SARJANA INGSUN RIFAI

Acara Prosesi Wisuda S-1 Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Pasuruan

Sang Pejuang Keluarga

Pejuang keluarga yang penuh ketangguhan dan keihlasan demi menyongsong masa depan yang cerah

MENATAP MASA DEPAN YANG CERAH

Tampil biasa dan apa adanya walaupun kadang terlihat rendah dari pada yang lainnya

KEGIATAN PROSES PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

Penerapan Metode Diskusi Dalam Kegiatan Pembelajaran Bahasa Indonesia Yang Dilakukan Setiap Pertemuan

Eling marang Gusti Pangeran tur ra nglaleke dumateng Kanjeng Guru

Biasa dengan membiasakan diri seperti biasa agar tidak terlihat luar biasa walaupun terkadang hanya impian belaka

Minggu, 20 Mei 2018

Cara Mendapatkan Malam Lailatul Qadar

cara mendapatkan malam lailatul qadar:
1. Meluruskan Niat Hanya Ingin Ridha Allah SWT
Yang pertama harus dilakukan untuk menjemput atau mendapatkan lailatul qadar adalah benar-benar bersemangat untuk meraihnya dan diawali dengan meluruskan niat semata-mata hanya ingin mendapatkan ridha Allah SWT.

”Barang siapa melaksanakan ibadah pada malam Lailatul Qadar dengan didasari keimanan dan harapan untuk mendapatkan keridhaan Allah, maka dosa-dosanya yang lalu akan diampuni.” [HR Bukhari Muslim]

2. Bermujahadah Dalam Ibadah
Untuk mendapatkan keberkahan malam lailatul qadar adalah dengan bermujahadah dalam ibadah kepada Allah SWT. ”Sungguh, Rasul tercinta pada 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan, lebih bermujahadah melebihi kesungguhan beliau di waktu lainnya.”[(HR Muslim].

Bermujahadah disini seperti berpuasa dengan tanpa melakukan maksiat, membaca Alquran dengan pemahaman dan penghayatan dan menunaikan shalat tarawih.

3. Melaksanakan Syariat Allah SWT
Malam penuh berkah bisa didapatkan dengan melaksanakan kewajiban yang telah disyariatkan oleh Allah SWT, seperti zakat maal bagi hartawan dan jika wanita maka taatlah dengan memakai jlibab/menutup aurat.

4. Iktikaf di Masjid
Beriktikaf di masjid juga merupakan cara mendapatkan malam penuh berkah. Abu Said menceritakan tentang iktikaf Rasulullah di masjid yang ketika itu berlantaikan tanah dan tergenang air.


“Aku melihat pada kening Rasulullah ada bekas lumpur pada pagi hari Ramadhan.” [HR Muslim]

5. Khusyuk Dalam Beribadah
Saat melakukan ibadah hendaknya dilakukan dengan khusyuk , tidak banyak ngobrol dan tidur. Kita hendaknya memburai air mata memohon ampunan atas dosa yang sangat banyak kepada Allah serta rindu perjumpaan dengan-Nya.

6. Berazam dan Bersumpah Untuk Taubat Nashuha
Dengan mengakui banyaknya dosa yang kita lakukan selama hidup ini, maka kita hendaknya berazam dan bersumpah untuk bertaubat nashuha, tidak kembali mengulangi maksiat dan tidak akan menzalimi dan menyakiti siapapun lagi.

7. Meminta Maaf
Wajib meminta maaf kepada siapa pun termasuk kepada keluarga atau sahabat yang pernah kita sakiti. Karena jika tidak, akan menjadi hijab (penghalang) bagi doa dan ibadahnya.

8. Tidak Menyia-nyiakan Waktu
Waktu yang kita punya selanjutnya jangan sampai terbuang sia-sia kecuali dengan banyak berdzikir, beristighfar, bershalawat, menjaga wudhu dan senang dalam bersedekah.

9. Berdoa dengan Sungguh-sungguh
Berdoa dengan sungguh-sungguh, yakin penuh harap bahwa Allah Allah akan mengampuni dosa kita dan mengabulkan doa yang kita panjatkan.

“Wahai Rasulullah,” tanya Aisyah, “Bagaimana menurutmu andai aku mendapatkan Lailatul Qadar? Doa apa saja yang harus aku baca?” Beliau bersabda, “Ucapkanlah, Ya Allah! Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun, Maha Mulia, dan Engkau menyukai ampunan. Maka ampunilah aku.” [HR Tirmidzi]

Cerita: Cahaya Bintang Si Bocah

Cahaya Bintang Si Bocah


Si Bocah Menangis karena Cahaya Bintangnya redup.
Si bocah mendendangkan syair kegelisahannya.
Aku terdiam bersama kebodohan yang aku buat-buat
Menangis juga karenanya
Rasa lemah menghantuiku
Rasa pesimis menggerogoti cahaya bintangku
Seperti aku sudah merasakan bahwa akulah bintang itu
Akulah yang tergerogoti
Aku akan segera mati
Tetapi waktu menertawakanku

Maka aku tergerak untuk bertanya, “mengapa engkau menertawakanku, hai Waktu?”
Waktu menjawab, “bagaimana kau mengetahui bahwa dirimu akan segera mati. Sedangkan aku saja yang melihat banyak kematian dari kalanganmu, tidak mengetahui kapan aku akan berhenti. Betapa bodohnya orang-orang yang seperti dirimu.”
“Aku memang bodoh Sang Waktu, bahkan kebodohan itu telah menggerogoti cahaya bintangku.”
“Orang yang mengaku dirinya bodoh adalah orang yang tidak mau belajar. Kau tidak mengetahui sudah berapa ribu tahun aku mempelajari tentang seluk beluk kehidupan.”
“Apa kau sudah banyak mengetahui tentang kehidupan?”
“Kehidupan pada akhirnya bermuara pada yang Maha Hidup. Itulah yang aku ketahui.” Sang waktu terlihat percaya diri.
“Lantas, apakah yang harus aku lakukan sekarang?” si bocah menanyai Sang Waktu yang terlihat pintar karena mempelajari seluk beluk kehidupan.
“Kau harus belajar menghidupkan cahaya bintangmu.”

“Bagaimana caranya, Wahai Sang Waktu?”
“Jika kau ingin menghidupkan cahaya bintangmu, maka kau harus belajar pada Sang Malam?”
“Apa aku harus bergadang?” si bocah merasa sangat enggan.
“Terkadang, ilmu juga butuh pengorbanan dan kerja keras, itu adalah bentuk kebulatan tekad.”
“Terima kasih kalau begitu, Duhai sang waktu, nanti malam aku akan bertanya pada Sang Malam.”

***

Malam tiba, seiring dengan perputaran waktu.
“Duhai malam yang menyejukkan, izinkan aku mendendangkan syair untukmu.
Ketika malam telah gelap, dimanakah siang?
Dan ketika pagi mulai menjelang dimanakah engkau Duhai malam yang menyejukkan?”
simon
“Aku selalu ada, hanya engkau yang tidak mengetahui. Hati-hati dengan malam, jangan berbicara sembarangan tentangku.” Malam terlihat sedikit tersinggung.
“Maafkan aku yang bodoh ini, wahai malam yang berteman siang,” si bocah segera meminta maaf dengan agak gemetar.
“Dari sudut pandang mana engkau mengira aku berteman dengan siang?” Malam semakin tersinggung.
“Aku sungguh bodoh duhai malam.” Si bocah terlihat sangat ketakutan, setiap ucapan yang dikeluarkannya salah. Tapi pertanyaan mencuat mendominasi pikirannya. “Memangnya engkau tidak berteman dengan siang?”
“Aku tidak berteman, aku berpasangan dengannya. Tidakkah kau pernah membaca kitab suci?”
“Kitab suci tidak akan pernah memberikan suatu bukti.”
“Lantas mengapa engkau di sini sekarang dan berbincang denganku sedangkan engkau saja tidak percaya pada kitab suci. Ingat! Namaku tertulis di sana. Mungkin lebih banyak dari pada Sang Waktu.”

Si bocah tidak ingin menyinggung malam lebih parah lagi, seakan semua yang diucapkannya berbeda dengan pemikiran Sang Malam. “Duhai malam, aku tidak pernah berniat menyinggungmu. Aku hanya ingin bertanya, bagaimana cara untuk menghidupkan cahaya bintangku?”
“Aku tidak tahu. Aku hanya malam, bukan Sang Bintang. Tanyalah pada bintang itu sendiri.”
“Tetapi Sang Waktu menyuruhku untuk belajar kepadamu?”
“Sang Waktu hanya ingin melihatmu menghabiskan waktu untuk belajar. Padahal, ia juga tidak tahu jawabannya.”
Si bocah berpikir Sang Malam tidak mau mengajarkannya karena ia telah menyinggungnya tadi, tetapi si bocah mempunyai tekad yang besar, ia terus mendesak Malam. “Tapi karenamu aku dapat melihat bintang, siang tak akan bisa memberikannya padaku.”
“Setahuku bintang itu adalah Matahari. Dan bintang yang kau lihat sekarang adalah matahari yang sangat jauuuh di luar jangkauanku.—Coba saja kau tanyakan pada bulan, mengapa ia bersinar? Bahkan sinarnya redup…. Pasti ia akan menjawab, ia bersinar karena matahari.”
Si bocah mengangguk… “Berarti dengan kata lain, ketika aku berkata ingin menghidupkan cahaya bintangku, itu berarti aku ingin menghidupkan cahaya matahariku.”
“Sepertinya begitu,” sahut Malam ikut menduga.
“Lantas apa yang harus aku lakukan?” aku cemberut dan putus asa karena ternyata Malam juga tidak bisa membantu.
“Kau harus bertanya pada matahari, karena dialah sumber siang dan malam.” Malam mencoba memberi solusi.
“Aku lelah duhai malam,” kata si bocah mengeluh.
“Tidurlah duhai bocah, karena ini yang diinginkan Sang Waktu. Dia tidak ingin melihatmu menyia-nyiakan waktu kemudian kamu memvonis dirimu bodoh hanya karena engkau menyia-nyiakan waktu dengan tidak mau mempelajari tentang cahaya bintangmu atau apa yang ingin kau pelajari.”
Si bocah tidur berselimutkan malam, dengan hangat sinar bulan purnama yang cemerlang.
Matahari dari sudut yang tak terlihat sedang tersenyum melihat si bocah yang ingin menemuinya besok. “Purnama itu untukmu, bocah,” kata Matahari. “Cahaya bulan mulai menerang ketika engkau mulai mempertanyakan tentang cahaya bintangmu.”

***

Sinar pagi menyilaukan mata si bocah ketika baru saja membuka matanya. “Ini pagi yang hangat.” Di luar otak sadarnya tentu dia sudah sangat rindu dengan Matahari. “Apa yang kunanti telah tiba,” ujar si bocah penuh semangat.
Ia berusaha menatap Matahari namun cahayanya sangat terang dan membakar mata. “Duhai matahari, betapa agung dirimu. Aku tak bisa melihatmu. Betapa terang sinarmu.” Itu adalah rayuan si bocah untuk setiap orang yang ia temui.
“Betapa lebih agungnya sinar yang mencinptakan diriku,” sahut Matahari.
“Siapakah sinar agung yang menciptakan dirimu?” si bocah mempertanyakan sinar yang dimaksud.
“Sinar itu adalah cahaya Tuhan.”
“Tapi kau lebih tampak dari pada Tuhan.”
Tadi kau berkata, ‘kau tidak bisa melihatku’ . Sesungguhnya, kau bukan tidak bisa melihatku, hanya saja matamu tidak kuat untuk memandangku.—Jika memandangku saja, kamu tidak kuat, bagaimana kamu sanggup untuk memandang cahaya Tuhan.”

Kata-kata Matahari terlalu tinggi untuk ia sanggah. Ia beralih ke tujuan awalnya menemui Matahari.
“Duhai Matahari, kaulah sumber segala cahaya. Mohon sekiranya kau membantuku, aku ingin menghidupkan cahaya bintangku.”
“Nah, baguslah…,” sambut Matahari gembira. “Karena sebelum kau berangan-angan melihat cahaya yang lain. Kau terlebih dahulu harus menghidupkan dan melihat cahaya bintangmu sendiri. Karena semua cahaya bersumber dari yang Satu.”

“Lantas bagaimanakah caranya, wahai Matahari?” si bocah mulai mencoba masuk ke jawaban yang ia inginkan.
“Seperti yang aku katakan,” kata Matahari. “Semua cahaya bersumber dari yang Satu. Cahayaku dan cahayamu bersumber dari Sang Maha Pencerah. Maka terus ingat Dia, yang menciptakan segala cahaya. Sebut namaNya dan berdoalah agar ia menghidupkan cahaya bintangmu. Lalu setelah Tuhan berbaik hati membinarkan cahaya bintangmu, jangan lagi meredupkannya dengan tindakan yang bisa meredupkan dan mematikannya.” Matahari mulai bergeser sedikit demi sedikit kenudian kembali melanjutkan kalimatnya. “Aku telah mendengar rintihan syair keputus-asaanmu waktu itu, ketika kau bersyair masygul bahwa kebodohan telah menipumu dan meredupkan cahaya bintangmu.”

“Lantas mengapa cahaya begitu penting?”
“Karena cahaya mempunyai sifat yang benderang, dengan cahaya kita bisa melihat dengan jelas dan nyata. Dengan cahaya, kau tidak meraba dalam berjalan, tidak takut dalam melangkah dan tidak kebingungan dalam mencari arah menuju ke yang Maha Benderang.”
Si bocah berpikir, kenapa Tuhan tidak menciptakan siang saja, bukankah lebih baik? “Lalu kenapa harus ada malam?” si bocah bertanya kepada Matahari.
“Semua penciptaan di bumi adalah bentuk pembelajaran dan pemikiran bagi manusia secara hakikat maupun materi. Mengapa harus ada malam?
“Malam dan siang itu terkait dengan hitam dan putih, seperti halnya dua sifat yang dimiliki manusia adalah baik dan buruk.—Ketika kau mendendangkan syair masygulmu, seakan kau berada di tengah malam yang gelap, hanya terlihat bulan dengan cahayanya yang temaram. Cahayanya tidak cukup untuk membimbingmu berjalan. Coba bayangkan jika kau berhari-hari dalam kegelapan, tidak ada siang sedikitpun, niscaya kau meminta mati dari hidup terus melelahkan seperti itu.
“Namun ketika kau melihat cahaya bulan, ada sebuah pengharapan di sana.—Itulah cahayaku, yang belum kau temukan sepenuhnya. Dan ketika kau berdoa dan mencariku, saat itulah aku juga akan mencarimu, memberikanmu tanda-tanda keberadaanku agar kau bisa berjalan kearahku.
“Aku akan mendendangkan sedikit syairku untukmu.
“Saat sinarku mulai benderang dan menyinarkan cahaya yang terang ke arahmu, janganlah bersembunyi di tempat-tempat gelap atau gua atau malah membentangkan tabir diantara kita berdua.
Saat engkau berada dalam gua atau tempat yang gelap atau malam yang panjang, Janganlah berputus asa. Lihatlah, selalu ada cahaya diantara kegelapan.
Lihatlah dari sisi gua atau tempat gelap itu, cahaya kecilku menembus untukmu.
Lihatlah ketika malam panjang berada dipangkuanmu, aku menyertai cahaya bulan di sana.
Janganlah berputus asa. Jika kau merindukan pertemuan kita.
Kita pasti akan berjumpa.”
“Syairmu sungguh indah, Duhai matahari yang memancarkan cahaya. Dan terima kasih atas semua penjelasanmu.”
“Sama-sama aku ucapkan untukmu, karena seorang pencari cahaya dan orang-orang yang bercahaya adalah berkah bagi semesta alam. Cahaya kebaikanmu bahkan adalah selimut hangat untukku.”
Matahari mulai berjalan condong ke arah barat. “Sambutlah malam yang akan menjelang, tetapi jangan pernah berhenti untuk bercahaya. Karena tak akan ada seorang pun yang bisa memadamkan cahaya bintangmu kecuali dirimu sendiri.
“Jangan pernah berhenti bercahaya!” teriak matahari lagi, ketika sudah hendak dimakan lautan. “Meskipun siang dan malam silih berganti, tetapi kau harus tetap cemerlang.”
Matahari yang bijak tenggelam dan aku menyambut malam dengan rasa syukur, karena semua penciptaan adalah bentuk pembelajaran dan ladang berpikir bagi manusia untuk menuju ke arahNya, begitu seperti yang dikatakan Matahari.

Jumat, 11 Mei 2018

14 Contoh Kalimat Pendapat dalam Diskusi


14 Contoh Kalimat Pendapat dalam Diskusi

Dalam diskusi, setiap peserta pasti akan mengemukakan pendapatnya. Adapun pendapat yang dikemukakan bisa berupa tanggapan positif atau negatif, kritik atau saran, persetujuan, sanggahan, dan bahkan penolakan. Oleh karenanya, dalam mengungkapkan pendapat, setiap peserta diskusi pasti menggunakan beberapa jenis-jenis kalimat berikut, yaitu: contoh kalimat tanggapan positif, contoh kalimat tanggapan negatif, contoh kalimat saran dan kalimat kritik, contoh kalimat persetujuan, contoh kalimat sanggahan, dan contoh kalimat penolakan.

Untuk mengteahui seperti apa kalimat pendapat yang dimaksud, berikut ditampilkan contoh kalimat pendapat dalam diskusi!
1.      Terus terang, saya sangat setuju dengan apa yang Anda kemukakan barusan.
2.      Saya sependapat dengan pendapat saudara, bahwa kegiatan ekstrakulikuler mesti diikuti oleh setiap murid di sekolah kita.
3.      Saya memiliki gagasan yang sama dengan yang dinyatakan oleh saudara A terkait masalah tersebut.
4.      Menurut saya, sebaiknya kegiatan ekstrakulikuler dilakukan di dalam sekolah saja. Selain fasilitas di sekolah kita cukup lengkap, pihak ekstrakulikuler pun jadi tidak perlu repot mengeluarkan banyak biaya.
5.      Terima kasih kepada moderator atas kesempatan yang diberikan. Menurut pendapat saya, sebaiknya para koruptor diberi hukuman mati saja, agar menimbulkan efek jera bagi para pelakunya.
6.      Terus terang saja, saya tidak sependapat dengan Bapak terkait pernyataan Bapak tersebut.
7.      Interupsi, saya minta izin untuk meluruskan apa yang dinyatakan oleh saudara A barusan. Jadi begini saudara A, apa yang Anda nyatakan tadi sebetulnya tidak sesuai dengan pokok pembicaraan yang tengah kita bahas saat ini.
8.      Saya sependapat dengan saudara B. Namun, alangkah lebih bijak, jika kebijakan yang saudara B canangkan itu disusun lebih dahulu hingga matang. Dengan begitu, kebijakan tersebut bisa lebih matang saat hendak dieksekusi.
9.      Menurut saya gagasan dari saudara C sudah sangat tepat, mengingat kondisi lingkungan saat ini yang sedang tidak kondusif.
10.  Menurut saya, kebijakan Pak Kepala sekolah terkait keikutsertaan mereka dalam ekstrakulikuler sudah bagus. Namun, alangkah lebih baiknya, jika kebijakan tersebut dipeinci lagi, terutama terkait jumlah ekstrakulikuler yang harus diikuti tiap siswa di sekolah kita.
11.  Saya tidak sependapat dengan kebijakan kepala sekolah mengenai keharusan para siswa untuk mengikuti 3 ekstrakulikuler sekaligus. Sebab, hal itu akan membuat anak-anak sulit untuk membagi waktu antara belajar di kelas dengan kegiatan ekstrakulikuler. Menurut saya, alangkah lebih baik jika setiap siswa hanya mengikuti 1 ekstrakulikuler saja. Dengan begitu, mereka bisa membagi waktu antara belajar di kelas dengan kegiatan ekstrakulikuler.
12.  Saya tidak sependapat dengan rencana kerjasama antar perusahaan kita dengan perusahaan C. Sebab, perusahaan C mempunyai rekam jejak yang buruk.
13.  Kalau boleh saya menyanggah, maka saya akan menyatakan bahwa saya tidak setuju dengan pendapat saudara Budi. Sebab, menurut pendapat saya, apa yang diutarakan saudara Budi tersebut tidak sesuai dengan kondisi aktual yang kita alami saat ini.
14.  Terima kasih kepada Bapak Mahmud selaku moderator diskusi yang telah memberikan saya kesempatan untuk berpendapat. Di sini saya ingin mengkritisi pendapat Pak Burhan soal wacana adanya sistem sekolah sehari penuh. Menurut saya, program tersebut kuranglah baik diterapkan di sekolah kita, karena akan membuat anak merasa jenuh dan tersiksa dalam menjalani proses belajar mengajar di sekolah.

Demikianlah contoh kalimat pendapat dalam diskusi. Semoga bermanfaat dan mampu menambah wawasan pembaca sekalian, baik itu mengenai kalimat pendapat khususnya, maupun bahasa Indonesia pada umumnya. Sekian dan terima kasih.


PELAJARAN POLITIK DARI SANG MURSYID KH. MUSTA’IN ROMLI


PELAJARAN POLITIK DARI SANG MURSYID KH. MUSTA’IN ROMLi

Hidup kira-kira 1920-1984. Setelah ayah beliau wafat, KH. Musta’in memangku Pondok Pesantren Darul Ulum, Rejoso (Jombang) dan sebagai Syaikh Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, yang memiliki puluhan ribu pengikut di Jawa Timur. Kiai Musta’in menggantikan kedudukan sang ayah, Kiai Romly Tamim yang wafat pada 1958, baik sebagai kiai maupun syaikh tarekat. KH. Romly maupun KH. Musta’in adalah sama-sama aktivis NU, namun keduanya sama-sama tidak mempunyai jabatan formal di kepengurusan NU, kecuali di tingkat lokal.
Sekitar 1973, KH. Musta’in bergabung ke Golkar, partai pemerintah dan saingan serius PPP. Pada pemilu 1977 KH. Musta’in aktif berkampanye untuk Golkar. Beliau “dihukum” oleh sesama kiai atas tindakannya dalam meninggalkan PPP, melalui sebuah kampanye yang berhasil melalui kepemimpinan tarekat yang berada di tangannya. Bahkan sempat terjadi ketegangan antara sang Kiai dengan keluarga selatan. Keluarga yang memilih kendaraan politik melalui PPP.
KH. Musta’in Romly lahir di Rejoso pada tanggal 31 Agustus 1931. Sejak kecil ia mendapat didikan langsung dari kedua orang tuanya. Dan baru tahun tahun 1949 M melanjutkan studi di Semarang dan Solo di Akademi Dakwah Al Mubalighoh, diperguruan ini bakat kepemimpinannya menonjol sehingga pada waktu singkat mengajak sahabat-sahabatnya yang berasal dari daerah Jombang mendirikan Persatuan Mahasiswa Jombang. Studi di Lembaga ini diakhiri pada tahun 1954 M.
Pada tahun 1954 M beliau aktif di Nahdhatul Ulama Jombang tempat asalnya dan kemudian menjadi pengurus IPNU Pusat tahun 1954 sampai 1956. Upaya menerpa diri untuk lebih matang sebagai pimpinan Pondok Pesantren, KH Musta’in Romly banyak beranjang sana ke berbagai pondok pesantren dan lembaga pendidikan pada umumnya. Mulai tingkat nasional sampai internasional. Dalam kaitan inilah pada tahun 1963 M beliau Muhibbah ke Negara-negara Eropa dan Timur Tengah, yang juga berziarah ke makam Syeh Abdul Qodir Al Jailani tokoh pemprakarsa Thoriqoh Qodiriyah, di Irak.
Hal ini penting mengingat beliau adalah Al Mursyid Thariqah Qodiriyah wa Naqsabandiyah mewarisi keguruan KH. Romly Tamim dam KH. Cholil Rejoso. Oleh-oleh dari kunjungan muhibbah ini antara lain yaitu mendorong berdirinya Universitas Darul Ulum pada tanggal 18 September 1965. Universitas Darul Ulum sendiri diprakasai oleh Dr. KH. Musta’in Romly, KH. Bhisry Cholil, K. Ahmad Baidhowi Cholil, Mohammad Wiyono (mantan Gubernur Jatim), KH. Muh. As’ad Umar dan Muhammad Syahrul, SH. Untuk melengkapi keabsahan KH. Musta’in Romly sebagai Rektor, pada tahub 1977 beliau mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Macau University. Pada tahun 1981 lawatan ke Timur Tengah dilakukan kembali, dengan hasil kerjasama antara Universitas Darul Ulum dan Iraq University dalam bentuk tukar-menukar tenaga edukatif, dan dengan Kuwait University dalam bentuk beasiswa studi ke Kuwait.
Pada tahun 1984 KH. Musta’in berkunjung ke Casablanka, Maroko, tepatnya pada bulan Januari 1984, yaitu mengikuti Kunjungan Kenegaraan bersama Wakil Presiden RI, Umar Wirahadi Kusuma dan Menteri Luar Negeri RI Prof. Dr. Muchtar Kusumaatmadja dalam acara Konverensi Tingkat Tinggi Organisasi Konferensi Islam (OKI). Kunjungan ini dilanjutkan ke Perancis dan Jerman Barat. Selanjutnya pada bulan Juli dengan tahun yang sama, KH Musta’in mengikuti Konferensi antar Rektor se- dunia di Bangkok.
Semua kunjungan dijalani KH. Musta’in dengan tekun demi kelembagaan Pendidikan yang dialamatkan beliau, yaitu Lembaga Pondok Pesantren Darul Ulum, Lembaga Thariqah Qoddiriyyah wa Naqsabandiyah dan Universitas Darul Ulum. Sampai wafat pada tanggal 21 Januari 1985, beliau meninggalkan putra-putri M. Rokhmad (almarhun), H. Luqman Hakim dari Ibu Chafsoh Ma’som, Hj Choirun Nisa’ dari Ibu Dzurriyatul Lum’ah, H. Abdul Mujib, Ahmada Faidah, Chalimatussa’diyah dari Ibu Nyi Hj Djumiyatin Musta’in serta Siti Sarah dan Dewi Sanawai dari Ibu Ny. Hj. Latifa.
Adapun jabatan yang pernah diamanahkan kepada Dr. KH. Musta’in Romly adalah:
1.      Aggota DPR – MPR RI tahun 1983 sampai wafat.
2.      Wakil ketua DPP MDI tahun 1984 sampai wafat.
3.      Rektor Universitas Darul Ulum tahun 1965 sampai wafat.
4.      Al Mursyid Toriqoh Qodiriyah Wa Naqwsabandiyah tahun 1958.
5.      Ketua Umum Majelis Pimpinan Pondok Pesantren Darul Ulum tahun 1958 sampai wafat.
6.      Anggota BKS Perguruan Tinggi Swasta tahun 1983 sampai wafat.
7.      Anggota IAUP (International Association of University President) 1981 di Chicago.
8.      Ketua Umum Jam’iyah Thoriqot Mu’tabaroh Indonesia pada tahun 1975 sampai wafat.
Melihat perjalanan karir politik tersebut, langkah politik beliau memang menuai kontroversi. Di samping loncat dari PPP menuju Golkar, hal ini juga berimbas ke dalam internal PPDU, yang terdiri dari banyak kiai. Namun apapun langkah yang beliau tempuh ternyata berdampak sangat positif bagi internal Pondok Pesantren Darul Ulum, NU, NKRI, dan lebih jauh adalah mengandung edukasi yang sangat tinggi dalam membangun pemahaman kaun santri pada khususnya, dan masyarakat (ummat) pada umumnya. Wallahu A’lam.


Cerita: Kiai Imam Sarang dan Ikan Bandeng


Cerita: Kiai Imam Sarang dan Ikan Bandeng


Ini cerita mutawatir, banyak orang yang meriwayatkannya. Oleh karena itu, kesahihannya tidak diragukan lagi, dan saya telah mengonfirkasi saksi utamanya, yakni yang punya cerita: KH Zubaduz Zaman, atau Gus Bad dari Kediri.
<>
Begini kisahnya. Dulu almagfurlah simbah Kiai Imam Kholil, pengsauh Pesantren MIS, Sarang-Rembang, Jawa Tengah, pernah memerintahkan santrinya untuk membuka tutup air tambak miliknya.

Tambak tersebut berisi ribuan ikan Bandeng siap panen harus dibuka, agar Bandeng keluar ke sungai. Ide Kiai Imam itu muncul karena saat itu sedang masa paceklik ikan, bahasa setempatnya "terak". Pada masa itu, para nelayan sangat kesusahan mendapat ikan.

"Cung, mbrolen galengane, iwake ben metu" perintah Kiai Imam pada santrinya. Artinya, "Kang, buka saja pematangnya, biar ikan keluar semua. Setengah tidak percaya, tapi santri itu tidak berani nolak juga. Dia jawab, "Sendiko, Mbah."

Tak lama, si santri membuka pematang yang membendung air tambak pelan-pelan. Sambil menunggu Mbah Imam tidak kelihatan karena masuk ke ndalem. Ketika diperkirakan Mbah Imam sudah tidak kelihatan lagi, si santri segera menutup kembali galengan tersebut. 

Tapi tiba-tiba Mbah Imam muncul di belakangnya dan mbentak, "Hei Cung, ojo ditutup neh. Dibuka wae, iwake ben golek konco!" "Hei, Kang, jangan ditutup lagi. Dibuka aja. Ikannya biar cari teman!" Si santri akhirnya tidak berani melanggar perintah lagi. 

Setelah itu, banyak orang kampung cari ikan di sungai dan dapt ikan banyak. 


CERPEN: TAKERAN REJEKI


Cerpen: TAKERAN REJEKI *)

…. yang sewaktu-waktu pasti akan diambil kembali oleh sang pemilik titipan,  tanpa sempat kita bertanya mengapa dan untuk apa Tuhan menitipkanya kepada kita? 


Foto Ilustrasi
Kang Gimin dan Lek Mardi adalah kakak beradik dari 10 bersaudara. Sepuluh  bersaudara itu hidup rukun, guyub, rumahnya berderet-deret di satu dusun. Maklum,  orang tua Kang Gimin dan Lek Mardi dulu adalah orang paling kaya dan terpandang di  dusun Ringinpitu. Salah satu orang yang pertama kali bisa naik haji ke mekah di  Desa Plampangrejo.
Kecerdasan otak Mbah Dugel, bapak Kang Gimin dan Lek Mardi,  dalam bertani, berdagang dan beternak diakui banyak orang. Tak heran, jika luas tegalan dan sawahnya berhektar-hektar luasnya. Sabuk Galengan, istilahnya, kata orang-orang dusun.
Tetapi, sepeninggal Mbah Dugel dan kedua istrinya, sawah dan tegalan itu harus  dibagi rata kepada ke sepuluh anaknya dan juga kepada anak-anak sambung dari istri  kedua Mbah Dugel. Akibatnya, Kang Gimin dan Lek Mardi hanya kebagian sepetak sawah, sepetak tegalan, dan sebidang tanah untuk membangun rumah sederhana yang kini mereka tempati.
Sebenarnya, hidup hanya dengan bersandarkan pada penghasilan dari sepetak sawah yang panen padi setahun dua kali dan panen kedelai setahun sekali itu, serta  sepetak tegalan yang hanya bisa ditanami telo itu, tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin meningkat.
Tetapi falsafah hidup orang-orang Jawa mengajarkan ‘kudu nerimo ning pandum’ serta ‘mangan ora mangan sing penting kumpul’. Sebagai, manusia haruslah ridho menerima, seberapa pun  rizki yang telah dibagikan Gusti Allah dengan takaranya masing-masing.
Diatas materi, ada yang harus lebih diutamakan yaitu keguyuban, kebersamaan hidup dengan keluarga. Leluhur orang Jawa sangat percaya bahwa rejeki setiap orang  itu sudah ada takeran, takaranya sendiri-sendiri, punya jatahnya sendiri-sendiri, yang tidak akan pernah tertukar sama rejeki orang lain. Kalau sudah rejeki, tak akan lari kemana.
Karenanya, Kang Parno dan Lek Mardi bersama 8 saudara lainya, dan juga bersama  orang-orang dusun pada umumnya, memilih hidup sederhana di kampung. Bekerja keras, dari selepas sholat subuh sampai waktu duhur, berlanjut lagi selepas sholat duhur  hingga senja datang. Mengolah tanah-tanah peninggalan leluhur mereka dengan sepenuh hati, meskipun harus bermandikan peluh, di bawah terik sinar matahari.

Mereka tidak mengenal yang namanya hari libur akhir pekan apalagi yang namanya tanggal merah. Buat mereka, setiap hari-hari adalah sama. Mereka hanya makan dari makanan yang mereka tanam sendiri dan yang disediakan gratis oleh alam. Hidup guyub, orang sedusun  serasa seperti saudara kandung sendiri, saling asah asih dan asuh, dalam harmoni  alam pedesaan yang subur.
Walaupun jauh dari makhluk bernama kemewahan hidup, tetapi kebahagiaan begitu  melimpah ruah di dusun ringin pitu. Tak ada perasaan iri hati dengan tetangga, yang  ada adalah hasrat untuk saling membantu, saling meringankan beban sesama, gotong  royong memecahkan masalah bersama. Dimana-mana orang saling bertegur sapa, dengan keramahan yang otentik dari lubuk hati mereka yang terdalam, bagai kehidupan koloni semut yang selalu saling bertegur sapa setiap berjumpa dengan siapa saja.

Kebahagiaan itu bertambah sempurna dengan suasana religius yang menggambarkan kedekatan warga dusun dengan Sang Pemilik Kehidupan. Lelaki, perempuan, bocah-bocah berduyun-duyun pergi ke masjid dan langgar setiap petang dan menjelang pagi hari untuk sholat jamaah maghrib, isyak dan Subuh.
Anak-anak yang mengaji di serambi masjid dan langgar di antara waktu maghrib dan Isyak. Belum lagi dengan berbagai  jenis kegiatan keagamaan lainya seperti jamaah fida’, tahlil dan yasinan, istigotsahan, berjanjen, manakiban, khataman alquran, serta pengajian-pengajian lainya seperti pengajian muslimat, ansor, pengajian umum setiap bulan Suro dan Rajab yang mengundang kyai dari pesantren pesantren.
***
Tetapi, keadaan yang ayem tentrem bagai pantulan cahaya surga itu berangsur-angsur berubah. Sejak, setiap rumah memiliki TV sendiri, pelan-pelan cara memandang kehidupan warga dusun pun berubah. Kalau dulu, kyai dan bu nyai pesantren adalah duta kebudayaan warga dusun, sekarang artis-artis sinetron dan penyanyi lah yang menjadi duta kebudayaan mereka.
Kalau dulu hidup itu mestilah sederhana dan bersahaja saja, yang penting bermanfaat sebanyak-banyaknya buat sesama. Toh, hidup mung sekedar mampir ngombe. Sekarang pandangan hidup itu pun bergeser, bahwa hidup itu harus sukses, dan sukses itu bila bisa tampil cantik dan ganteng dengan berpakaian bermerek, sambil menenteng tas seharga ratusan juta rupiah.

Mainanya gadged mahal keluaran terbaru, untuk selfie di dalam mobil super mewah. Rumahnya besar bertingkat, pagarnya tinggi, lengkap dengan perabotan-perobatan rumah super mahal.
Warga dusun yang dulu hidup qanaah, bisa hidup bahagia, ayem tentrem dengan bertani, kini tak bisa lagi. Takdir sebagai petani dipandang sebagai kesialan hidup yang harus dirubah sekuat tenaga. Belum lagi, hasil pertanian yang semakin tidak bisa diandalkan.
Orang dusun diajari, lebih tepatnya dibodohi menggunakan pupuk dan pestisida dari bahan kimia secara berlebihan, akibatnya tanah kehilangan kesuburan alaminya, dan hama malah semakin tak bisa dikendalikan. Bagai pecandu narkoba, para petani pun sulit lepas dari ketergantungan bahan kimia yang semakin mahal itu.
Akibatnya dari tahun ketahun, hasil panen bukanya naik tetapi malah semkin merosot tajam. Nasib buruk diperparah dengan permainan harga para tengkulak yang mengakibatkan harga selalu jatuh setiap musim panen tiba, serta kebijakan pemerintah yang tak pernah berpihak pada nasib petani.
Sungguh, sulit hidup sebagai petani di dusun, lebih sulit lagi hidup sebagai buruh tani yang tidak memiliki sawah garapan. Tanahnya semakin menyempit, jumlah penduduk semakin melangit, kehidupan pun semakin sulit. Warga dusun semakin yakin bahwa takdir sebagai petani adalah kesialan hidup yang harus segera dihentikan.

Beberapa orang masih sabar dengan keadaan yang semakin sulit itu. Sesulit apapun,  jika dijalani dengan ridho, perjalanan hidup akan terasa nikmat. Kalaupun, susah di  dunia, mereka masih punya harapan akan kehidupan di kampung akhirat, yang abadan abadin, abadi selama-lamanya.
Tetapi, tidak sedikit yang tidak sabar karena keadaan. Akhirnya memilih untuk  bekerja ke luar kabupaten ke kota-kota besar di Indonesia atau ke luar negeri sekalian. Ada yang berhasil, tapi tidak sedikit yang pulang hanya membawa malu. Yang berhasil bisa pulang membangun rumah besar magrong-magrong, lengkap dengan pagar tembok yang tinggi, dan setiap lebaran bisa pamer sedan mewah keluaran terbaru, yang akan dibawa bersama keluarga saat sholat ied di masjid dusun.

Tetapi, tidak sedikit pula yang bernasib mengenaskan. Banyak perempuan-perempun desa itu, pulang-pulang bawa cucu untuk emaknya tanpa jelas siapa bapaknya. Tidak sedikit pula yang pulang-pulang dalam kondisi sekarat, bahkan hanya tinggal nama.
Kang Gimin termasuk salah satu yang beruntung. Setelah menjual sepetak tanah satu-satunya dari warisan bapaknya itu, Kang Gimin memutuskan untuk menjadi TKI di Malaysia. Kang Gimin betekad tidak akan pulang sebelum sukses.
Pulang pertama, setelah 3 tahun, Kang Gimin bisa membangun rumahnya yang sederhana itu menjadi rumah mewah layaknya rumah para artis penyanyi yang sering dipamerkan di acara infotainmen. Untung membangun pagar rumahnya saja, menghabiskan ratusan juta rupiah.
Pulang kedua, setelah 6 tahun, Kang Gimin bisa membeli beberapa hektar tanah dan tegalan. Sepetak tanah yang dijualnya dulu, kini bisa dibelinya kembali, bahkan beranak pinak menjadi jauh lebih luas. Tanah-tanah beberapa hektar itu, digarap oleh saudara-saudara Kang Gimin termasuk Lek Mardi. Kang Gimin, tak meminta sedikit pun dari hasil sawahnya itu.
Terkahir, setalah 9 tahun di Malaysia, Kang Gimin untuk tidak kembali ke Malaysia lagi. Sebuah mobil seharga lebih setengah milyar kini sudah berkandang di garasi rumahnya. Sebuah toko, yang menjual segala kebutuhan hidup ala orang kota untuk warga dusun pun sudah berdiri di samping rumahnya. Lengkap dengan jasa isi ulang air galon dan isi pulsa.
Rupanya, warga dusun yang dulu cukup bersyukur dengan minum air kendi, sekarang setiap rumah sudah punya dispenser. Warga dusun yang dulu suka mandi berjamaah di sungai, sekarang sudah mandi pakai air PDAM yang sudah masuk dusun.
Tidak hanya punya rumah, mobil, sawah, dan toko, Kang Gimin dalam waktu dekat, tepatnya di bulan haji yang akan datang ini juga berangkat haji bersama Yu Marni istrinya. Setelah, beberapa waktu sebelumnya, berangkat umroh sekeluarga bersama ketiga anaknya. Sungguh, paripurna betul kehidupan Kang Gimin.

Lain halnya dengan nasib lek Mardi, adek kandung Kang Gimin. Melihat kesuksesan kakangnya, lek Mardi yang semula keukeuh ingin nerimo in pandum menjalani nasibnya sebagai petani di dusun, akhirnya kegi, kepincut juga. Di jual lah sepetak tanahnya itu, untuk modal keberangkatanya sebagai TKI di Malaysia, di agen yang sama dengan yang telah membantu Kang Gimin.
Sama dengan Kang Gimin, Lek Mardi pun bertekad tidak akan pulang sebelum sukses. Meskipun berat sekali rasanya meninggalkan Lastri, istrinya yang cantik yang amat dia cintai, dan Si Genduk Narti, anak semata wayang nya yang sedang lucu-lucunya itu.

Tetapi, ternyata bekerja sebagai buruh pabrik di Malaysia tak semudah dan seindah yang dibayangkan oleh Lek Mardi. Gajinya pas-pasan, hanya cukup untuk biaya hidup sendiri, dan sebagian dikirim tiap bulanya lewat Western Union, untuk biaya hidup Lastri dan Si Genduk Narti.
Lek Mardi jadi bertanya-tanya, kok nasibnya tak seindah nasib Kang Gimin. Kok ternyata mencari duit di Malaysia, tak semudah yang dia bayangkan seperti pada Kang Gimin, yang seolah duit di Malaysia itu tinggal nyawuk saja.
Lek Mardi mencoba menguatkan hatinya, untuk bersabar. Walaupun, berkali-kali Lek Mardi nyaris putus asa ingin pulang saja. Lahwong, habis bulan habis gaji. Tetapi, bayangan cemoohan tetangga jika pulang tidak membawa apa-apa, membuat dengan sangat terpaksa tetap bertahan. Lek Mardi, menyisihkan sedikit gajinya untuk ditabung, seringgit dua ringgit dimasukkanya dalam celengan.
Di akhir tahun ketiga, karena rindu yang tak tertahan, saat lebaran, Lek Mardi memutuskan untuk pulang kampung untuk kemudian kembali lagi ke Malaysia. Walaupun belum berhasil membangun rumah, setidaknya Lek Mardi mampu membeli sebuah motor bebek keluaran terbaru masih gres dari toko dibayar kontan.

Setidaknya, lek Mardi tidak terlalu malu, jika dibanding-bandingkan dengan kesuksesasan Kang Gimin. Saat  ditanya tetangganya : ” Kapan ki, omahe dibangun? “, Lek Mardi masih bisa berkelit dengan menjawab: ” iyo sedilut engkas, insya Allah nyuwun dungane“.
Walaupun dalam hati Lek Mardi sebenarnya perih sekali, dibanding-bandingkan dengan kesuksesan Kang Gimin, kakangnya sendiri itu.
Entah mengapa, kini hubungan keluarga Lek Mardi dan Kang Gimin agak ada jarak.  Seolah ada perang dingin antara kedua keluarga yang dulu sangat guyub itu. Dulu, lek Mardi biasa keluar masuk rumahnya Kang Gimin layaknya rumah sendiri. Makan di dapur pun tak perlu disuruh, begitu juga sebaliknya. Entahlah, sejak rumah Kang Gimin ditembok tinggi, seolah rumah itu menjadi sangat menakutkan.
Buat Lek Mardi, rumah Kang Gimin sekarang tak senyaman yang dulu. Lek Mardi merasa hatinya panas sekali setiap kali memasuki rumah kakangnya itu.
Setelah lebaran ketupat usai, Lek Mardi akhirnya kembali lagi ke Malaysia. Kini Si Genduk Narti kalau sekolah tak lagi naik ontel sendiri, tetapi diantar jemput oleh Yu Lastri dengan motor bebek yang masih kinyis-kinyis itu. Kalau ke kota kecamatan,  ke kantor pos untuk mengambil kiriman uang Lek Mardi, Yu Lastri tak lagi meminjam sepeda motor tetangganya.
Begitu pula, saat ada kumpulan wali murid di sekolah Genduk Narti, kini Yu lastri tak perlu menekuk mukanya, tetapi sudah bisa mengangkat mukanya dan tersenyum lebar. Pokoknya, dengan sepeda motor baru itu,  kini Yu Lastri merasa level gengsi kehidupanya sudah naik beberapa derajat.

Hingga peristiwa yang naas itu terjadi. Yu lastri menagis mberok-mberok, sejadi- jadinya di parkiran motor Kantor Pos Kecamatan. Setelah mengambil uang kiriman dari suaminya, Yu Lastri kaget dan terpukul luar biasa, karena motor kesayanganya itu raib tanpa jejak. Seperti peristiwa yang sudah-sudah, setiap pencurian motor, harapan motor itu kembali hanya 0.001 persen.
Semenjak kehilangan motor itu, Yu lastri menjadi lunglai, nyaris kehilangan semangat hidup berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Kesedihan yang teramat dalam. Ngenes binti, melihat Genduk Narti harus ke sekolah ngontel kembali. Malu rasanya, kalau bepergian agak jauh, harus meminjam motor tetangganya kembali.
Lek Mardi mendengar kabar kehilangan motor itu pun sangat terpukul, ngelokro. Oalah direwangi, urip prihatin bertahun-tahun nang kene, cek supoyo iso tuku motor, eh motore diilangne, Oalah, nasib-nasib. Keluh Lek Mardi. Tetapi, kecintaan Lek Mardi pada Yu Lastri, segera memulihkan keadaan, apalagi setelah dapat kabar, Yu Lastri hamil muda. Hasil hubungan waktu pulang lebaran kemaren. Semangat lek Mardi jadi berkobar-kobar.
Demi mengumpulkan tabungan, Lek Mardi rela bekerja ngelembur. Siang dan malam, sabtu dan minggu pun tetap semangat bekerja. Makan pun, ala kadarnya, asal perut kenyang, yang penting uang tabungan semakin menumpuk. Lumayan, uang lemburan itu membuat gaji buruh pabrik lek Mardi naik dua kali lipat. Ditabungkanya uang itu, disisihkan sendiri dari uang bulanan yang harus lek Mardi kirim untuk Yu Lastri, Genduk Narti, dan calon anak keduanya.

Bulan, berganti bulan, tahun berganti tahun, tak terasa sudah hampir lima tahun Lek Mardi menjadi TKI. Lek Mardi tersenyum bangga, melihat print out buku tabunganya. “Alhamdulilah, ini sudah lebih dari cukup untuk membangun sebuah rumah” batin Lek Mardi. Karenanya, lebaran yang tinggal sebulan lagi, Lek Mardi berencana pulang. Di hari lebaran nanti berencana membeli motor baru lagi, terus membongkar total rumahnya yang lama.
Hingga, malam-malam di bulan Ramadlan menjelang lebaran itu pun datang. Selama bulan Ramdalan, Lek Mardi, bahkan rela meninggalkan sholat taraweh, meninggalkan tadarussan demi mengejar lemburan. Parahnya lagi, Lek Mardi, pernah kepergok oleh temanya makan roti di siang hari. Perutnya kelewata lapar katanya.

Sehari menjelang lebaran, Lek Mardi sampai di dusun Ringinpitu. Betapa bahagianya lek Mardi bisa berkumpul kembali dengan keluarganya, apalagi dengan putra keduanya, Tole Bagus, yang baru pertama kalinya dia lihat langsung. Rasanya, kerja sangat kerasnya selama ini terbayar sudah.
Tetapi, nasib malang datang tanpa diundang. Saat Lek Mardi hendak mandi sholat hari raya, tubuhnya roboh di kamar mandi. Darah segar mengalir dari mulut lek Mardi. Yu Lastri girap-girap, panik tidak karuan. Kedua anaknya tetangisan. Kang Gimin, mengantarkan Lek Mardi ke Rumah Sakit di kecamatan, lalu dirujuk ke Rumah Sakit di Kabupaten.

Lek Mardi, divonis terkena kanker hati. Dan harus menjalani kemoterapi. Ludes sudah uang tabungan Lek Mardi yang sedianya mau digunakan untuk membeli motor baru dan membangun rumah itu. Oalah nasib mu, Lek-lek.
**
Alhamdulilah, akhirnya lek Mardi kembali pulih, berangsur-angsur tubuh Lek Mardi sehat kembali. Sebuah kebahagiaan yang tiada terkira, nikmat hidup sehat, meskipun tidak memiliki makhluk bernama kemewahan hidup.
Walaupun sudah terpuruk dua kali, Lek Mardi seolah tak merasa kapok untuk pergi kembali ke Malaysia. Sebenarnya, bukanya tidak kapok, tapi sungguh dia merasa tidak memiliki pilihan lain untuk memperbaiki nasib hidup. Dia teringat kata-kata  motivator di TV, bahwa setiap orang punya jatah gagal, maka habiskanlah jatah gagal  itu, untuk akhirnya meraih keberhasilan. Kata-kata motivator TV yang seperti sabda nabi itu, memulihkan semangat hidupnya.
Lek Mardi, kembali lagi menjadi TKI ke Malaysia. Kali ini mencoba peruntungan lain, di sektor pertanian yang katanya lebih menjanjikan. Lek Mardi, merasa menemukan kehidupanya kembali sebagai petani, karena setiap hari dia mengurus tanaman sayur-sayuran, untuk komoditas ekspor.

Tapi, lagi-lagi nasib Malang menerpanya. Di tahun kedua Lek Mardi bekerja di sektor
pertanian itu, Lek Mardi tertangkap polisi Raja Diraja Malaysia, dengan tuduhan TKI
Ilegal. Lek Mardi tak bisa menunjukkan paspor dan visa yang ditahan oleh majikanya
yang kabur begitu saja. Sejak itu, tak terdengar lagi kabar Lek Mardi entah dimana,
tidak ada yang tahu. Nomor telponya pun tak bisa dihubungi.
Ketidakjelasan nasib Lek Mardi menjadi gunjingan warga dusun Ringinpitu. Yu Lastri
terpukul berat dengan kejadian itu. Yu Lastri berusaha menghindar setiap kali
bertemu dengan warga dusun yang lain.

Tetapi, hari itu warga dusun Ringinpitu menjadi gempar sekali. Oalah gusti, Yu
Lastri ketangkep selingkuh di rumahnya dengan salah seorang pegawai desa. Perselingkuhan itu tertangkap basah dan digerebek oleh warga. Berita hilangnya kabar Lek Mardi, dan perselingkuhan Yu Lastri dengan pegawai desa itu menjadi  Gosip, menjadi rasan-rasan yang menyebar ke seluruh warga dusun bahkan warga sedesa. Setiap orang seolah berubah menjadi presenter acara infotainment yang mulutnya begitu tajam, tajam sekali, seperti sembilu yang menyayat-nyayat hati Yu Lastri.
Di balik jeruji Penjara Raja Diraja Malaysia, di pojok ruangan yang pengab itu, Lek  Mardi yang rambutnya sudah gundul, badanya kurus, matanya cekung meratapi nasibnya.  Oalah, nasib-nasib. Diam-diam nurani kecil hatinya, merindukan suasana dan nuansa dusunya dulu saat masih dibalut kesederhanaan dan kebersahajaan hidup.
Diam-diam hatinya merutuki jebakan iming-iming kemewahan dunia, yang telah membuat suasana dan nuansanya dusunya menjadi panas bagai terkena pantulan panasnya neraka jahanam, suasana hati penuh iri dengki, karena setiap orang berusaha memamerkan kemewahan hidup.

Diam-diam hatinya teringat nasihat emboknya dulu, sebuah filosofi tentang rejeki. Bahwa setiap orang itu punya ukuran takeran rizki masing-masing, yang sudah ditetapkan ukuranya pada setiap jabang bayi yang lahir.
Kalau ukuran nya  cuman sak batok, mau dikasih beras satu ember pun, pasti akan tumpah. Begitu juga  dengan rizki. Kalau memang rejeki mu kecil, ya tidak usah iri dengan rizki orang lain yang memang ukuranya sudah ditetapkan jauh lebih besar.

Memang, kita tidak akan pernah tahu seberasa besar takeran rizki kita sebelum kita
berusaha keras sekuat tenaga. Tetapi, kita semestinya juga sadar, sekeras-kerasnya ikhtiar,tidak akan pernah mampu menembus dinding-dinding takdir. Seseorang bisa saja meniru sama  persis cara orang lain mencari rizki, tetapi jumlah rizki yang diperoleh adalah persoalan lain.
Sebenarnya, bukan besar-kecilnya takeran rizki kita yang menjadi  masalah, tetapi usaha untuk mengetahui seberapa besar takeran rizki kita dan ridlo tidaknya terhadap berapapun ukuran takeran reziqi kitalah yang akan menjadi persoalan.

Bukankah, semua yang kita miliki pada hakikatnya tak lebih dari sebuah  titipan? Yang sewaktu-waktu pasti akan diambil kembali oleh sang pemilik titipan, tanpa sempat kita bertanya mengapa dan untuk apa Tuhan menitipkanya kepada kita?