, saya lihat tadi bapak membiarkan penunggang2 kuda lain lewat,
tanpa berusaha meminta tumpangan. Saya ingin tahu kenapa pada malam
musim dingin seperti ini Bapak mau menunggu dan minta tolong pada
penunggang terakhir. Bagaimana kalau saya tadi menolak dan meninggalkan
bapak di sana?”
Si orang tua menurunkan tubuhnya perlahan dari kuda, memandang langsung
mata si penunggang kuda dan menjawab, “Saya sudah lama tinggal di daerah
ini. Saya rasa saya cukup kenal dengan orang.”
Si orang tua melanjutkan, “Saya memandang mata penunggang yang lain, dan
langsung tahu bahwa di situ tidak ada perhatian pada keadaan saya. Pasti
percuma saja saya minta tumpangan.
Tapi waktu saya melihat matamu, kebaikan hati dan rasa kasihmu terasa
jelas ada pada dirimu. Saya tahu saat itu juga bahwa jiwamu yang lembut
akan menyambut kesempatan untuk memberi saya pertolongan pada saat saya
membutuhkannya.”
Komentar yang menghangatkan hati itu menyentuh si penunggang kuda dengan
dalam. “Saya berterima kasih sekali atas perkataan bapak”, ia berkata
pada si orang tua. “Mudah-mudahan saya tidak akan terlalu sibuk mengurus
masalah saya sendiri hingga saya gagal menanggapi kebutuhan orang lain..”
Seraya berkata demikian, Thomas Jefferson, si penunggang kuda itu,
memutar kudanya dan melanjutkan perjalanannya menuju ke Gedung Putih.
The Sower’s Seeds – Brian Cavanaugh.
Kau tak akan pernah tahu kapan kau akan memerlukan orang lain, atau
kapan seseorang memerlukanmu. Kebijakan dari seluruh hidupmu melukis
sebuah citra dimatamu, yang membantu orang lain melihat, menemukan
pertolongan yang ia butuhkan, dan bahwa masih ada keutamaan lain di
dunia ini dari pada sekedar peduli dengan dirimu sendiri, yaitu
kepedulianmu pada orang lain, sahabatmu atau benar-benar orang lain.
Maka bila ada sahabat atau seseorang memerlukan perhatian atau
bantuanmu, atau meminta maaf atas satu kesalahan, itu karena ia
menghormati dan menghargai kebaikan yang pasti ada dalam jiwamu. Kau
dapat menghormati juga permintaan itu, atau kau meninggalkannya di
tengah jalan sendirian.

5. ASAL-USUL KUMANDANG ADZAN
(Riwayat : Anas r.a; Abu Dawud; Al Bukhari)
Seiring dengan berlalunya waktu, para pemeluk agama Islam yang semula
sedikit, bukannya semakin surut jumlahnya. Betapa hebatnya perjuangan
yang harus dihadapi untuk menegakkan syiar agama ini tidak membuatnya
musnah. Kebenaran memang tidak dapat dmusnahkan.
Semakin hari semakin bertambah banyak saja orang-orang yang menjadi
penganutnya. Demikian pula dengan penduduk dikota Madinah, yang
merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam pada masa-masa
awalnya. Sudah sebagian tersebar dari penduduk yang ada dikota itu sudah
menerima Islam sebagai agamanya.
Ketika orang-orang Islam masih sedikit jumlahnya, tidaklah sulit bagi
mereka untuk bisa berkumpul bersama-sama untuk menunaikan sholat
berjama` ah. Kini, hal itu tidak mudah lagi mengingat setiap penduduk
tentu mempunyai ragam kesibukan yang tidak sama. Kesibukan yang tinggi
pada setiap orang tentu mempunyai potensi terhadap kealpaan ataupun
kelalaian pada masing-masing orang untuk menunaikan sholat pada waktunya.
Dan tentunya, kalau hal ini dapat terjadi dan kemudian terus-menerus
berulang, maka bisa dipikirkan bagaimana jadinya para pemeluk Islam. Ini
adalah satu persoalan yang cukup berat yang perlu segera dicarikan jalan
keluarnya.
Pada masa itu, memang belum ada cara yang tepat untuk memanggil orang
sholat. Orang-orang biasanya berkumpul dimasjid masing -masing menurut
waktu dan kesempatan yang dimilikinya. Bila sudah banyak terkumpul
orang, barulah sholat jama `ah dimulai.
Atas timbulnya dinamika pemikiran diatas, maka timbul kebutuhan untuk
mencari suatu cara yang dapat digunakan sebagai sarana untuk
mengingatkan dan memanggil orang-orang untuk sholat tepat pada waktunya
tiba.
Ada banyak pemikiran yang diusulkan. Ada sahabat yang menyarankan bahwa
manakala waktu sholat tiba, maka segera dinyalakan api pada tempat yang
tinggi dimana orang-orang bisa dengan mudah melihat ketempat itu, atau
setidak-tidaknya asapnya bisa dilihat orang walaupun ia berada ditempat
yang jauh. Ada yang menyarankan untuk membunyikan lonceng. Ada juga yang
mengusulkan untuk meniup tanduk kambing. Pendeknya ada banyak saran yang
timbul.
Saran-saran diatas memang cukup representatif. Tapi banyak sahabat juga
yang kurang setuju bahkan ada yang terang-terangan menolaknya. Alasannya
sederhana saja : itu adalah cara-cara lama yang biasanya telah
dipraktekkan oleh kaum Yahudi. Rupanya banyak sahabat yang
mengkhawatirkan image yang bisa timbul bila cara-cara dari kaum kafir
digunakan. Maka disepakatilah untuk mencari cara-cara lain.
Lantas, ada usul dari Umar r.a jikalau ditunjuk seseorang yang bertindak
sebagai pemanggil kaum Muslim untuk sholat pada setiap masuknya waktu
sholat. Saran ini agaknya bisa diterima oleh semua orang, Rasulullah SAW
juga menyetujuinya. Sekarang yang menjadi persoalan bagaimana itu bisa
dilakukan ? Abu Dawud mengisahkan bahwa Abdullah bin Zaid r.a
meriwayatkan sbb :
“Ketika cara memanggil kaum muslimin untuk sholat dimusyawarahkan, suatu
malam dalam tidurku aku bermimpi. Aku melihat ada seseorang sedang
menenteng sebuah lonceng. Aku dekati orang itu dan bertanya kepadanya
apakah ia ada maksud hendak menjual lonceng itu. Jika memang begitu aku
memintanya untuk menjual kepadaku saja.
Orang tersebut malah bertanya,” Untuk apa ? Aku menjawabnya,”Bahwa
dengan membunyikan lonceng itu, kami dapat memanggil kaum muslim untuk
menunaikan sholat.” Orang itu berkata lagi,”Maukah kau kuajari cara yang
lebih baik ?” Dan aku menjawab ” Ya !”
Lalu dia berkata lagi, dan kali ini dengan suara yang amat lantang , ”
Allahu Akbar,Allahu Akbar..”
Ketika esoknya aku bangun, aku menemui Rasulullah SAW dan menceritakan
perihal mimpi itu kepada beliau. Dan beliau berkata,”Itu mimpi yang
sebetulnya nyata. Berdirilah disamping Bilal dan ajarilah dia bagaimana
mengucapkan kalimat itu. Dia harus mengumandangkan adzan seperti itu dan
dia memiliki suara yang amat lantang.” Lalu akupun melakukan hal itu
bersama Bilal.”
Rupanya, mimpi serupa dialami pula oleh Umar r.a, ia juga
menceritakannya kepada Rasulullah SAW . Nabi SAW bersyukur kepada Allah
SWT atas semua ini.
Tulisan diambil dari Al-Islam Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

6. TIDUR DAN KEMATIAN
Prof. Arthur Alison: ”Karena Az Zumar 42”

Namaku Arthur Alison, seorang profesor yang menjabat Kepala Jurusan
Teknik Elektro Universitas London. Sebagai orang eksak, bagiku semua hal
bisa dikatakan benar jika masuk akal dan sesuai rasio. Karena itulah,
pada awalnya agama bagiku tak lebih dari objek studi. Sampai akhirnya
aku menemukan bahwa Al Quran, mampu menjangkau pemikiran manusia. Bahkan
lebih dari itu. Maka aku pun memeluk Islam.
Itu bermula saat aku diminta tampil untuk berbicara tentang metode
kedokteran spiritual. Undangan itu sampai kepadaku karena selama
beberapa tahun, aku mengetuai Kelompok Studi Spiritual dan Psikologis
Inggris. Saat itu, aku sebenarnya telah mengenal Islam melalui sejumlah
studi tentang agama-agama.
Pada September 1985 itulah, aku diundang untuk mengikuti Konferensi
Islam Internasional tentang ‘Keaslian Metode Pengobatan dalam Al
Quran’di Kairo. Pada acara itu, aku mempresentasikan makalah tentang
‘Terapi dengan Metode Spiritual dan Psikologis dalam Al Quran’.
Makalah itu merupakan pembanding atas makalah lain tentang ‘Tidur dan
Kematian’, yang bisa dibilang tafsir medis atas Quran surat Az Zumar
ayat 42 yang disampaikan ilmuwan Mesir, Dr. Mohammed Yahya Sharafi.
Fakta-fakta yang dikemukakan Sharafi atas ayat yang artinya, “Allah
memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang
belum mati di waktu tidurnya; Maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah
Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu
yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat
tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir,” telah membukakan
mata hatiku terhadap Islam.
Secara parapsikologis, seperti dijelaskan Al Quran, orang tidur dan
orang mati adalah dua fenomena yang sama. Yaitu dimana ruh terpisah dari
jasad. Bedanya, pada orang tidur, ruh dengan kekuasaan Allah bisa
kembali kepada jasad saat orang itu terjaga. Sedangkan pada orang mati,
tidak.
Ayat itu merupakan penjelasan, mengapa setiap orang yang bermimpi sadar
dan ingat bahwa ia telah bermimpi. Ia bisa mengingat mimpinya, padahal
saat bermimpi ia sedang tidur.
Al Quran surat Az Zumar ayat 42 ini juga menjadi penjelasan atas orang
yang mengalami koma. Secara fisik, orang yang koma tak ada bedanya
dengan orang mati. Tapi ia tak dapat dinyatakan mati, karena secara
psikis ada suatu kesadaran yang masih hidup.
“Bagaimana Al Quran yang diturunkan 15 abad silam, bisa menjelaskan
sebuah fenomena yang oleh teori parapsikologis baru bisa dikonsepsikan
pada abad ini?” Jawaban atas pertanyaan inilah yang akhirnya meyakinkan
aku untuk memeluk Islam.
Selepas sesi pemaparan kesimpulan dalam konferensi itu, disaksikan oleh
Syekh Jad Al-Haq, Dr. Mohammed Ahmady dan Dr. Mohammed Yahya Sharafi,
akupun menyatakan dengan tegas bahwa Islam adalah agama yang nyata benarnya.
Terbukti, isi Al Quran yang merupakan firman Allah pencipta manusia,
sesuai dengan fakta-fakta ilmiah. Kemudian dengan yakin, aku melafadzkan
dua kalimat syahadat yang sudah sangat fasih kubacakan. Sejak itu aku
pun menjadi seorang Muslim dan mengganti namaku menjadi Abdullah Alison.
Sebagai Ketua Kelompok Studi Spiritual dan Psikologi Inggris, aku telah
mengenal banyak agama melalui sejumlah studi yang dilakukan. Aku
mempelajari Hindu, Budha dan agama serta kepercayaan lainnya. Entah
kenapa, ketika aku mempelajari Islam, aku juga terdorong untuk melakukan
studi perbandingan dengan agama lainnya.
Walaupun baru pada saat konferensi di Mesir, aku yakin benar bahwa Islam
sebuah agama besar yang nyata perbedaannya dengan agama lain. Agama yang
paling baik diantara agama-agama lain adalah Islam. Ia cocok dengan
hukum alam tentang proses kejadian manusia. Maka hanya Islam-lah yang
pantas mengarahkan jalan hidup manusia.
Aku merasakan benar, ada sesuatu yang mengontrol alam ini. Dia itulah
Sang Kreator, Allah Swt. Dari pengalaman bagaimana aku mengenal dan
masuk Islam, aku pikir pendekatan ilmiah Al Quran bisa menjadi sarana
efektif untuk mendakwahkan Islam di Barat yang sangat rasional itu.
Sumber : (Pesantren.net)

7. KALUNG ANISA
Ini cerita tentang Anisa, seorang gadis kecil yang ceria berusia Lima
tahun. Pada suatu sore, Anisa menemani Ibunya berbelanja di suatu
supermarket. Ketika sedang menunggu giliran membayar, Anisa melihat
sebentuk kalung mutiara mungil berwarna putih berkilauan, tergantung
dalam sebuah kotak berwarna pink yang sangat cantik.
Kalung itu nampak begitu indah, sehingga Anisa sangat ingin memilikinya.
Tapi… Dia tahu, pasti Ibunya akan berkeberatan. Seperti biasanya,
sebelum berangkat ke supermarket dia sudah berjanji tidak akan meminta
apapun selain yang sudah disetujui untuk dibeli.
Dan tadi Ibunya sudah menyetujui untuk membelikannya kaos kaki ber-renda
yang cantik. Namun karena kalung itu sangat indah, diberanikannya bertanya.
“Ibu, bolehkah Anisa memiliki kalung ini? Ibu boleh kembalikan kaos kaki
yang tadi… “
Sang Bunda segera mengambil kotak kalung dari tangan Anisa. Dibaliknya
tertera harga Rp 15,000.
Dilihatnya mata Anisa yang memandangnya dengan penuh harap dan cemas.
Sebenarnya dia bisa saja langsung membelikan kalung itu, namun ia tak
mau bersikap tidak konsisten…
“Oke … Anisa, kamu boleh memiliki Kalung ini. Tapi kembalikan kaos kaki
yang kau pilih tadi. Dan karena harga kalung ini lebih mahal dari kaos
kaki itu, Ibu akan potong uang tabunganmu untuk minggu depan. Setuju ?”
Anisa mengangguk lega, dan segera berlari riang mengembalikan kaos kaki
ke raknya. “Terimakasih…, Ibu”
Anisa sangat menyukai dan menyayangi kalung mutiaranya. Menurutnya,
kalung itu membuatnya nampak cantik dan dewasa. Dia merasa secantik
Ibunya. Kalung itu tak pernah lepas dari lehernya, bahkan ketika tidur.
Kalung itu hanya dilepasnya jika dia mandi atau berenang. Sebab,kata
ibunya, jika basah, kalung itu akan rusak, dan membuat lehernya menjadi
hijau…
Setiap malam sebelum tidur, ayah Anisa membacakan cerita pengantar
tidur. Pada suatu malam, ketika selesai membacakan sebuah cerita,
Ayah bertanya “Anisa…, Anisa sayang Enggak sama Ayah ?”
“Tentu dong… Ayah pasti tahu kalau Anisa sayang Ayah !”
“Kalau begitu, berikan kepada Ayah kalung mutiaramu…
“Yah…, jangan dong Ayah ! Ayah boleh ambil “si Ratu” boneka kuda dari
nenek… ! Itu kesayanganku juga
“Ya sudahlah sayang,… ngga apa-apa !”. Ayah mencium pipi Anisa sebelum
keluar dari kamar Anisa.
Kira-kira seminggu berikutnya, setelah selesai membacakan cerita, Ayah
bertanya lagi, “Anisa…, Anisa sayang nggak sih, sama Ayah?”
“Ayah, Ayah tahu bukan kalau Anisa sayang sekali pada Ayah?”.
“Kalau begitu, berikan pada Ayah Kalung mutiaramu.”
“Jangan Ayah… Tapi kalau Ayah mau, Ayah boleh ambil boneka Barbie
ini..”Kata Anisa seraya menyerahkan boneka Barbie yang selalu
menemaninya bermain.
Beberapa malam kemudian, ketika Ayah masuk ke kamarnya, Anisa sedang
duduk di atas tempat tidurnya. Ketika didekati, Anisa rupanya sedang
menangis diam-diam. Kedua tangannya tergenggam di atas pangkuan. air
mata membasahi pipinya…”Ada apa Anisa, kenapa Anisa ?” Tanpa berucap
sepatah pun, Anisa membuka tangannya.
Di dalamnya melingkar cantik kalung mutiara kesayangannya” Kalau Ayah
mau…ambillah kalung Anisa”
Ayah tersenyum mengerti, diambilnya kalung itu dari tangan mungil Anisa.
Kalung itu dimasukkan ke dalam kantong celana. Dan dari kantong yang
satunya, dikeluarkan sebentuk kalung mutiara putih…sama cantiknya dengan
kalung yang sangat disayangi Anisa…”Anisa… ini untuk Anisa. Sama bukan ?
Memang begitu nampaknya, tapi kalung ini tidak akan membuat lehermu
menjadi hijau”
Ya…, ternyata Ayah memberikan kalung mutiara asli untuk menggantikan
kalung mutiara imitasi Anisa.
Demikian pula halnya dengan Allah S.W.T. terkadang Dia meminta sesuatu
dari kita, karena Dia berkenan untuk menggantikannya dengan yang lebih
baik. Namun, kadang-kadang kita seperti atau bahkan lebih naif dari
Anisa : Menggenggam erat sesuatu yang kita anggap amat berharga, dan
oleh karenanya tidak ikhlas bila harus kehilangan. Untuk itulah perlunya
sikap ikhlas, karena kita yakin tidak akan Allah mengambil sesuatu dari
kita jika tidak akan menggantinya dengan yang lebih baik.
Sumber : Daarut tauhiid

8. TEGAKKAN SHOLAT PHK DIDAPAT
Berawal dari sebuah perkenalannya dengan seorang pemuda muslim Evi
Cristiani yang kini sudah menjadi seorang muslimah yang patut dicontoh.
Perilaku keislamannya benar-benar diterapkan dalam kehidupannya
sehari-hari walau begitu berat cobaan yang dihadapinya.
Sekali syahadat sebagai kesaksian sakral sudah ia ucapkan maka pantang
baginya untuk surut menegakkan kalimat Allah dalam kalbunya. Sudah pasti
orang tuanya menentang keinginannya, Evi pun harus hijrah ke tempat kost
agar ibadahnya lancar ia kerjakan.
Belum lagi beres masalah dengan orang tuanya lantaran ia masuk Islam,
Evi harus menghadapi masalah di tempat kerjanya. Gadis berusia 27 tahun
bekerja di sebuah biro perjalanan yang mayoritas karyawannya beragama
non muslim. Profesionalisme juga tidak dijalankan di sana karena sikap
sebagian besar karyawannya masih memakai sentimen agama.
Hasilnya Evi jadi bulan-bulanan para atasan karena dianggap tidak
sejalan dengan pola pikir mereka. Ada acara rutin tiap dua pekan sekali
yang wajib diikuti oleh karyawan bagian Evi bertugas. Acara yang sarat
dengan unsur maksiat itu adalah mengunjungi bar-bar dan bersenang-senang
hingga mabuk.
Dulu ia tidak pernah lewatkan acara itu tapi sejak ia masuk Islam jelas
acara model itu ia tolak mentah-mentah. Segala alasan ia cari agar ia
bisa terbebas dari dosa itu. Sampai akhirnya atasannya jenuh dan tidak
akan mengajak Evi hura-hura lagi. Beres dengan yang satu itu muncullah
masalah lain yang tak kalah menyakitkan
Ketika seorang kawannya pulang dari tugas ke eropa, ia membawa oleh-oleh
yang dibagikan ke rekan-rekannya kantornya tak terkecualiEvi. Oleh-oleh
berupa kue itu tak disangka mengandung daging babi. Lantaran Evi tidak
tahu ia makan segigit kue itu lalu kawannya punberkata,”Evi itu kan ada
babinya kok dimakan juga”
Mendengar hal itu Evi pun lari ke kamar mandi dan memuntahkan
sebisa-bisa makanan dalam mulutnya sambil beristighfar tak henti-henti.
Kawannya pun ia tegur, tidak keras tapi tegas. Si kawan merasa tidak
salah dan berkelit. Evi menghentikan debatitu dan coba menyabarkan dirinya.
Yang diingatnya hanya kekuatan Allah agar bisa memberinya kekuatan untuk
dapat bertahan dari cobaan ini. Sejak itulah kebencian mulai tumbuh
subur di antara rekan sejawatnya. Menanggapi hal tersebut atasannya
segera memindahkannya ke bagian lain.
Lagi-lagi di bagian yang baru Evi dihujam oleh fitnah yang bertubi tubi.
Manajernya yang baru justru yang menjadi momok lahirnya fitnahan
tersebut. Cobaan demi cobaan itu dipuncaki dengan dipanggilnya ia oleh
pihak SDM.
Ia jelaskan bahwa ia harus menjalankan kewajibannya sebagai muslim yaitu
shalat dan berusaha menghindari kemaksiatan sekeras mungkin.Jalan keluar
tidak ketemu dan PHK jadi solusi yangterbaik.Evi terima dengan
ikhlas,”rejekiku sudah diatur olehNya,” gumam Evi mantap sambil keluar
kantor dengan perasaan lega.
Semoga Allah Swt memberikan kekuatan lahir bathin buat sdri. Evi yang
telah mendapatkan Hidayah di jalan Allah. Amin
Penulis Amma

9. NASEHAT YANG JITU
Pada suatu hari Ibrahim bin Adham didatangi oleh seorang lelaki yang
gemar melakukan maksiat. Lelaki tersebut bernama Jahdar bin Rabi’ah. Ia
meminta nasehat kepada Ibrahim agar ia dapat menghentikan perbuatan
maksiatnya.
Ia berkata, “Ya Aba Ishak, aku ini seorang yang suka melakukan perbuatan
maksiat. Tolong berikan aku cara yang ampuh untuk menghentikannya!”
Setelah merenung sejenak, Ibrahim berkata, “Jika kau mampu melaksanakan
lima syarat yang kuajukan, aku tidak keberatan kau berbuat dosa.”
Tentu saja dengan penuh rasa ingin tahu yang besar Jahdar balik
bertanya, “Apa saja syarat-syarat itu, ya Aba Ishak?”
“Syarat pertama, jika engkau melaksanakan perbuatan maksiat, janganlah
kau memakan rezeki Allah,” ucap Ibrahim.
Jahdar mengernyitkan dahinya lalu berkata, “Lalu aku makan dari mana?
Bukankah segala sesuatu yang berada di bumi ini adalah rezeki Allah?”
“Benar,” jawab Ibrahim dengan tegas. “Bila engkau telah mengetahuinya,
masih pantaskah engkau memakan rezeki-Nya, sementara Kau terus-menerus
melakukan maksiat dan melanggar perintah-perintahnya?”
“Baiklah,” jawab Jahdar tampak menyerah. “Kemudian apa syarat yang kedua?”
“Kalau kau bermaksiat kepada Allah, janganlah kau tinggal di bumi-Nya,”
kata Ibrahim lebih tegas lagi.
Syarat kedua membuat Jahdar lebih kaget lagi. “Apa? Syarat ini lebih
hebat lagi. Lalu aku harus tinggal di mana? Bukankah bumi dengan segala
isinya ini milik Allah?”
“Benar wahai hamba Allah. Karena itu, pikirkanlah baik-baik, apakah kau
masih pantas memakan rezeki-Nya dan tinggal di bumi-Nya, sementara kau
terus berbuat maksiat?” tanya Ibrahim.
“Kau benar Aba Ishak,” ucap Jahdar kemudian. “Lalu apa syarat ketiga?”
tanya Jahdar dengan penasaran.
“Kalau kau masih bermaksiat kepada Allah, tetapi masih ingin memakan
rezeki-Nya dan tinggal di bumi-Nya, maka carilah tempar bersembunyi
dari-Nya.”
Syarat ini membuat lelaki itu terkesima. “Ya Aba Ishak, nasihat macam
apa semua ini? Mana mungkin Allah tidak melihat kita?”
“Bagus! Kalau kau yakin Allah selalu melihat kita, tetapi kau masih
terus memakan rezeki-Nya, tinggal di bumi-Nya, dan terus melakukan
maksiat kepada-Nya, pantaskah kau melakukan semua itu?” tanya Ibrahin
kepada Jahdar yang masih tampak bingung dan terkesima. Semua ucapan itu
membuat Jahdar bin Rabi’ah tidak berkutik dan membenarkannya.
“Baiklah, ya Aba Ishak, lalu katakan sekarang apa syarat keempat?”
“Jika malaikat maut hendak mencabut nyawamu, katakanlah kepadanya bahwa
engkau belum mau mati sebelum bertaubat dan melakukan amal saleh.”
Jahdar termenung. Tampaknya ia mulai menyadari semua perbuatan yang
dilakukannya selama ini. Ia kemudian berkata, “Tidak mungkin… tidak
mungkin semua itu aku lakukan.”
“Wahai hamba Allah, bila kau tidak sanggup mengundurkan hari kematianmu,
lalu dengan cara apa kau dapat menghindari murka Allah?”
Tanpa banyak komentar lagi, ia bertanya syarat yang kelima, yang
merupakan syarat terakhir. Ibrahim bin Adham untuk kesekian kalinya
memberi nasihat kepada lelaki itu.
“Yang terakhir, bila malaikat Zabaniyah hendak menggiringmu ke neraka di
hari kiamat nanti, janganlah kau bersedia ikut dengannya dan menjauhlah!”
Lelaki itu nampaknya tidak sanggup lagi mendengar nasihatnya. Ia
menangis penuh penyesalan. Dengan wajah penuh sesal ia berkata,
“Cukup…cukup ya Aba Ishak! Jangan kau teruskan lagi. Aku tidak sanggup
lagi mendengarnya. Aku berjanji, mulai saat ini aku akan beristighfar
dan bertaubat nasuha kepada Allah.”
Jahdar memang menepati janjinya. Sejak pertemuannya dengan Ibrahim bin
Adham, ia benar-benar berubah. Ia mulai menjalankan ibadah dan semua
perintah-perintah Allah dengan baik dan khusyu’.
Ibrahim bin Adham yang sebenarnya adalah seorang pangeran yang berkuasa
di Balakh itu mendengar bahwa di salah satu negeri taklukannya, yaitu
negeri Yamamah, telah terjadi pembelotan terhadap dirinya. Kezaliman
merajalela. Semua itu terjadi karena ulah gubernur yang dipercayainya
untuk memimpin wilayah tersebut.
Selanjutny, Ibrahim bin Adham memanggil Jahdar bin Rabi’ah untuk
menghadap. Setelah ia menghadap, Ibrahim pun berkata, “Wahai Jahdar,
kini engkau telah bertaubat. Alangkah mulianya bila taubatmu itu
disertai amal kebajikan. Untuk itu, aku ingin memerintahkan engkau untuk
memberantas kezaliman yang terjadi di salah satu wilayah kekuasaanku.”
Mendengar perkataan Ibrahim bin Adham tersebut Jahdar menjawab, “Wahai
Aba Ishak, sungguh suatu anugrah yang amat mulia bagi saya, di mana saya
bisa berbuat yang terbaik untuk umat. Dan tugas tersebut akan saya
laksanakan dengan segenap kemampuan yang diberikan Allah kepada saya.
Kemudian di wilayah manakah gerangan kezaliman itu terjadi?”
Ibrahim bin Adham menjawab, “Kezaliman itu terjadi di Yamamah. Dan jika
engkau dapat memberantasnya, maka aku akan mengangkat engkau menjadi
gubernur di sana.”
Betapa kagetnya Jahdaar mendengar keterangan Ibrahim bin Adham. Kemudian
ia berkata, “Ya Allah, ini adalah rahmat-Mu dan sekaligus ujian atas
taubatku. Yamamah adalah sebuah wilayah yang dulu sering menjadi sasaran
perampokan yang aku lakukan dengan gerombolanku. Dan kini aku datang ke
sana untuk menegakkan keadilan. Subhanallah, Maha Suci Allah atas segala
rahmat-Nya.”
Kemudian, berangkatlah Jahdar bin Rabi’ah ke negeri Yamamah untuk
melaksanakan tugas mulia memberantas kezaliman, sekaligus menunaikan
amanah menegakkan keadilan. Pada akhirnya ia berhasil menunaikan tugas
tersebut, serta menjadi hamba Allah yang taat hingga akhir hayatnya.
Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

10. NASIHAT BAGI PENGUASA
Mengatakan kebenaran kepada penguasa yang menyeleweng memang perlu
keberanian yang tinggi, sebab resikonya besar. Bisa-bisa akan kehilangan
kebebasan, mendekam dalam penjara, bahkan lebih jauh lagi dari itu,
nyawa bisa melayang. Karena itu, tidaklah mengherankan ketika pada suatu
saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh seorang
sahabat perihal perjuangan apa yang paling utama, maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Mengatakan kebenaran kepada
penguasa yang menyeleweng.”
Demikian sabda Tasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang
dikisahkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasa’i, Abu
Daud, dan Tirmidzi, berdasarkan penuturan Abu Sa’id al-Khudry
Radhiyallahu ‘anhu, dan Abu Abdillah Thariq bin Syihab al-Bajily
al-Ahnasyi. Oleh sebab itu, sedikit sekali orang yang berani
melakukannya, yakni mengatakan kebenaran kepada penguasa yang menyeleweng.
Di antara yang sedikit itu (orang yang pemberani) terdapatlah nama
Thawus al-Yamani. Ia adalah seorang tabi’in, yakni generasi yang hidup
setelah para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bertemu dengan
mereka dan belajar dari mereka. Dikisahkan, suatu ketika Hisyam bin
Abdul Malik, seorang khalifah dari Bani Umayyah, melakukan perjalanan ke
Mekah guna melaksanakan ibadah haji. Di saat itu beliau meminta agar
dipertemukan dengan salah seorang sahabat Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang hidup. Namun sayang, ternyata ketika itu tak
seorang pun sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masih
hidup. Semua sudah wafat. Sebagai gantinya, beliau pun meminta agar
dipertemukan dengan seorang tabi’in.
Datanglah Thawus al-Yamani menghadap sebagai wakil dari para tabi’in.
Ketika menghadap, Thawus al-Yamani menanggalkan alas kakinya persis
ketika akan menginjak permadani yang dibentangkan di hadapan khalifah.
Kemudia ia langsung saja nyelonong masuk ke dalam tanpa mengucapkan
salam perhormatan pada khalifah yang tengah duduk menanti kedatangannya.
Thawus al-Yamani hanya mengucapkan salam biasa saja, “Assalamu’alaikum,”
langsung duduk di samping khalifah seraya bertanya, “Bagaimanakah
keadaanmu, wahai Hisyam?”
Melihat perilaku Thawus seperti itu, khalifah merasa tersinggung. Beliau
murka bukan main. Hampir saja beliau memerintahkan kepada para
pengawalnya untuk membunuh Thawus. Melihat gelagat yang demikian,
buru-buru Thawus berkata, “Ingat, Anda berada dalam wilayah haramullah
dan haramurasulihi (tanah suci Allah dan tanah suci Rasul-Nya). Karena
itu, demi tempat yang mulia ini, Anda tidak diperkenankan melakukan
perbuatan buruk seperti itu!”
“Lalu apa maksudmu melakukakan semua ini?” tanya khalifah.
“Apa yang aku lakukan?” Thawus balik bertanya.
Dengan geram khalifah pun berkata, “Kamu tanggalkan alas kaki persis di
depan permadaniku. Kamu masuk tanpa mengucapkan salam penghormatan
kepadaku sebagai khalifah, dan juga tidak mencium tanganku. Lalu, kamu
juga memanggilku hanya dengan nama kecilku, tanpa gelar dan kun-yahku.
Dan, sudah begitu, kamu berani pula duduk di sampingku tanpa seizinku.
Apakah semua itu bukan penghinaan terhadapku?”
“Wahai Hisyam!” jawab Thawus, “Kutanggalkan alas kakiku karena aku juga
menanggalkannya lima kali sehari ketika aku menghadap Tuhanku, Allah
‘Azza wa Jalla. Dia tidak marah, apalagi murka kepadaku lantaran itu.”
“Aku tidak mencium tanganmu lantaran kudengar Amirul Mukminin Ali
Radhiyallahu ‘anhu pernah berkata bahwa seorang tidak boleh mencium
tangan orang lain, kecuali tangan istrinya karena syahwat atau tangan
anak-anaknya karena kasih sayang.”
“Aku tidak mengucapkan salam penghormatan dan tidak menyebutmu dengan
kata-kata amiirul mukminin lantaran tidak semua rela dengan
kepemimpinanmu; karenanya aku enggan untuk berbohong.”
“Aku tidak memanggilmu dengan sebutan gelar kebesaran dan kun-yah
lantaran Allah memanggil para kekasih-Nya di dalam Alquran hanya dengan
sebutan nama semata, seperti ya Daud, ya Yahya, ya ‘Isa; dan memanggil
musuh-musuh-Nya dengan sebutan kun-yah seperti Abu Lahab….”
“Aku duduk persis di sampingmu lantaran kudengar Amiirul Mukminin Ali
Radhiyallahu ‘anhu pernah berkata bila kamu ingin melihat calon penghuni
neraka, maka lihatlah orang yang duduk sementara orang di sekitarnya
tegak berdiri.”
Mendengar jawaban Thawus yang panjang lebar itu, dan juga kebenaran yang
terkandung di dalamnya, khalifah pun tafakkur karenanya. Lalu ia
berkata, “Benar sekali apa yang Anda katakan itu. Nah, sekarang berilah
aku nasehat sehubungan dengan kedudukan ini!”
“Kudengar Amiirul Mukminin Ali Radhiyallahu ‘anhu berkata dalam sebuah
nasehatnya,” jawab Thawus, “Sesungguhnya dalam api neraka itu ada
ular-ular berbisa dan kalajengking raksasa yang menyengat setiap
pemimpin yang tidak adil terhadap rakyatnya.”
Mendengar jawaban dan nasehat Thawus seperti itu, khalifah hanya
terdiam, tak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia menyadari bahwa menjadi
seorang pemimpin harus bersikap arif dan bijaksana serta tidak boleh
meninggalkan nilai-nilai keadilan bagi seluruh rakyatnya. Setelah
berbincang-bincang beberapa lamanya perihal masalah-masalah yang penting
yang ditanyakan oleh khalifah, Thawus al-Yamani pun meminta diri.
Khalifah pun memperkenankannya dengan segala hormat dan lega dengan
nasehat-nasehatnya.
Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

11. ABU NAWAS DAN TEROMPAH AJAIB (2)
Seketika itu juga Abu Nawas menyadari apa yang terjadi. Ia lalu
menjelaskan kejadian yang sebenarnya dari awal hingga akhir. Orang-orang
pun percaya pada penuturan Abu Nawas. Sebab, selama ini Abu Nawas
dikenal sebagai orang yang jujur dan berbudi pekerti baik.
Setelah orang kampung meninggalkan rumahnya, Abu Nawas pun bermaksud
untuk mengembalikan terompah ajaib itu kepada pedagangnya di pasar.
Setelah berpamitan pada istrinya, ia segera pergi ke pasar untuk menemui
si pedagang terompah tersebut. Tak lama kemudian, sampailah ia di pasar
dan menemukan pedagang tersebut.
“Assalamu’alaikum!, ucap Abu Nawas memberi salam.
“Wa’alaikumussalam,” jawab si pedagang, “Ternyata Engkau Tuan, bagaimana
kabar Anda?”
“Kabar jelek. Aku selalu ditimpa kemalangan,” jawab Abu Nawas.
“Ditimpa kemalangan bagaimana?” tanya pedagang itu penasaran.
“Gara-gara terompah ini, aku terus-menerus ditimpa kemalangan. Padahal,
dulu Engkau mengatakan bahwa terompah ini bisa mendatangkan
keberuntungan. Aku bisa menjadi orang terkenal dan kaya, tetapi mana
buktinya? Malah aku sering kena marah orang kampung karena terompah ini.”
Kemudian ia menceritakan beberapa kejadian yang menimpanya.
“Seingat saya, saya tidak pernah mengatakan seperti itu tuan?” sergah si
pedagang tua itu. “Saya mengatakan bahwa bila Tuan mulanya orang yang
tidak punya, maka dengan membelinya, Tuan akan menjadi orang yang punya.
Buktinya sekarang Tuan telah mempunyai terompah ini dan dikenal oleh
orang banyak karena memilikinya.”
Mendengar penuturan pedagang itu, Abu Nawas hanya bisa diam saja. Ia
menyadari bahwa dirinya telah salah tafsir. “Tapi…tapi…mengapa terompah
ini Engkau katakan terompah ajaib?” tanya Abu Nawas kemudian.
“Oh, itu?” pedagang tersebut menjawab, “Sebab merek terompah itu adalah
Ajaib, sebagaimana dinamakan oleh pembuatnya. Jadi, pantaslah bila saya
menyebutnya terompah ajaib, sebagaimana kita menyebut ikan ikan mas.
Sebab ikan itu berwarna keemasan.”
Sekali lagi Abu Nawas tidak bisa berkata apa-apa mendengar penuturan
pedagang itu. Lantas ia mohon diri begitu saja. “Tapi, tunggu tuan!”
cegah pedagang itu ketika melihat Abu Nawas bergegas akan pergi.
“Saya ingin mengatakan sesuatu kepada tuan.”Tuan ada sedikit pun rasa
percaya bahwa sesuatu selain Allah itu bisa mendatangkan kekayaan atau
keberuntungan atau yang lainnya. Sebab, percaya pada sesuatu selain
Allah itu bisa membuat kita syirik dan mendapatkan kesusahan baik di
dunia maupun di akhirat kelak, buktinya sebagaiman tuan alami. Oleh
karena itu, segeralah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebelum
semuanya terlambat. Sebab, bagaimana pun juga syirik seperti ini jarang
sekali bisa kita sadari, kecuali hanya hamba-hamba Allah yang selalu
berserah diri kepada-Nya.”
Mendengar penuturan seperti itu, Abu Nawas baru menyadari kesalahannya.
Ternyata banyak sekali hal-hal yang bisa membawa kepada perbuatan yang
dimurkai Allah. Mulai saat itulah ia sangat berhati-hati kepada hal-hal
yang (kadang-kadang tanpa disadari) akan menjerumuskan kita pada
perbuatan syirik terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

12. WANITA PEMERAH SUSU DAN ANAK GADISNYA
Pada zaman pemerintahan Umar bin Khaththab hiduplah seorang janda miskin
bersama seorang anak gadisnya di sebuah gubuk tua di pinggiran kota
Mekah. Keduanya sangat rajin beribadah dan bekerja untuk memenuhi
kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Setiap pagi, selesai salat subuh,
keduanya memerah susu kambing di kandang. Penduduk kota Mekah banyak
yang menyukai susu kambing wanita itu karena mutunya yang baik.
Pada suatu malam, Khalifah Umar ditemani pengawalnya berkeliling negeri
untuk melihat dari dekat keadaan hidup dan kesejahteraan rakyatnya.
Setelah beberapa saat berkeliling, sampailah khalifah di pinggiran kota
Mekah. Beliau tertarik melihat sebuah gubuk kecil dengan cahaya yang
masih tampak dari dalamnya yang menandakan bahwa penghuninya belum
tidur. Khalifah turun dari kudanya, lalu mendekati gubuk itu.
Samar-samar telinganya mendengar percakapan seorang wanita dengan anaknya.
“Anakku, malam ini kambing kita hanya mengeluarkan susu sedikit sekali.
Ini tidak cukup untuk memenuhi permintaan pelanggan kita besok pagi,”
keluh wanita itu kepada anaknya.
Dengan tersenyum, anak gadisnya yang beranjak dewasa itu menghibur,
“Ibu, tidak usah disesali. Inilah rezeki yang diberikan Allah kepada
kita hari ini. Semoga besok kambing kita mengeluarkan susu yang lebih
banyak lagi.”
“Tapi, aku khawatir para pelanggan kita tidak mau membeli susu kepada
kita lagi. Bagaimana kalau susu itu kita campur air supaya kelihatan
banyak?”
“Jangan, Bu!” gadis itu melarang. “Bagaimanapun kita tidak boleh berbuat
curang. Lebih baik kita katakan dengan jujur pada pelanggan bahwa hasil
susu hari ini hanya sedikit. Mereka tentu akan memakluminya. Lagi pula
kalau ketahuan, kita akan dihukum oleh Khalifah Umar. Percayalah,
ketidakjujuran itu akan menyiksa hati.”
Dari luar gubuk itu, Khalifah Umar semakin penasaran ingin terus
mendengar kelanjutan percakapan antara janda dan anak gadisnya itu.
“Bagaimana mungkin khalifah Umar tahu!” kata janda itu kepada anaknya.
“Saat ini beliau sedang tertidur pulas di istananya yang megah tanpa
pernah mengalami kesulitan seperti kita ini?”
Melihat ibunya masih tetap bersikeras dengan alasannya, gadis remaja itu
tersenyum dengan lembut dan berkata, “Ibu, memang Khalifah tidak melihat
apa yang kita lakukan sekarang. Tapi Allah Maha Melihat setiap
gerak-gerik makhluknya. Meskipun kita miskin, jangan sampai kita
melakukan sesuatu yang dimurkai Allah.”
Dari luar gubuk, khalifah tersenyum mendengar ucapan gadis itu. Beliau
benar-benar kagum dengan kejujurannya. Ternyata kemiskinan dan himpitan
keadaan tidak membuatnya terpengaruh untuk berbuat curang. Setelah itu
khalifah mengajak pengawalnya pulang.
Keesokan harinya, Umar memerintahkan beberapa orang untuk menjemput
wanita pemerah susu dan anak gadisnya untuk menghadap kepadanya. Beliau
ternyata bermaksud menikahkan putranya dengan gadis jujur itu.
Sungguh sebuah teladan bagi kita semua, bahwa kejujuran karena takut
kepada Allah adalah suatu harta yang tak ternilai harganya. Mungkin ini
yang sulit kita dapatkan sekarang.
Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

13. HARTA TITAPAN BANI UMAYAH
Seorang lelaki yang dicurigai menyimpan harta titipan milik dinasti Bani
Umayyah dilaporkan kepada Khalifah al-Manshur. Ia segera ditangkap dan
dihadapkan kepada sang Khalifah.
“Kami dengar laporan, kamu menyimpan harta titipan milik Bani Umayyah.
Sekarang serahkan kepada kami,” kata Khalifah.
“Amirul Mukminin, apakah Tuan pewaris Bani Umayyah?” tanyanya.
“Tidak,”jawab sang Khalifah.
“Atau, mereka sudah memberi wasiat kepada Anda?”
“Juga tidak.”
“Lalu mengapa Tuan meminta aku menyerahkan harta yang ada di tanganku?”
Sejenak Khalifah al-Manshur menunduk tanda ia sedang berpikir. Kemudian
sambil mengangkat kepala ia beujar:
“Sesungguhnya para pemimpin dinasti Bani Umayyah suka berlaku zaiim
kepada kaum muslimin waktu itu. Selaku khalifah, kami berhak mengurus
hak mereka. Jadi, kami bermaksud mengambil hak mereka, lalu kami simpan
ke dalam kas negara.”
“Tuan perlu mengajukan bukti yang adil bahwa harta milik Bani Umayyah
yang ada padaku adalah milik kaum muslimin yang dirampas secara tidak
sah. Sebab, boleh jadi ini adalah mumi milik mereka sendiri.”
“Kamu benar. Kamu memang berhak atas harta itu,” kata sang Khalifah.
“Terima kasih atas pengertian Tuan, Amirul Mukminin.”
“Sekarang apa keperluanmu?”
“Aku ingin Tuan berkenan mempertemukan aku dengan orang yang melaporkan
masalah ini kepadamu. Aku merasa penasaran ingin mengetahuinya.”
Permintaan tersebut dikabulkan oleh Khalifah al-Manshur. Begitu
dipertemukan, akhirnya jelas bahwa orang yang melaporkan itu adalah
budak lelakinya sendiri yang telah cukup lama menghilang, tetapi ia
masih ingat dan mengenalinya.
“Dia ini budakku, Amirul Mukminin,” katanya, “Setelah mencuri uangku
tiga ribu dinar, ia minggat. Dan, mungkin karena takut aku mencarinya,
ia kemudian melaporkan aku kepada tuan yang bukan-bukan.”
Setelah dimintai penjelasan dan ditakut-takuti oleh Khalifah al-Manshur,
akhirnya budak itu mengakui semua perbuatannya yang tercela tersebut.
“Kami minta kamu memaafkannya,” kata Khalifah.
“Sudah aku maafkan. Bahkan, aku memerdekakan dia. Selain mengikhlaskan
uang tiga ribu dinar yang telah ia curi, aku juga ingin memberinya tiga
ribu dinar lagi,” katanya sambil menyerahkan sebuah bungkusan. Kemudian
ia pun beranjak pergi.
Khalifah al-Manshur merasa kagum atas sikap warganya itu seraya berkata,
“Sungguh luar biasa dia!”
Sumber: al-Mustajad min Fa’alat al-Ajwad, at-Tanukhi
Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

14. ZIYAD BIN ABU SUFYAN
Sumiyah, ibunda Ziyad, adalah seorang wanita pelacur. Abu Sufyan bin
Harb mengaku bahwa dirinya satu-satunya lelaki yang menghamili wanita
itu. Jadi dia ayah Ziyad.
Suatu hari Khalifah Mu’awiyah naik ke atas mimbar, dan menyuruh Ziyad
untuk berdiri di sampingnya.
“Saudara-saudara sekalian, sungguh aku sudah mengenal siapa Ziyad ini.
Tetapi, siapa di antara kalian yang memiliki bukti, silakan ajukan!”
kata Mu’awiyah kepada para hadirin.
Semua yang hadir berdiri seraya memberikan kesaksian bahwa Ziyad adalah
putera Abu Sufyan. Oleh Mu’awiyah ia lalu diangkat sebagai penguasa
Kufah merangkap Bashrah.
Pada hari penobatan Ziyad sebagai penguasa kedua wilayah tersebut
diadakan upacara arak-arakan yang cukup meriah. Seorang lelaki buta dari
suku Bani Makhzum yang biasa dipanggil Abul Urban ikut menonton di
pinggir jalan.
“Siapa yang diangkat sebagai penguasa kali ini?” tanya Abul Urban kepada
seseorang di sebelahnya.
“Ziyad bin Abu Sufyan,” jawabnya.
“Apa? Setahuku Abu Sufyan tidak punya putera bernama Ziyad,” kata Abul
Urban.
“Jadi, Ziyad siapa?” tanya orang itu.
“Sungguh banyak hal yang telah dirusak Allah, banyak rumah yang telah
dirobohkan-Nya, dan banyak budak yang telah dikembalikan-Nya kepada
tuan-tuannya,” jawab Abul Urban.
Seorang mata-mata kerajaan kebetulan mendengar ucapan Abul Urban
tersebut. Ia lalu melaporkannya kepada Mu’awiyah. Khalifah ini segera
mengirim seorang kurir membawa sepucuk surat berisi:
“Celaka kamu oleh ibumu. Setibanya suratku ini potonglah lidah laki-laki
buta dan suku Bani Makhzum itu jika ia berani mengatakan lagi kalau kamu
bukan putera Abu Sufyan.”
Ketika si kurir hendak mohon diri, Ziyad menitipkan uang sebanyak seribu
dinar untuk Khalifah Mu’awiyah, seraya berpesan:
“Sampaikan salamku kepadanya. Katakan kepadanya, aku baru bisa mengirim
uang sejumlah ini. Gunakan lebih dahulu! Kali lain aku akan mengiriminya
lagi.”
Dengan ditemani seorang pengawal, esoknya Ziyad menemui laki-laki
tunanetra dari Bani Makhzum itu.
Setelah mengucapkan salam, pengawal bertanya:
“Siapa orang yang bersamaku ini?”
“Dia pasti Ziyad bin Abu Sufyan,” jawabnya dengan tegas.
Sepeninggal kedua tamunya, laki-laki tunanetra dari suku Bani Makhzum
itu menangis seraya berkata,
“Demi Allah, aku mengenal persis siapa Abu Sufyan.”
Sumber: Muhadharat al-Asibba, al-Raghib al-Ashfahani
Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

15. ABU HANIFAH DAN TETANGGANYA
Di Kufah, Abu Hanifah mempunyai tetangga tukang sepatu. Sepanjang hari
bekerja, menjelang malam ia baru pulang ke rumah. Biasanya ia membawa
oleh-oleh berupa daging untuk dimasak atau seekor ikan besar untuk
dibakar. Selesai makan, ia terus minum tiada henti-hentinya sambil
bemyanyi, dan baru berhenti jauh malam setelah ia merasa mengantuk
sekali, kemudian tidur pulas.
Abu Hanifah yang sudah terbiasa melaksanakan salat sepanjang malam,
tentu saja merasa terganggu oleh suara nyanyian si tukang sepatu
tersebut. Tetapi, ia diamkan saja. Pada suatu malam, Abu Hanifah tidak
mendengar tetangganya itu bernyanyi-nyanyi seperti biasanya. Sesaat ia
keluar untuk mencari kabarnya. Ternyata menurut keterangan tetangga
lain, ia baru saja ditangkap polisi dan ditahan.
Selesai salat subuh, ketika hari masih pagi, Abu Hanifah naik bighalnya
ke istana. Ia ingin menemui Amir Kufah. Ia disambut dengan penuh khidmat
dan hormat. Sang Amir sendiri yang berkenan menemuinya.
“Ada yang bisa aku bantu?” tanya sang Amir.
“Tetanggaku tukang sepatu kemarin ditangkap polisi. Tolong lepaskan ia
dari tahanan, Amir, ” jawab Abu Hanifah.
“Baikiah,” kata sang Amir yang segera menyuruh seorang polisi penjara
untuk melepaskan tetangga Abu Hanifah yang baru ditangkap kemarin petang.
Abu Hanifah pulang dengan naik bighalnya pelan-pelan. Sementara, si
tukang sepatu berjalan kaki di belakangnya. Ketika tiba di rumah, Abu
Hanifah turun dan menoleh kepada tetangganya itu seraya berkata,
“Bagaimana? Aku tidak mengecewakanmu kan?”
“Tidak, bahkan sebaliknya.” Ia menambahkan, “Terima kasih. Semoga Allah
memberimu balasan kebajikan.”
Sejak itu ia tidak lagi mengulangi kebiasaannya, sehingga Abu Hanifah
dapat merasa lebih khusyu’ dalam ibadahnya setiap malam.
Sumber: Al-Thabaqat al-Saniyyat fi Tajarun al-Hanafiyat, Taqiyyuddin bin
Abdul Qadir al-Tammii
Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

16 MULAILAH BICARA
Ketika hendak melepas pasukan yang akan terjun ke dalam medan
pertempuran, seorang jenderal yang dipercaya sebagai komandan menghadap
Khalifah Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Setelah menanyakan tentang keadaan
serta persiapan pasukan, Khalifah Mu’awiyah mengajak si jenderal
berbincang-bincang sejenak. Namun tiba-tiba si jenderal mengeluarkan
suara kentut. Seketika itu ia terdiam malu.
“Ayo, mulailah bicara. Demi Allah, aku lebih sering mendengar suara itu
dari orang lain daripada diriku sendiri,” kata Khalifah Mu’awiyah.
Sumber: Ansab al-Asyraf, al-Baladziri
Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

17 ALHAMDULILLAH
Sari al-Suqthi, seorang ulama ahli ilmu tauhid yang sangat wara’
berkata, “Sudah tiga puluh tahun lamanya aku selalu membaca istighfar,
dan baru sekali ini aku membaca alhamdulillah.”
“Bagaimana ceritanya?” tanya seorang sahabatnya.
“Pada waktu terjadi peristiwa kebakaran di pasar Baghdad, seseorang
dengan tergopoh-gopoh datang menemuiku seraya memberitahukan bahwa
kedaiku selamat. Spontan aku berucap ‘Alhamdulillah!’ Tetapi, lantas aku
menyesal, karena mensyukuri keberuntunganku sendiri di atas penderitaan
orang banyak.”jawabnya.
Sumber: Al-Wafi bi al-Wafyat, al- Shafadi
Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

18. TUKANG BEKAM BERSAMA AL HAJJAJ
Suatu hari al-Hajjaj berbekam. Ketika baru saja memulai pekerjaannya, si
tukang bekam berkata, “Senang sekali seandainya Tuan mau menceritakan
kepadaku tentang ceritamu dengan Ibnu al-Asy’ats. Maksudku mengapa ia
sampai berani menentangmu?”
“Selesaikan dahulu pekerjaanmu ini. Nanti pasti akan aku ceritakan
padamu,” jawab al-Hajjaj.
Berkali-kali tukang bekam itu mengulangi permintaannya. Dan,
berkali-kali pula al-Hajjaj meyakinkan bahwa ia akan memenuhinya setelah
selesai berbekam. Begitu selesai berbekam dan membereskan segala
sesuatunya, termasuk membersihkan darah, al-Hajjaj memerintahkan supaya
memanggil si tukang bekam.
“Aku tadi sudah berjanji kepadamu akan mengungkapkan ceritaku dengan
Ibnu al-Asy’ats. Bahkan, aku telah bersumpah segala.” “Baiklah, sekarang
akan aku penuhi,” kata al-Hajjaj.
“Terima kasih, Tuan masih ingat,” kata si tukang bekam.
Tiba-tiba al-Hajjaj berteriak memanggil pelayan agar mengambil cambuk.
Tidak lama kemudian si pelayan muncul dengan membawa cambuk. Si tukang
bekam disuruh telanjang. Setelah panjang lebar mengungkapkan cerita
dirinya dengan Ibnu al-Asy’ats, al-Hajjaj lalu
menghajar si tukang bekam dengan cambuk sebanyak lima ratus kali,
sehingga tubuhnya babak belur dan hampir mati.
“Aku telah penuhi janjiku kepadamu. Lain kali jika kamu memintaku
menceritakan pengalamanku dengan selain Ibnu al-Asy’ats tentu akan aku
penuhi lagi, asal dengan syarat seperti ini,” kata al-Hajjaj.
Sumber: al-Wuzara, Hilal bin Muhsin al-Shabi’i
Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

19. AL-BALKHI DAN SI BURUNG PINCANG
Alkisah, hiduplah pada zaman dahulu seorang yang terkenal dengan
kesalehannya, bernama al-Balkhi. Ia mempunyai sahabat karib yang bernama
Ibrahim bin Adham yang terkenal sangat zuhud. Orang sering memanggil
Ibrahim bin Adham dengan panggilan Abu Ishak.
Pada suatu hari, al-Balkhi berangkat ke negeri orang untuk berdagang.
Sebelum berangkat, tidak ketinggalan ia berpamitan kepada sahabatnya
itu. Namun belum lama al-Balkhi meninggalkan tempat itu, tiba-tiba ia
datang lagi. Sahabatnya menjadi heran, mengapa ia pulang begitu cepat
dari yang direncanakannya. Padahal negeri yang ditujunya sangat jauh
lokasinya. Ibrahim bin Adham yang saat itu berada di masjid langsung
bertanya kepada al-Balkhi, sahabatnya. “Wahai al-Balkhi sahabatku,
mengapa engkau pulang begitu cepat?”
“Dalam perjalanan”, jawab al-Balkhi, “aku melihat suatu keanehan,
sehingga aku memutuskan untuk segera membatalkan perjalanan”.
“Keanehan apa yang kamu maksud?” tanya Ibrahim bin Adham penasaran.
“Ketika aku sedang beristirahat di sebuah bangunan yang telah rusak”,
jawab al-Balkhi menceritakan, “aku memperhatikan seekor burung yang
pincang dan buta. Aku pun kemudian bertanya-tanya dalam hati. “Bagaimana
burung ini bisa bertahan hidup, padahal ia berada di tempat yang jauh
dari teman-temannya, matanya tidak bisa melihat, berjalan pun ia tak bisa”.
“Tidak lama kemudian”, lanjut al-Balkhi, “ada seekor burung lain yang
dengan susah payah menghampirinya sambil membawa makanan untuknya.
Seharian penuh aku terus memperhatikan gerak-gerik burung itu. Ternyata
ia tak pernah kekurangan makanan, karena ia berulangkali diberi makanan
oleh temannya yang sehat”.
“Lantas apa hubungannya dengan kepulanganmu?” tanya Ibrahim bin Adham
yang belum mengerti maksud kepulangan sahabat karibnya itu dengan segera.
“Maka aku pun berkesimpulan”, jawab al-Balkhi seraya bergumam, “bahwa
Sang Pemberi Rizki telah memberi rizki yang cukup kepada seekor burung
yang pincang lagi buta dan jauh dari teman-temannya. Kalau begitu, Allah
Maha Pemberi, tentu akan pula mencukupkan rizkiku sekali pun aku tidak
bekerja”. Oleh karena itu, aku pun akhirnya memutuskan untuk segera
pulang saat itu juga”.
Mendengar penuturan sahabatnya itu, Ibrahim bin Adham berkata, “wahai
al-Balkhi sahabatku, mengapa engkau memiliki pemikiran serendah itu?
Mengapa engkau rela mensejajarkan derajatmu dengan seekor burung pincang
lagi buta itu? Mengapa kamu mengikhlaskan dirimu sendiri untuk hidup
dari belas kasihan dan bantuan orang lain? Mengapa kamu tidak berpikiran
sehat untuk mencoba perilaku burung yang satunya lagi? Ia bekerja keras
untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan kebutuhan hidup sahabatnya yang
memang tidak mampu bekerja? Apakah kamu tidak tahu, bahwa tangan di atas
itu lebih mulia daripada tangan di bawah?”
Al-Balkhi pun langsung menyadari kekhilafannya. Ia baru sadar bahwa
dirinya salah dalam mengambil pelajaran dari kedua burung tersebut. Saat
itu pulalah ia langsung bangkit dan mohon diri kepada Ibrahim bin Adham
seraya berkata, “wahai Abu Ishak, ternyata engkaulah guru kami yang
baik”. Lalu berangkatlah ia melanjutkan perjalanan dagangnya yang sempat
tertunda.
Dari kisah ini, mengingatkan kita semua pada hadits yang diriwayatkan
dari Miqdam bin Ma’dikarib radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, yang artinya: “Tidak ada
sama sekali cara yang lebih baik bagi seseorang untuk makan selain dari
memakan hasil karya tangannya sendiri. Dan sesungguhnya Nabiyullah Daud
‘alaihis salam makan dari hasil jerih payahnya sendiri” (HR. Bukhari).

20. SOK TAHU
Suatu hari Utbah bin an-Nahhas al-Ajali berpidato sebagai berikut.
“Bagus sekali apa yang difirmankan Allah dalam Kitab-Nya, “Tidaklah
kekal orang yang hidup di atas angan-angan….”
Serta merta Hisyam bin al-Kalbi menyanggahnya seraya berkata:
“Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung tidak pernah berfirman seperti
itu. Itu ucapan penyair Ady bin Zaid.”
“Subhanallah! Aku kira itu firman Allah. Bagus sekali ucapan Ady itu,”
kata Utbah sambil turun dari mimbar.
Pada hari yang lain, seorang wanita dari golongan kaum Khawarij
dihadapkan pada Utbah.
“Hai perempuan musuh Allah! Mengapa kamu menentang Amirul Mukminin?
Tidakkah kamu pemah mendengar firman Allah yang berbunyi, ‘Diwajibkan
perang.’ Dan perang bagi kita serta bagi penyanyi-penyanyi perempuan
adalah semudah menarik ekor?” katanya sok tahu.
“Yang membuatku menentang Amirul Mukminin adalah sikap sok tahumu
terhadap kitab Allah,” jawab wanita Khawarij tersebut.
Sumber: al-Fihrasat, Ibnu Nadim
Al-Islam – Pusat informasi dan Komunikasi islam Indonesia

21. OBAT PENYUBUR
Seorang lelaki mendatangi dokter mengeluhkan isterinya yang sudah lama
belum juga bisa memberinya keturunan.
Setelah memeriksa denyut jantung si isteri, dokter berkata:
“Kamu tidak memerlukan obat penyubur. Sebab, berdasarkan pemeriksaan
denyut jantung, empat puluh hari lagi engkau bakal meninggal.”
Si isteri merasa ketakutan sekali mendengar keterangan dokter itu. Ia
putus asa menjalani sisa kehidupan yang tinggal sebentar lagi.
Akibatnya, ia tidak berselera makan dan minum.
Tetapi, sampai batas waktu empat puluh hari yang dikatakan dokter,
ternyata ia masih hidup. Merasa penasaran, suaminya lalu menemui dokter
untuk menanyakannya.
“Dokter, isteriku belum meninggal,” katanya.
“Aku tahu itu,”jawab dokter. “Bahkan, insya Allah sebentar lagi ia akan
mengandung.”
Sang suami yang sebenarnya sudah pasrah atas suratan takdir Allah itu
menjadi tidak habis pikir dengan keterangan dokter.
“Apa maksud dokter? Bagaimana itu bisa terjadi?” tanyanya penasaran.
“Begini,” kata dokter, “Dulu aku lihat istrimu kegemukan, banyak lemak
yang mengganggu pada bibir rahimnya. Aku sengaja menakutinya dengan
kematian supaya ia bisa kurus. Dan temyata berhasil, sehingga sesuatu
yang menyebabkan ia tidak bisa melahirkan menjadi hilang.”
Sumber: al lhya’ Ulum al Din, Imam al Ghazali
Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam indonesia

22. SHUHAIB DAN ALGOJO
Shuhaib al-Madani akan dijatuhi hukuman cambuk karena tertangkap basah
meminum mmuman keras. Tubuh Shuhaib tinggi besar, sementara tubuh si
algojo kurus pendek.
“Ayo membungkuk, supaya aku bisa mencambukmu,” pinta algojo.
“Hai tolol! Emangye Lu mau ngajak aku makan manisan?” jawab Shuhaib.
Sumber: al-Basha’ir wa al-Dzakha’ir, Abu Hayyan al-Tauhidi
Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

23. RASYID BIN ZUBAIR DAN WANITA KAIRO
Rasyid bin Zubair adalah seorang yang mempunyai kharisma yang tinggi. Ia
dari keturunan ningrat dan menguasai berbagai ilmu. Namun, sayangnya ia
berwajah jelek, kulitnya hitam, bibir tebal, hidung pesek, dan bertubuh
pendek.
Suatu ketika ia menceritakan pengalamannya di kota Kairo sebagai berikut:
“Suatu hari aku berjalan-jalan di kota Kairo. Aku bertemu seorang wanita
berwajah cantik. Begitu melihatku, aku merasa ia terpesona padaku.
Demikian pula dengan aku, sehingga aku lupa diri. Matanya memandang ke
arahku, dan itu membuat sekujur tubuhku semakin gemetar terasa panas
dingin.”
“Aku ikuti ia yang masuk keluar gang. Akhirnya, ia berhenti di depan
sebuah rumah. Sebelum masuk, ia sempat memberiku isyarat mata sambil
menyingkapkan kain cadarnya. Aku semakin terlena melihat kecantikan
wajahnya yang bagaikan bulan pumama.”
Selanjutnya ia bertepuk tangan seraya memanggil nama, ‘Ayo Halimah,
kemarilah!’ Seorang anak kecil perempuan berjalan menuju kearahnya.
‘Kalau kamu ngompol lagi, biar dikremes tuan Qadii nanti!’ ancamnya pada
anak kecil itu.
Selanjutnya ia menoleh padaku dan berkata, “Oh, kamu. Mudah-mudahan
Allah membalas kebaikanmu karena telah mengantarku.”
Dengan rasa malu aku membalikkan badan, dan segera melangkah entah
menuju ke mana.
Sumber: Mu’ jam al Adibba’, Yaqut
Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

24. ISTRI KEDUA
Abdullah bin Syekh Hasan al Jibrati menikah dengan Fatimah binti
Ramadhan Jalabi. Fatimah ini figur isteri yang baik dan berbakti. Di
antara kebaikannya, ia biasa membelikan suaminya pakaian yang
bagus-bagus dengan uangnya sendiri, demikian pula untuk membelikan
pakaian serta perhiasannya sendiri.
Ia tidak pernah meminta uang kepada suami, atau menggunakan uang belanja
keluarga. Begitu baiknya, sampai-sampai ia diam saja dan tidak merasa
cemburu melihat suaminya suka membeli budak perempuan. Kesetiaannya
tidak menjadi luntur; sama sekali tidak terpengaruh. Atas semua itu ia
berharap beroleh balasan pahala yang berlipat ganda dari Allah.
Pada tahun 1156 Hijriyah, Abdullah pergi haji. Di Mekah ia berkenalan
dengan orang bemama Umar al Halbi. Ia dipesan untuk membeli seorang
budak perempuan berkulit putih, masih perawan, dan bertubuh langsing.
Pulang dari ibadah haji, ia mencari budak perempuan dengan ciri-ciri
tersebut, dan cukup lama ia baru mendapatkannya.
Abdullah memperkenalkan budak perempuan yang baru dibelinya itu kepada
isterinya. Tetapi sang istri sama sekali tidak tersinggung. Ia bahkan
menganggapnya sebagai puterinya sendiri. Lama-kelamaan keduanya saling
mencintai, dan tidak mau berpisah selamanya.
“Jadi bagaimana ini?” tanya Abdullah kepada isterinya.
“Begini saja,”jawab sang isteri, “Aku ganti uangnya, lalu kamu belikan
budak yang lain.”
“Baiklah,” kata Abdullah setuju.
Oleh Fatimah, budak perempuan yang baru dibelinya itu dimerdekakan, dan
dinikahkan dengan suaminya. Bahkan, ia menyediakan kamar tersendiri
untuk madunya tersebut.
Pada tahun 1165 Abdullah memboyong isteri keduanya ini ke rumah sendiri.
Tetapi, istri pertama tetap merasa berat untuk berpisah barang sesaat
pun, meski ia telah memiliki beberapa orang anak.
Pada tahun 1182 isteri kedua jatuh sakit, lalu disusul oleh isteri
pertama. Kian lama sakit keduanya kian parah. Tengah hari, isteri kedua
memaksakan diri bangun dari pembaringan. Ia menangis melihat isteri
pertama dalam keadaan pingsan. Ia berdoa, “Tuhan, jika Engkau takdirkan
ia meninggal, jangan ia mendahuluiku.”
Benar… Malamnya, isteri kedua itu meninggal dunia. Ia disemayamkan di
samping isteri pertama. Saat menjelang subuh, ia siuman. Sambil
meraba-raba ia membangunkan madunya. Namun, ia menjadi lunglai ketika
diberitahu bahwa madunya sudah meninggal. Ia menangis melolong-lolong
hingga tengah hari. Setelah ikut menyaksikan madunya dimandikan, ia pun
kembali ke pembaringannya. Petang hari ia meninggal dunia, dan
jenazahnya dimakamkan pada hari berikutnya.
Sumber: ‘Aja’ib al Atsar, al Jibrati
Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

25. PERCAKAPAN MUSA DENGAN TUHANNYA
Musa as: “Oh Tuhan, ajarilah kami sesuatu yang dapat kami gunakan untuk
berzikir dan berdoa kepada Engkau.”
Tuhan: “Ucapkan Laa Ilaaha Illallaah hai Musa!”
Musa as: “Oh Tuhan, semua hamba-Mu telah mengucapkan kalimat itu.”
Tuhan: “Hai Musa, andaikan langit yang tujuh beserta seluruh penghuninya
selain Aku, dan bumi yang tujuh ditimbang dengan Laa Ilaaha Illallaah,
niscaya masih berat Laa Ilaaha Illallaah.”
Sumber : 1001 Kisah-Kisah Nyata, Ahmad Sunarto

26. TIDAK LAYAK
Seorang laki-laki mengaku sebagai penyair, tetapi masyarakat
menanggapinya dengan dingin. “Kalian bersikap dingin kepadaku karena
iri,” katanya.
“Di tengah-tengah kita ada Basyar Al-Uqaili, penyair hebat. Sebaiknya
biar dia yang mengujimu,” kata mereka.
Selesai mendengar puisi-puisi karya orang itu, Basyar bilang:
“Kamu termasuk anggota keluarga Nabi.”
“Maksudmu?” tanya laki-laki itu.
“Sebab, Allah berfirman, “Dan kami tidak mengajarkan syair kepadanya,
dan bersyair itu tidak layak baginya,” jawab Basyar.
Sumber: Al-Aqdal-Faridoleh, lbnu Abdi Rabih

27. MENYURUH WANITA BERPERANG
Dalam suatu pertemuan penting, Muhammad bin Mubasyir, menteri urusan
perang, diprotes oleh Mundzir bin Abduirahman, seorang ulama ahli ilmu
nahwu, karena sang menteri pernah menyerukan kaum wanita ikut perang.
“Bagaimana engkau menyuruh kaum wanita ikut berperang bersama-sama
laki-laki?”
Dengan pura-pura tidak paham, sang menteri memutarkan protes tersebut
dan menjawab lain:
“Seumur hidup, baru kali ini aku mendengar saran yang begitu kejam.
Allah saja menyuruh wanita supaya tetap tinggal di rumah, tetapi kenapa
kamu malah menganjurkan supaya ikut berperang?”
Sumber: Thabaqat Al-Nahwiyyin wa Al-Lughawiyyin, Az-Zubaidi Al-Andalusi

28. GHASILIL MALAIKAT (ORANG YANG DIMANDIKAN MALAIKAT)
Mekah menggelegak terbakar kebencian terhadap orang-orang Muslim karena
kekalahan mereka di Perang Badr dan terbunuhnya sekian banyak pemimpin
dan bangsawan mereka saat itu. Hati mereka membara dibakar keinginan
untuk menuntut balas. Bahkan karenanya Quraisy melarang semua penduduk
Mekah meratapi para korban di Badr dan tidak perlu terburu-buru menebus
para tawanan, agar orang-orang Muslim tidak merasa diatas angin karena
tahu kegundahan dan kesedihan hati mereka.
Hingga tibalah saatnya Perang Uhud. Di antara pahlawan perang yang
bertempur tanpa mengenal rasa takut pada waktu itu adalah Hanzhalah bin
Abu Amir. Ayahnya adalah seorang tabib yang disebut si Fasik.
Hanzhalah baru saja melangsungkan pernikahan. Saat mendengar gemuruh
pertempuran, yang saat itu dia masih berada dalam pelukan istrinya, maka
dia segera melepaskan pelukan istrinya dan langsung beranjak untuk
berjihad. Saat sudah terjun kekancah pertempuran berhadapan dengan
pasukan musyrikin, dia menyibak barisan hingga dapat berhadapan langsung
dengan komandan pasukan musuh, Abu Sufyan bin Harb. Pada saat itu dia
sudah dapat menundukan Abu Sufyan, namun hal itu diketahui oleh Syaddad
bin Al-Aswad yang kemudian menikamnya hingga meninggal dunia sebagai syahid.
Tatkala perang usai dimana kaum muslimin menghimpun jasad para syuhada
dan akan menguburkannya, mereka kehilangan usungan mayat Hanzhalah.
Setelah mencari kesana kemari, mereka mendapatkannya di sebuah gundukan
tanah yang masih menyisakan guyuran air disana.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam mengabarkan kepada para
shahabatnya bahwa malaikat sedang memandikan jasadnya. Lalu beliau
bersabda, “Tanyakan kepada keluarganya, ada apa dengan dirinya?”
Lalu mereka bertanya kepada istrinya, dan dikabarkan tentang keadaannya
sedang junub saat berangkat perang. Dari kejadian ini Hanzhalah
mendapatkan julukan Ghasilul Malaikat (Orang yang dimandikan malaikat).
Wallahu ta’ala ‘alam
Sumber: Sirah Nabawiyah, Syeikh Shafiyyur Rahman Al Mubarakfury
Oleh: Abu Rumaysa Iwan Sutedi

29. PETI UMMUL BANIN
Diceritakan, Ummul Banin Abdul Aziz bin Marwan, isteri Khalifah Al-Walid
bin Abdul Malik, pernah jatuh cinta kepada seorang penyair Yaman,
bernama Wadlah yang berwajah cukup tampan.
Atas undangan rahasia Ummul Banin, penyair Yaman itu datang menemuinya
di rumah; saat itu Khalifah Al-Walid sedang bepergian. Merasa takut
ketahuan, ia menyembunyikan Wadlah di dalam sebuah peti lalu menutupnya
rapat-rapat. Namun, mendadak seorang pelayan masuk dan sempat melihat
ada seorang laki-laki dalam sebuah peti; Ia pura-pura tidak tahu.
Kebetulan Khalifah Al Walid tiba; pelayan itu langsung melaporkan apa
yang baru saja dilihatnya; semula sang Khalifah tidak percaya.
“Tuan Amirul Mukminin, buktikan sendiri,” kata pelayan.
Khalifah Al-Walid masuk ke kamar dan mendapati isterinya sedang menyisir
rambut sambil duduk di atas sebuah peti.
“Isteriku, aku ingin memeriksa peti-peti di kamar ini,” kata khalifah.
“Silakan, peti-peti ini memang milikmu, Amirul Mukminin,” jawab isterinya.
Khalifah menimpali, “Tetapi aku hanya ingin satu peti saja.”
“Silakan, mana yang engkau inginkan – ambillah.”
“Peti yang kamu duduki itu, ” sahut khalifah.
Ummul Banin terperangah mendengarnya; sekujur tubuhnya terasa gemetar;
perasaannya kalut. Namun, ia mencoba untuk menutupi semua itu.
“Yang lainnya malah lebih baik. Lagi pula, di peti yang satu ini ada
barang-barang keperluanku, ” tutur isterinya.
Khalifah menjawab, “Aku menginginkan yang satu ini saja.”
Dengan rasa putus asa, isterinya menjawab, “Ambillah, kalau begitu.”
Khalifah Al-Walid segera memerintahkan seorang pelayan untuk mengangkat
peti tersebut ke halaman belakang istana, dan meletakkannya di bibir
sumur tua. Ummul Banin, isteri khalifah, menatap sedih sambil menangis
dari kejauhan; ia tidak berani mendekat. Ia tidak tahu nasib apa yang
akan menimpa laki-laki simpanannya itu; hatinya gundah gulana.
Pelan-pelan, Khalifah Al-Walid menghampiri peti tersebut (sebenarnya ia
sangat marah, namun ia berusaha menahannya).
“Hai orang yang ada dibdalam peti, kalau berita yang kami dengar adanya,
berarti kami menguburmu, berikut kenangan manismu untuk selamanya.
Tetapi, jika kabar itu bohong, berarti kami hanya mengubur kayu,” kata
Khalifah sambil melemparkan peti ke dasar sumur.
Setelah menyuruh menimbunnya dengan pasir sampai rata dengan tanah,
Khalifah masuk ke istana. Sejak itu, penyair Yaman bernama Wadlah tidak
pernah tampak. Ummul Banin tidak melihat ada kemarahan pada wajah
suaminya, hingga kematian memisahkan mereka berdua.
Sumber: Wafyat Al-A’yan, Ibnu Khalkan

30. PENJUAL MINYAK WANGI DAN SEUNTAI KALUNG
Seorang pemuda tiba di Baghdad dalam perjalanannya menunaikan ibadah
haji ke tanah suci. Ia membawa seuntai kalung senilai seribu dinar. Ia
sudah berusaha keras untuk menjualnya, namun tidak seorang pun yang mau
membelinya. Akhirnya ia menemui seorang penjual minyak wangi yang
terkenal baik, kemudian menitipkan kalungnya. Selanjutnya ia meneruskan
perjalanannya.
Selesai menunaikan ibadah haji ia mampir di Baghdad untuk mengambil
kembali kalungnya. Sebagai ucapan terima kasih ia membawa hadiah untuk
penjual minyak wangi itu.
“Saya ingin mengambil kembali kalung yang saya titipkan, dan ini sekedar
hadiah buat Anda,” katanya.
“Siapa kamu? Dan hadiah apa ini?,” tanya penjual minyak wangi.
“Aku pemilik kalung yang dititipkan pada Anda,” jawabnya mengingatkan.
Tanpa banyak bicara, penjual minyak wangi menendangnya dengan kasar,
sehingga ia hampir jatuh terjerembab dari teras kios, seraya berkata,
“Sembarangan saja kamu menuduhku seperti itu.”
Tidak lama kemudian orang-orang berdatangan mengerumuni pemuda yang
malang itu. Tanpa tahu persoalan yang sebenarnya, mereka ikut
menyalahkannya dan membela penjual minyak wangi. “Baru kali ada yang
berani menuduh yang bukan-bukan kepada orang sebaik dia,” kata mereka.
Laki-laki itu bingung. Ia mencoba memberikan penjelasan yang sebenarnya.
Tetapi mereka tidak mau mendengar, bahkan mereka mencaci maki dan
memukulinya sampai babak belur dan jatuh pingsan.
Begitu siuman, ia melihat seorang berada di dekatnya. “Sebaiknya kamu
temui saja Sultan Buwaihi yang adil; ceritakan masalahmu apa adanya.
Saya yakin ia akan menolongmu,” kata orang yang baik itu.
Dengan langkah tertatih-tatih pemuda malang ini menuju kediaman Sultan
Buwaihi. Ia ingin meminta keadilan. Ia menceritakan dengan jujur semua
yang telah terjadi.
“Baiklah, besok pagi-pagi sekali pergilah kamu menemui penjual minyak
wangi itu di tokonya. Ajak ia bicara baik-baik. Jika ia tidak mau, duduk
saja di depan tokonya sepanjang hari dan jangan bicara apa-apa
dengannya. Lakukan itu sampai tiga hari. Sesudah itu aku akan
menyusulmu. Sambut kedatanganku biasa-biasa saja. Kamu tidak perlu
memberi hormat padaku kecuali menjawab salam serta
pertanyaan-pertanyaanku,” kata Sultan Buwaihi.
Pagi-pagi buta pemuda itu sudah tiba di toko penjual minyak wangi. Ia
minta izin ingin bicara, tetapi ditolak. Maka seperti saran Sultan
Buwaihi, ia lalu duduk di depan toko selama tiga hari, dan tutup mulut.
Pada hari keempat, Sultan datang dengan rombongan pasukan cukup besar.
“Assalamu’alaikum,” kata Sultan.
“Wa’alaikum salam,” jawab pemuda acuh tanpa gerak.
; “Kawan, rupanya kamu sudah tiba di Baghdad. Kenapa Anda tidak singgah
di tempat kami? Kami pasti akan memenuhi semua kebutuhan Anda,” kata Sultan.
“Terima kasih,” jawab pemuda itu acuh, dan tetap tidak bergerak.
Saat Sultan terus menanyai pemuda ini, rombongan pasukan yang berjumlah
besar itu maju merangsak. Karena takut dan gemetar melihatnya, si
penjual minyak wangi jatuh pingsan. Begitu siuman, keadaan di sekitarnya
sudah lengang. Yang ada hanya sang pemuda, yang masih tetap duduk tenang
di depan toko. Penjual minyak wangi menghampirinya dan berkata:
“Sialan! Kapan kamu titipkan kalung itu kepadanya? Kamu bungkus dengan
apa barang tersebut? Tolong bantu aku mengingatnya.”
Si Pemuda tetap diam saja. Ia seolah tidak mendengar semuanya. Penjual
minyak wangi sibuk mondar-mandir kesana kemari mencarinya. Sewaktu ia
mengangkat dan dan membalikkan sebuah guci, tiba-tiba jatuh seuntai kalung.
“Ini kalungnya. Aku benar-benar lupa. Untung kamu mengingatkan aku,”
katanya.
Sumber: Akhbar Adzkiya, Ibn Al-Jauzi

31. AMIR ANDALUSIA DAN BUDAK PEREMPUANNYA
Abdurrahman bin Al-Hakam, Amir Andalusia, mengundang sejumlah ahli fiqih
di kediamannya. Ia sedang menghadapi masalah pelik. Pada siang hari
bulan Ramadhan telah melakukan hubungan seksual dengan budak
perempuannya. Saat itu ia benar-benar tidak sanggup menahan hasrat
birahinya. Ia ingin bertanya kepada para ulama ahli fiqih bagaimana cara
bertaubat dan membayar kafarat.
“Selain bertaubat kepada Allah dengan sungguh-sunguh, Engkau harus
berpuasa dua bulan berturut-turut,” kata seorang ulama bernama Yahya bin
Yahya Al-Laitsi.
Ulama-ulama yang lain diam saja: tak seorang pun menyanggahnya,
mendengar jawaban Yahya tersebut. Tetapi, begitu keluar dari kediaman
sang Amir, beberapa ulama menghampiri Yahya dan bertanya, “Mengapa
engkau tadi tidak memberikan fatwa berdasarkan Imam Malik? Sehingga ia
bisa memilih tiga saksi secara berurutan: memerdekakan budak, atau
memberikan makan sejumlah orang miskin, baru berpuasa selama dua bulan
berturut-turut.”
“Kalau itu yang aku sampaikan, keenakan dia, mungkin setiap hari akan
mengulangi perbuatannya itu karena baginya memerdekakan budak itu
masalah yang ringan. Aku sengaja pilihkan yang paling berat, supaya
tidak mengulanginya lagi.” jawab Yahya.
Sumber: Wafyat Al-A’yan, Ibnu Khalkan

Ini adalah kisah Wali Allah yang dituduh mencuri

seperti diceritakan oleh Zin-Nun rahimahullah.
Suatu waktu, saya naik kapal laut menyeberangi lautan untuk mencari
barang yang saya perlukan. Kapal ini penuh dengan orang-orang asing yang
hendak kembali kekampung halamannya. Tidak sengaja saya melihat seorang
pemuda yang sangat tampan, dan wajahnya bersinar. Duduknya sangat tenang
tidak seperti penumpang lain yang mondar mandir karena penat. Setelah
beberapa saat mengarungi lautan, kemudian terdengar pengumuman dari awak
kapal, bahwa Nahkoda Kapal kehilang barang yang sangat berharga, dan
akan dilakukan pemeriksaan pada setiap penumpang, untuk itu para
penumpang diharap duduk semua ditempatnya masing-masing. Saya sebenarnya
merasa heran, bagaimana mungkin Nahkoda kapal itu dapat kehilang
barangnya, kalau tercecer rasanya mungkin tetapi kalau kecurian? ?Para
penumpang silahkan duduk. Kami akan memulai pemeriksaan.?, demikian
pengumuman diserukan oleh awak kapal. Maka dimulailah pemeriksaan. Satu
persaru para penumpang diperiksa dengan seksama oleh awak kapal. Tetapi
setelah hampir semua diperiksa, barang yang hilang tersebut juga belum
ditemukan, sampai akhirnya pemuda yang tampan itu tiba gilirannya untuk
diperiksa. Karena pemuda itu yang terakhir diperiksa, maka para awak
kapal memeriksanya dengan kasar, mungkin pikirannya mereka, Ah?rasanya
dialah yang mengambilnya, karena hanya dia yang belum diperiksa.
Sipemuda protes, karena merasa dikasari, dan melompat kepinggir kapal
sambil berkata: ?Bukan saya pencurinya, kenapa kasar begitu?? Para awak
kapal makin curiga, karena hanya pemuda itulah satu-satunya yang
membantah dan mengejarnya serta berusaha menangkap sipemuda. Akhirnya
karena kepepet sipemuda akhirnya melompat kelaut. Para penumpang
berteriak terkejut dan ketakutan, kemudia semua melihat kearah pemuda
tersebut menerjukan dirinya. Sekali lagi mereka terkejut, ternyata
dilautan pemuda tersebut tidak tenggelam bahkan duduk diatas permukaan
laut seperti layaknya duduk dilantai. Kemudian pemuda itu berteriak
dengan keras: ?Ya Allah, mereka semua telah menuduhku sebagai pencuri !
Demi ZatMu, wahai Pembela yang teraniaya, perintahkanlah agar ikan-ikan
yang ada dilaut ini dimulutnya membawa permata berharga !!? Tak lama
kemudian para penumpang dan awak kapal melihat sekumpulan ikan keluar
dari dalam lautan dan dimulutnya tampak batu-batu permata berkilauan.
Dengan kuasa Allah, ribuan ikan seperti pasir saja layaknya mengelilingi
sipemuda dengan membawa permata yang sangat berharga dan besar-besar.
Semua yang melihatnya menjadi silau dan berteriak menepukkan tangannya
kepada sipemuda. Saya tercengang dan tidak dapat berkata-kata, begitupun
dengan para awak kapal, mereka jadi bingung merasa bersalah. ?Apakah
kalian masih menuduhku, sedangkan harta Allah ada didepanku dan dapat
saja kuambil dengan mudah?? Teriak sipemuda kepada kami semua. Kemudian
pemuda tersebut menyuruh ikan-ikan tersebut kembali ketempatnya, dan
kilauan pasir permata yang tadi ada tiba-tiba menghilang kembali menjadi
lautan biasa. Sipemuda berdiri diatas air dan berjalan secepat kilat
menjauhi kapal sambil mulutnya terus mewiridkan: ?Hanya kepadaMulah aku
menyembah, dan hanya kepadaMu aku memohon? Al-Fatihah: 4. Saya tidak
menduga kalau pemuda ini ialah termasuk para wali Allah seperti yang
diterangkan oleh Rasulullah saw.: ?Akan tetap ada dalam umatku sebanyak
30 lelaki, hati mereka sama dengan Nabi Ibrahim AS, setiap mati seorang
diantara mereka, maka akan diganti Allah orang lain ditempatnya.?

Ketika Wali Allah dan Rahib Adu Kuat Lapar

*ABU BAKR AL FARGHANI* adalah seorang ahli ibadah yang tidak memiliki
apa-apa. Meski demikian, Al Farghani menampakkan diri sebagai seorang
saudagar. Ia memakai pakaian rangkap berwarna putih, mengenaikan surban
dan sandal bersih di tanggannya ada kunci besar yang bentuknya indah.
Sedangkan Al Farghani sendiri tidak memiliki rumah dan tidur dari masjid
ke masjid. Namun karena penampilannya, masyarakat umum memandang Al
Farghani sebagai seorang saudagar, hanya kalangan khusus saja yang
mengetahui hakikat keadaan ahli ibadah ini.

Suatu saat, Al Farghani melakukan perjalanan ke Mesir dengan pakaian
indahnya tersebut. Para ahli ibadah pun tahu bahwa yang datang adalah
ahli ibadah, hingga mereka berkumpul untuk mendengar petuahnya.

Sampai pada suatu saat Al Farghani melakukan perjalanan dengan diikuti
oleh ahli ibadah yang lain. Karena tidak tahan, banyak ahli ibadah yang
berhenti dan tidak sanggup mengikuti perjalanan kecuali sedikit. Sampai
akhirnya Al Farghani bertanya kepada mereka,”Apakah kalian merasa
lapar?” Mereka yang mengikuti perjalanan pun mengiyakan.

Akhirnya rombongan itu bersitirahat di sebuah kampung yang terdapat
baiara para rahib. Melihat rombongan itu, seorang rahib menyeru kepada
rahib-rahib lainnya,”Berilah makanan kepada para rahib Muslim ini,
sesungguhnya ada sebagaian dari mereka yang tidak sabar terhadap rasa
lapar”.

Al Farghani pun tersinggung dengan ucapan rahib tersebut, hingga ia
menyampaikan,”Wahai rahib, apakah engkau sudah mengetahui ilmu mengenai
bersabar dalam lapar?” Rahib itu pun bertanya,”Bagaimana?”

Al Farghani pun menjawab,”Wahai rahib, turunlah dari biaramu dan
makanlah sesukamu, kamudian ikutlah bersamaku untuk masuk ke dalam
sebuah ruangan untuk dikunci dan tidak membawa apa-apa kecuali air untuk
kita bersuci. Barang siapa tidak tahan, maka ia memberi tanda untuk
keluar dan mengikut ajaran temannya yang masih tetap dalam kondisi
semula. Sedangkan aku sudah tiga hari tidak mencium bau makanan”.

Akhirnya Al Farghani dan rahib pun sepakat untuk masuk ruangan kosong
dan terkunci, sedangkan para ahli ibadah dan para rahib lain mengamati
terus-menerus. Dan selama 40 hari mereka tidak melihat ada tanda apa-apa.

Sampai akhirnya di hari ke 41, terdengar suara ketukan pintu dari dalam
ruangan itu dan ketika dibuka, maka yang muncul adalah rahib yang
meminta pertolongan. Mereka yang berada di sekitarnya pun segera memberi
minum sedangkan Al Farghani hanya melihat saja.

Tak lama kemudian rahib pun kembali kepada Al Farghani dan mengucap,”Aku
bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad
adalah utusan Allah”.

Setelah itu, Al Farghani pun memberi nasihat kepada para rahib yang
berada di biara itu, hingga akhirnya seluruhnya mengikrarkan diri untuk
masuk Islam.

Dan Al Farghani akhirnya kembali ke Baghdad bersama para ahli ibadah dan
para rahib yang telah masuk Islam. (Thabaqat Al Auliya, hal. 304)

0 komentar:

Posting Komentar