Cerpen: TAKERAN REJEKI
*)
…. yang sewaktu-waktu pasti akan
diambil kembali oleh sang pemilik titipan, tanpa sempat kita bertanya
mengapa dan untuk apa Tuhan menitipkanya kepada kita?
|
Foto Ilustrasi |
Kang Gimin dan Lek Mardi adalah
kakak beradik dari 10 bersaudara. Sepuluh bersaudara itu hidup rukun,
guyub, rumahnya berderet-deret di satu dusun. Maklum, orang tua Kang
Gimin dan Lek Mardi dulu adalah orang paling kaya dan terpandang di dusun
Ringinpitu. Salah satu orang yang pertama kali bisa naik haji ke mekah di
Desa Plampangrejo.
Kecerdasan otak Mbah Dugel,
bapak Kang Gimin dan Lek Mardi, dalam bertani, berdagang dan beternak
diakui banyak orang. Tak heran, jika luas tegalan dan sawahnya berhektar-hektar
luasnya. Sabuk Galengan, istilahnya, kata orang-orang dusun.
Tetapi, sepeninggal Mbah Dugel
dan kedua istrinya, sawah dan tegalan itu harus dibagi rata kepada ke
sepuluh anaknya dan juga kepada anak-anak sambung dari istri kedua Mbah
Dugel. Akibatnya, Kang Gimin dan Lek Mardi hanya kebagian sepetak sawah,
sepetak tegalan, dan sebidang tanah untuk membangun rumah sederhana yang kini
mereka tempati.
Sebenarnya, hidup hanya dengan
bersandarkan pada penghasilan dari sepetak sawah yang panen padi setahun dua
kali dan panen kedelai setahun sekali itu, serta sepetak tegalan yang
hanya bisa ditanami telo itu, tidaklah cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidup yang semakin meningkat.
Tetapi falsafah hidup orang-orang
Jawa mengajarkan ‘kudu nerimo ning pandum’ serta ‘mangan
ora mangan sing penting kumpul’. Sebagai, manusia haruslah ridho menerima,
seberapa pun rizki yang telah dibagikan Gusti Allah dengan takaranya
masing-masing.
Diatas materi, ada yang harus
lebih diutamakan yaitu keguyuban, kebersamaan hidup dengan
keluarga. Leluhur orang Jawa sangat percaya bahwa rejeki setiap orang itu
sudah ada takeran, takaranya sendiri-sendiri, punya jatahnya sendiri-sendiri,
yang tidak akan pernah tertukar sama rejeki orang lain. Kalau sudah rejeki, tak
akan lari kemana.
Karenanya, Kang Parno dan Lek
Mardi bersama 8 saudara lainya, dan juga bersama orang-orang dusun pada
umumnya, memilih hidup sederhana di kampung. Bekerja keras, dari selepas sholat
subuh sampai waktu duhur, berlanjut lagi selepas sholat duhur hingga
senja datang. Mengolah tanah-tanah peninggalan leluhur mereka dengan sepenuh
hati, meskipun harus bermandikan peluh, di bawah terik sinar matahari.
Mereka tidak mengenal yang
namanya hari libur akhir pekan apalagi yang namanya tanggal merah. Buat mereka,
setiap hari-hari adalah sama. Mereka hanya makan dari makanan yang mereka tanam
sendiri dan yang disediakan gratis oleh alam. Hidup guyub, orang sedusun
serasa seperti saudara kandung sendiri, saling asah asih dan asuh, dalam
harmoni alam pedesaan yang subur.
Walaupun jauh dari makhluk
bernama kemewahan hidup, tetapi kebahagiaan begitu melimpah ruah di dusun
ringin pitu. Tak ada perasaan iri hati dengan tetangga, yang ada adalah
hasrat untuk saling membantu, saling meringankan beban sesama, gotong
royong memecahkan masalah bersama. Dimana-mana orang saling bertegur
sapa, dengan keramahan yang otentik dari lubuk hati mereka yang terdalam, bagai
kehidupan koloni semut yang selalu saling bertegur sapa setiap berjumpa dengan siapa saja.
Kebahagiaan itu bertambah
sempurna dengan suasana religius yang menggambarkan kedekatan warga dusun
dengan Sang Pemilik Kehidupan. Lelaki, perempuan, bocah-bocah berduyun-duyun
pergi ke masjid dan langgar setiap petang dan menjelang pagi hari untuk sholat jamaah
maghrib, isyak dan Subuh.
Anak-anak yang mengaji di serambi
masjid dan langgar di antara waktu maghrib dan Isyak. Belum lagi dengan
berbagai jenis kegiatan keagamaan lainya seperti jamaah fida’, tahlil dan
yasinan, istigotsahan, berjanjen, manakiban, khataman alquran, serta
pengajian-pengajian lainya seperti pengajian muslimat, ansor, pengajian umum
setiap bulan Suro dan Rajab yang mengundang kyai dari pesantren pesantren.
***
Tetapi, keadaan yang ayem tentrem
bagai pantulan cahaya surga itu berangsur-angsur berubah. Sejak, setiap rumah
memiliki TV sendiri, pelan-pelan cara memandang kehidupan warga dusun pun
berubah. Kalau dulu, kyai dan bu nyai pesantren adalah duta kebudayaan warga
dusun, sekarang artis-artis sinetron dan penyanyi lah yang menjadi duta
kebudayaan mereka.
Kalau dulu hidup itu mestilah
sederhana dan bersahaja saja, yang penting bermanfaat sebanyak-banyaknya buat
sesama. Toh, hidup mung sekedar mampir ngombe.
Sekarang pandangan hidup itu pun bergeser, bahwa hidup itu harus sukses, dan sukses
itu bila bisa tampil cantik dan ganteng dengan berpakaian bermerek, sambil
menenteng tas seharga ratusan juta rupiah.
Mainanya gadged mahal
keluaran terbaru, untuk selfie di dalam mobil super mewah.
Rumahnya besar bertingkat, pagarnya tinggi, lengkap dengan perabotan-perobatan
rumah super mahal.
Warga dusun yang dulu hidup
qanaah, bisa hidup bahagia, ayem tentrem dengan bertani, kini tak bisa lagi.
Takdir sebagai petani dipandang sebagai kesialan hidup yang harus dirubah
sekuat tenaga. Belum lagi, hasil pertanian yang semakin tidak bisa diandalkan.
Orang dusun diajari, lebih
tepatnya dibodohi menggunakan pupuk dan pestisida dari bahan kimia secara
berlebihan, akibatnya tanah kehilangan kesuburan alaminya, dan hama malah
semakin tak bisa dikendalikan. Bagai pecandu narkoba, para petani pun sulit
lepas dari ketergantungan bahan kimia yang semakin mahal itu.
Akibatnya dari tahun ketahun,
hasil panen bukanya naik tetapi malah semkin merosot tajam. Nasib buruk
diperparah dengan permainan harga para tengkulak yang mengakibatkan harga
selalu jatuh setiap musim panen tiba, serta kebijakan pemerintah yang tak
pernah berpihak pada nasib petani.
Sungguh, sulit hidup sebagai
petani di dusun, lebih sulit lagi hidup sebagai buruh tani yang tidak memiliki
sawah garapan. Tanahnya semakin menyempit, jumlah penduduk semakin melangit,
kehidupan pun semakin sulit. Warga dusun semakin yakin bahwa takdir sebagai
petani adalah kesialan hidup yang harus segera dihentikan.
Beberapa orang masih sabar dengan
keadaan yang semakin sulit itu. Sesulit apapun, jika dijalani dengan
ridho, perjalanan hidup akan terasa nikmat. Kalaupun, susah di dunia,
mereka masih punya harapan akan kehidupan di kampung akhirat, yang abadan
abadin, abadi selama-lamanya.
Tetapi, tidak sedikit yang tidak
sabar karena keadaan. Akhirnya memilih untuk bekerja ke luar kabupaten ke
kota-kota besar di Indonesia atau ke luar negeri sekalian. Ada yang berhasil,
tapi tidak sedikit yang pulang hanya membawa malu. Yang berhasil bisa pulang
membangun rumah besar magrong-magrong, lengkap dengan pagar tembok yang tinggi,
dan setiap lebaran bisa pamer sedan mewah keluaran terbaru, yang akan dibawa
bersama keluarga saat sholat ied di masjid dusun.
Tetapi, tidak sedikit pula yang
bernasib mengenaskan. Banyak perempuan-perempun desa itu, pulang-pulang bawa
cucu untuk emaknya tanpa jelas siapa bapaknya. Tidak sedikit pula yang
pulang-pulang dalam kondisi sekarat, bahkan hanya tinggal nama.
Kang Gimin termasuk salah satu
yang beruntung. Setelah menjual sepetak tanah satu-satunya dari warisan
bapaknya itu, Kang Gimin memutuskan untuk menjadi TKI di Malaysia. Kang Gimin
betekad tidak akan pulang sebelum sukses.
Pulang pertama, setelah 3 tahun,
Kang Gimin bisa membangun rumahnya yang sederhana itu menjadi rumah mewah
layaknya rumah para artis penyanyi yang sering dipamerkan di acara infotainmen.
Untung membangun pagar rumahnya saja, menghabiskan ratusan juta rupiah.
Pulang kedua, setelah 6 tahun,
Kang Gimin bisa membeli beberapa hektar tanah dan tegalan. Sepetak tanah yang
dijualnya dulu, kini bisa dibelinya kembali, bahkan beranak pinak menjadi jauh
lebih luas. Tanah-tanah beberapa hektar itu, digarap oleh saudara-saudara Kang
Gimin termasuk Lek Mardi. Kang Gimin, tak meminta sedikit pun dari hasil
sawahnya itu.
Terkahir, setalah 9 tahun di
Malaysia, Kang Gimin untuk tidak kembali ke Malaysia lagi. Sebuah mobil seharga
lebih setengah milyar kini sudah berkandang di garasi rumahnya. Sebuah toko,
yang menjual segala kebutuhan hidup ala orang kota untuk warga dusun pun sudah
berdiri di samping rumahnya. Lengkap dengan jasa isi ulang air galon dan isi
pulsa.
Rupanya, warga dusun yang dulu
cukup bersyukur dengan minum air kendi, sekarang setiap rumah sudah punya
dispenser. Warga dusun yang dulu suka mandi berjamaah di sungai, sekarang sudah
mandi pakai air PDAM yang sudah masuk dusun.
Tidak hanya punya rumah, mobil,
sawah, dan toko, Kang Gimin dalam waktu dekat, tepatnya di bulan haji yang akan
datang ini juga berangkat haji bersama Yu Marni istrinya. Setelah, beberapa
waktu sebelumnya, berangkat umroh sekeluarga bersama ketiga anaknya. Sungguh,
paripurna betul kehidupan Kang Gimin.
Lain halnya dengan nasib lek
Mardi, adek kandung Kang Gimin. Melihat kesuksesan kakangnya, lek Mardi yang
semula keukeuh ingin nerimo in pandum menjalani nasibnya sebagai petani di
dusun, akhirnya kegi, kepincut juga. Di jual lah sepetak tanahnya itu, untuk
modal keberangkatanya sebagai TKI di Malaysia, di agen yang sama dengan yang
telah membantu Kang Gimin.
Sama dengan Kang Gimin, Lek Mardi
pun bertekad tidak akan pulang sebelum sukses. Meskipun berat sekali rasanya
meninggalkan Lastri, istrinya yang cantik yang amat dia cintai, dan Si Genduk
Narti, anak semata wayang nya yang sedang lucu-lucunya itu.
Tetapi, ternyata bekerja sebagai
buruh pabrik di Malaysia tak semudah dan seindah yang dibayangkan oleh Lek
Mardi. Gajinya pas-pasan, hanya cukup untuk biaya hidup sendiri, dan sebagian
dikirim tiap bulanya lewat Western Union, untuk biaya hidup Lastri dan Si
Genduk Narti.
Lek Mardi jadi bertanya-tanya,
kok nasibnya tak seindah nasib Kang Gimin. Kok ternyata mencari duit di
Malaysia, tak semudah yang dia bayangkan seperti pada Kang Gimin, yang seolah
duit di Malaysia itu tinggal nyawuk saja.
Lek Mardi mencoba menguatkan
hatinya, untuk bersabar. Walaupun, berkali-kali Lek Mardi nyaris putus asa
ingin pulang saja. Lahwong, habis bulan habis gaji. Tetapi, bayangan cemoohan
tetangga jika pulang tidak membawa apa-apa, membuat dengan sangat terpaksa
tetap bertahan. Lek Mardi, menyisihkan sedikit gajinya untuk ditabung, seringgit
dua ringgit dimasukkanya dalam celengan.
Di akhir tahun ketiga, karena
rindu yang tak tertahan, saat lebaran, Lek Mardi memutuskan untuk pulang
kampung untuk kemudian kembali lagi ke Malaysia. Walaupun belum berhasil
membangun rumah, setidaknya Lek Mardi mampu membeli sebuah motor bebek keluaran terbaru masih gres dari toko dibayar kontan.
Setidaknya, lek Mardi tidak
terlalu malu, jika dibanding-bandingkan dengan kesuksesasan Kang Gimin. Saat
ditanya tetangganya : ” Kapan ki, omahe dibangun? “, Lek
Mardi masih bisa berkelit dengan menjawab: ” iyo sedilut engkas, insya
Allah nyuwun dungane“.
Walaupun dalam hati Lek Mardi
sebenarnya perih sekali, dibanding-bandingkan dengan kesuksesan Kang Gimin,
kakangnya sendiri itu.
Entah mengapa, kini hubungan
keluarga Lek Mardi dan Kang Gimin agak ada jarak. Seolah ada perang
dingin antara kedua keluarga yang dulu sangat guyub itu. Dulu, lek Mardi biasa
keluar masuk rumahnya Kang Gimin layaknya rumah sendiri. Makan di dapur pun tak
perlu disuruh, begitu juga sebaliknya. Entahlah, sejak rumah Kang Gimin ditembok
tinggi, seolah rumah itu menjadi sangat menakutkan.
Buat Lek Mardi, rumah Kang Gimin
sekarang tak senyaman yang dulu. Lek Mardi merasa hatinya panas sekali setiap
kali memasuki rumah kakangnya itu.
Setelah lebaran ketupat usai, Lek
Mardi akhirnya kembali lagi ke Malaysia. Kini Si Genduk Narti kalau sekolah tak
lagi naik ontel sendiri, tetapi diantar jemput oleh Yu Lastri dengan motor
bebek yang masih kinyis-kinyis itu. Kalau ke kota kecamatan, ke kantor
pos untuk mengambil kiriman uang Lek Mardi, Yu Lastri tak lagi meminjam sepeda
motor tetangganya.
Begitu pula, saat ada kumpulan
wali murid di sekolah Genduk Narti, kini Yu lastri tak perlu menekuk mukanya,
tetapi sudah bisa mengangkat mukanya dan tersenyum lebar. Pokoknya, dengan
sepeda motor baru itu, kini Yu Lastri merasa level gengsi kehidupanya
sudah naik beberapa derajat.
Hingga peristiwa yang naas itu
terjadi. Yu lastri menagis mberok-mberok, sejadi- jadinya di parkiran motor
Kantor Pos Kecamatan. Setelah mengambil uang kiriman dari suaminya, Yu Lastri
kaget dan terpukul luar biasa, karena motor kesayanganya itu raib tanpa jejak.
Seperti peristiwa yang sudah-sudah, setiap pencurian motor, harapan motor itu
kembali hanya 0.001 persen.
Semenjak kehilangan motor itu, Yu
lastri menjadi lunglai, nyaris kehilangan semangat hidup berminggu-minggu,
bahkan berbulan-bulan. Kesedihan yang teramat dalam. Ngenes binti, melihat
Genduk Narti harus ke sekolah ngontel kembali. Malu rasanya, kalau bepergian
agak jauh, harus meminjam motor tetangganya kembali.
Lek Mardi mendengar kabar
kehilangan motor itu pun sangat terpukul, ngelokro. Oalah direwangi,
urip prihatin bertahun-tahun nang kene, cek supoyo iso tuku motor, eh motore
diilangne, Oalah, nasib-nasib. Keluh Lek Mardi. Tetapi, kecintaan Lek Mardi
pada Yu Lastri, segera memulihkan keadaan, apalagi setelah dapat kabar, Yu
Lastri hamil muda. Hasil hubungan waktu pulang lebaran kemaren. Semangat lek
Mardi jadi berkobar-kobar.
Demi mengumpulkan tabungan, Lek
Mardi rela bekerja ngelembur. Siang dan malam, sabtu dan minggu pun tetap semangat bekerja. Makan pun, ala kadarnya, asal
perut kenyang, yang penting uang tabungan semakin menumpuk. Lumayan, uang lemburan
itu membuat gaji buruh pabrik lek Mardi naik dua kali lipat. Ditabungkanya uang
itu, disisihkan sendiri dari uang bulanan yang harus lek Mardi kirim untuk Yu
Lastri, Genduk Narti, dan calon anak keduanya.
Bulan, berganti bulan, tahun
berganti tahun, tak terasa sudah hampir lima tahun Lek Mardi menjadi TKI. Lek
Mardi tersenyum bangga, melihat print out buku tabunganya. “Alhamdulilah,
ini sudah lebih dari cukup untuk membangun sebuah rumah” batin Lek Mardi.
Karenanya, lebaran yang tinggal sebulan lagi, Lek Mardi berencana pulang. Di
hari lebaran nanti berencana membeli motor baru lagi, terus membongkar total
rumahnya yang lama.
Hingga, malam-malam di bulan
Ramadlan menjelang lebaran itu pun datang. Selama bulan Ramdalan, Lek Mardi,
bahkan rela meninggalkan sholat taraweh, meninggalkan tadarussan demi
mengejar lemburan. Parahnya lagi, Lek Mardi, pernah kepergok oleh temanya makan
roti di siang hari. Perutnya kelewata lapar katanya.
Sehari menjelang lebaran, Lek
Mardi sampai di dusun Ringinpitu. Betapa bahagianya lek Mardi bisa berkumpul
kembali dengan keluarganya, apalagi dengan putra keduanya, Tole Bagus, yang
baru pertama kalinya dia lihat langsung. Rasanya, kerja sangat kerasnya selama
ini terbayar sudah.
Tetapi, nasib malang datang tanpa
diundang. Saat Lek Mardi hendak mandi sholat hari raya, tubuhnya roboh di kamar
mandi. Darah segar mengalir dari mulut lek Mardi. Yu Lastri girap-girap,
panik tidak karuan. Kedua anaknya tetangisan. Kang Gimin, mengantarkan Lek
Mardi ke Rumah Sakit di kecamatan, lalu dirujuk ke Rumah Sakit di Kabupaten.
Lek Mardi, divonis terkena kanker
hati. Dan harus menjalani kemoterapi. Ludes sudah uang tabungan Lek Mardi yang
sedianya mau digunakan untuk membeli motor baru dan membangun rumah itu. Oalah
nasib mu, Lek-lek.
**
Alhamdulilah, akhirnya lek Mardi kembali pulih, berangsur-angsur tubuh Lek
Mardi sehat kembali. Sebuah kebahagiaan yang tiada terkira, nikmat hidup sehat,
meskipun tidak memiliki makhluk bernama kemewahan hidup.
Walaupun sudah terpuruk dua kali,
Lek Mardi seolah tak merasa kapok untuk pergi kembali ke Malaysia. Sebenarnya,
bukanya tidak kapok, tapi sungguh dia merasa tidak memiliki pilihan lain untuk
memperbaiki nasib hidup. Dia teringat kata-kata motivator di TV, bahwa
setiap orang punya jatah gagal, maka habiskanlah jatah gagal itu, untuk
akhirnya meraih keberhasilan. Kata-kata motivator TV yang seperti sabda nabi itu,
memulihkan semangat hidupnya.
Lek Mardi, kembali lagi menjadi
TKI ke Malaysia. Kali ini mencoba peruntungan lain, di sektor pertanian yang
katanya lebih menjanjikan. Lek Mardi, merasa menemukan kehidupanya kembali
sebagai petani, karena setiap hari dia mengurus tanaman sayur-sayuran, untuk komoditas ekspor.
Tapi, lagi-lagi nasib Malang
menerpanya. Di tahun kedua Lek Mardi bekerja di sektor
pertanian itu, Lek Mardi tertangkap polisi Raja Diraja Malaysia, dengan tuduhan
TKI
Ilegal. Lek Mardi tak bisa menunjukkan paspor dan visa yang ditahan oleh
majikanya
yang kabur begitu saja. Sejak itu, tak terdengar lagi kabar Lek Mardi entah
dimana,
tidak ada yang tahu. Nomor telponya pun tak bisa dihubungi.
Ketidakjelasan nasib Lek Mardi
menjadi gunjingan warga dusun Ringinpitu. Yu Lastri
terpukul berat dengan kejadian itu. Yu Lastri berusaha menghindar setiap kali
bertemu dengan warga dusun yang lain.
Tetapi, hari itu warga dusun
Ringinpitu menjadi gempar sekali. Oalah gusti, Yu
Lastri ketangkep selingkuh di rumahnya dengan salah seorang pegawai desa.
Perselingkuhan itu tertangkap basah dan digerebek oleh warga. Berita hilangnya kabar Lek Mardi, dan perselingkuhan Yu Lastri dengan pegawai desa itu menjadi
Gosip, menjadi rasan-rasan yang menyebar ke seluruh warga dusun bahkan
warga sedesa. Setiap orang seolah berubah menjadi presenter acara infotainment
yang mulutnya begitu tajam, tajam sekali, seperti sembilu yang menyayat-nyayat
hati Yu Lastri.
Di balik jeruji Penjara Raja
Diraja Malaysia, di pojok ruangan yang pengab itu, Lek Mardi yang
rambutnya sudah gundul, badanya kurus, matanya cekung meratapi nasibnya.
Oalah, nasib-nasib. Diam-diam nurani kecil hatinya, merindukan suasana
dan nuansa dusunya dulu saat masih dibalut kesederhanaan dan kebersahajaan
hidup.
Diam-diam hatinya merutuki
jebakan iming-iming kemewahan dunia, yang telah membuat suasana dan nuansanya
dusunya menjadi panas bagai terkena pantulan panasnya neraka jahanam, suasana
hati penuh iri dengki, karena setiap orang berusaha memamerkan kemewahan hidup.
Diam-diam hatinya teringat
nasihat emboknya dulu, sebuah filosofi tentang rejeki. Bahwa setiap orang itu
punya ukuran takeran rizki masing-masing, yang sudah ditetapkan ukuranya pada
setiap jabang bayi yang lahir.
Kalau ukuran nya cuman sak
batok, mau dikasih beras satu ember pun, pasti akan tumpah. Begitu juga
dengan rizki. Kalau memang rejeki mu kecil, ya tidak usah iri dengan
rizki orang lain yang memang ukuranya sudah ditetapkan jauh lebih besar.
Memang, kita tidak akan pernah
tahu seberasa besar takeran rizki kita sebelum kita
berusaha keras sekuat tenaga. Tetapi, kita semestinya juga sadar,
sekeras-kerasnya ikhtiar,tidak akan pernah mampu menembus dinding-dinding
takdir. Seseorang bisa saja meniru sama persis cara orang lain mencari
rizki, tetapi jumlah rizki yang diperoleh adalah persoalan lain.
Sebenarnya, bukan besar-kecilnya
takeran rizki kita yang menjadi masalah, tetapi usaha untuk mengetahui
seberapa besar takeran rizki kita dan ridlo tidaknya terhadap berapapun ukuran
takeran reziqi kitalah yang akan menjadi persoalan.
Bukankah, semua yang kita miliki
pada hakikatnya tak lebih dari sebuah titipan? Yang sewaktu-waktu pasti
akan diambil kembali oleh sang pemilik titipan, tanpa sempat kita bertanya
mengapa dan untuk apa Tuhan menitipkanya kepada kita?