Minggu, 20 Mei 2018

Cerita: Cahaya Bintang Si Bocah

Cahaya Bintang Si Bocah


Si Bocah Menangis karena Cahaya Bintangnya redup.
Si bocah mendendangkan syair kegelisahannya.
Aku terdiam bersama kebodohan yang aku buat-buat
Menangis juga karenanya
Rasa lemah menghantuiku
Rasa pesimis menggerogoti cahaya bintangku
Seperti aku sudah merasakan bahwa akulah bintang itu
Akulah yang tergerogoti
Aku akan segera mati
Tetapi waktu menertawakanku

Maka aku tergerak untuk bertanya, “mengapa engkau menertawakanku, hai Waktu?”
Waktu menjawab, “bagaimana kau mengetahui bahwa dirimu akan segera mati. Sedangkan aku saja yang melihat banyak kematian dari kalanganmu, tidak mengetahui kapan aku akan berhenti. Betapa bodohnya orang-orang yang seperti dirimu.”
“Aku memang bodoh Sang Waktu, bahkan kebodohan itu telah menggerogoti cahaya bintangku.”
“Orang yang mengaku dirinya bodoh adalah orang yang tidak mau belajar. Kau tidak mengetahui sudah berapa ribu tahun aku mempelajari tentang seluk beluk kehidupan.”
“Apa kau sudah banyak mengetahui tentang kehidupan?”
“Kehidupan pada akhirnya bermuara pada yang Maha Hidup. Itulah yang aku ketahui.” Sang waktu terlihat percaya diri.
“Lantas, apakah yang harus aku lakukan sekarang?” si bocah menanyai Sang Waktu yang terlihat pintar karena mempelajari seluk beluk kehidupan.
“Kau harus belajar menghidupkan cahaya bintangmu.”

“Bagaimana caranya, Wahai Sang Waktu?”
“Jika kau ingin menghidupkan cahaya bintangmu, maka kau harus belajar pada Sang Malam?”
“Apa aku harus bergadang?” si bocah merasa sangat enggan.
“Terkadang, ilmu juga butuh pengorbanan dan kerja keras, itu adalah bentuk kebulatan tekad.”
“Terima kasih kalau begitu, Duhai sang waktu, nanti malam aku akan bertanya pada Sang Malam.”

***

Malam tiba, seiring dengan perputaran waktu.
“Duhai malam yang menyejukkan, izinkan aku mendendangkan syair untukmu.
Ketika malam telah gelap, dimanakah siang?
Dan ketika pagi mulai menjelang dimanakah engkau Duhai malam yang menyejukkan?”
simon
“Aku selalu ada, hanya engkau yang tidak mengetahui. Hati-hati dengan malam, jangan berbicara sembarangan tentangku.” Malam terlihat sedikit tersinggung.
“Maafkan aku yang bodoh ini, wahai malam yang berteman siang,” si bocah segera meminta maaf dengan agak gemetar.
“Dari sudut pandang mana engkau mengira aku berteman dengan siang?” Malam semakin tersinggung.
“Aku sungguh bodoh duhai malam.” Si bocah terlihat sangat ketakutan, setiap ucapan yang dikeluarkannya salah. Tapi pertanyaan mencuat mendominasi pikirannya. “Memangnya engkau tidak berteman dengan siang?”
“Aku tidak berteman, aku berpasangan dengannya. Tidakkah kau pernah membaca kitab suci?”
“Kitab suci tidak akan pernah memberikan suatu bukti.”
“Lantas mengapa engkau di sini sekarang dan berbincang denganku sedangkan engkau saja tidak percaya pada kitab suci. Ingat! Namaku tertulis di sana. Mungkin lebih banyak dari pada Sang Waktu.”

Si bocah tidak ingin menyinggung malam lebih parah lagi, seakan semua yang diucapkannya berbeda dengan pemikiran Sang Malam. “Duhai malam, aku tidak pernah berniat menyinggungmu. Aku hanya ingin bertanya, bagaimana cara untuk menghidupkan cahaya bintangku?”
“Aku tidak tahu. Aku hanya malam, bukan Sang Bintang. Tanyalah pada bintang itu sendiri.”
“Tetapi Sang Waktu menyuruhku untuk belajar kepadamu?”
“Sang Waktu hanya ingin melihatmu menghabiskan waktu untuk belajar. Padahal, ia juga tidak tahu jawabannya.”
Si bocah berpikir Sang Malam tidak mau mengajarkannya karena ia telah menyinggungnya tadi, tetapi si bocah mempunyai tekad yang besar, ia terus mendesak Malam. “Tapi karenamu aku dapat melihat bintang, siang tak akan bisa memberikannya padaku.”
“Setahuku bintang itu adalah Matahari. Dan bintang yang kau lihat sekarang adalah matahari yang sangat jauuuh di luar jangkauanku.—Coba saja kau tanyakan pada bulan, mengapa ia bersinar? Bahkan sinarnya redup…. Pasti ia akan menjawab, ia bersinar karena matahari.”
Si bocah mengangguk… “Berarti dengan kata lain, ketika aku berkata ingin menghidupkan cahaya bintangku, itu berarti aku ingin menghidupkan cahaya matahariku.”
“Sepertinya begitu,” sahut Malam ikut menduga.
“Lantas apa yang harus aku lakukan?” aku cemberut dan putus asa karena ternyata Malam juga tidak bisa membantu.
“Kau harus bertanya pada matahari, karena dialah sumber siang dan malam.” Malam mencoba memberi solusi.
“Aku lelah duhai malam,” kata si bocah mengeluh.
“Tidurlah duhai bocah, karena ini yang diinginkan Sang Waktu. Dia tidak ingin melihatmu menyia-nyiakan waktu kemudian kamu memvonis dirimu bodoh hanya karena engkau menyia-nyiakan waktu dengan tidak mau mempelajari tentang cahaya bintangmu atau apa yang ingin kau pelajari.”
Si bocah tidur berselimutkan malam, dengan hangat sinar bulan purnama yang cemerlang.
Matahari dari sudut yang tak terlihat sedang tersenyum melihat si bocah yang ingin menemuinya besok. “Purnama itu untukmu, bocah,” kata Matahari. “Cahaya bulan mulai menerang ketika engkau mulai mempertanyakan tentang cahaya bintangmu.”

***

Sinar pagi menyilaukan mata si bocah ketika baru saja membuka matanya. “Ini pagi yang hangat.” Di luar otak sadarnya tentu dia sudah sangat rindu dengan Matahari. “Apa yang kunanti telah tiba,” ujar si bocah penuh semangat.
Ia berusaha menatap Matahari namun cahayanya sangat terang dan membakar mata. “Duhai matahari, betapa agung dirimu. Aku tak bisa melihatmu. Betapa terang sinarmu.” Itu adalah rayuan si bocah untuk setiap orang yang ia temui.
“Betapa lebih agungnya sinar yang mencinptakan diriku,” sahut Matahari.
“Siapakah sinar agung yang menciptakan dirimu?” si bocah mempertanyakan sinar yang dimaksud.
“Sinar itu adalah cahaya Tuhan.”
“Tapi kau lebih tampak dari pada Tuhan.”
Tadi kau berkata, ‘kau tidak bisa melihatku’ . Sesungguhnya, kau bukan tidak bisa melihatku, hanya saja matamu tidak kuat untuk memandangku.—Jika memandangku saja, kamu tidak kuat, bagaimana kamu sanggup untuk memandang cahaya Tuhan.”

Kata-kata Matahari terlalu tinggi untuk ia sanggah. Ia beralih ke tujuan awalnya menemui Matahari.
“Duhai Matahari, kaulah sumber segala cahaya. Mohon sekiranya kau membantuku, aku ingin menghidupkan cahaya bintangku.”
“Nah, baguslah…,” sambut Matahari gembira. “Karena sebelum kau berangan-angan melihat cahaya yang lain. Kau terlebih dahulu harus menghidupkan dan melihat cahaya bintangmu sendiri. Karena semua cahaya bersumber dari yang Satu.”

“Lantas bagaimanakah caranya, wahai Matahari?” si bocah mulai mencoba masuk ke jawaban yang ia inginkan.
“Seperti yang aku katakan,” kata Matahari. “Semua cahaya bersumber dari yang Satu. Cahayaku dan cahayamu bersumber dari Sang Maha Pencerah. Maka terus ingat Dia, yang menciptakan segala cahaya. Sebut namaNya dan berdoalah agar ia menghidupkan cahaya bintangmu. Lalu setelah Tuhan berbaik hati membinarkan cahaya bintangmu, jangan lagi meredupkannya dengan tindakan yang bisa meredupkan dan mematikannya.” Matahari mulai bergeser sedikit demi sedikit kenudian kembali melanjutkan kalimatnya. “Aku telah mendengar rintihan syair keputus-asaanmu waktu itu, ketika kau bersyair masygul bahwa kebodohan telah menipumu dan meredupkan cahaya bintangmu.”

“Lantas mengapa cahaya begitu penting?”
“Karena cahaya mempunyai sifat yang benderang, dengan cahaya kita bisa melihat dengan jelas dan nyata. Dengan cahaya, kau tidak meraba dalam berjalan, tidak takut dalam melangkah dan tidak kebingungan dalam mencari arah menuju ke yang Maha Benderang.”
Si bocah berpikir, kenapa Tuhan tidak menciptakan siang saja, bukankah lebih baik? “Lalu kenapa harus ada malam?” si bocah bertanya kepada Matahari.
“Semua penciptaan di bumi adalah bentuk pembelajaran dan pemikiran bagi manusia secara hakikat maupun materi. Mengapa harus ada malam?
“Malam dan siang itu terkait dengan hitam dan putih, seperti halnya dua sifat yang dimiliki manusia adalah baik dan buruk.—Ketika kau mendendangkan syair masygulmu, seakan kau berada di tengah malam yang gelap, hanya terlihat bulan dengan cahayanya yang temaram. Cahayanya tidak cukup untuk membimbingmu berjalan. Coba bayangkan jika kau berhari-hari dalam kegelapan, tidak ada siang sedikitpun, niscaya kau meminta mati dari hidup terus melelahkan seperti itu.
“Namun ketika kau melihat cahaya bulan, ada sebuah pengharapan di sana.—Itulah cahayaku, yang belum kau temukan sepenuhnya. Dan ketika kau berdoa dan mencariku, saat itulah aku juga akan mencarimu, memberikanmu tanda-tanda keberadaanku agar kau bisa berjalan kearahku.
“Aku akan mendendangkan sedikit syairku untukmu.
“Saat sinarku mulai benderang dan menyinarkan cahaya yang terang ke arahmu, janganlah bersembunyi di tempat-tempat gelap atau gua atau malah membentangkan tabir diantara kita berdua.
Saat engkau berada dalam gua atau tempat yang gelap atau malam yang panjang, Janganlah berputus asa. Lihatlah, selalu ada cahaya diantara kegelapan.
Lihatlah dari sisi gua atau tempat gelap itu, cahaya kecilku menembus untukmu.
Lihatlah ketika malam panjang berada dipangkuanmu, aku menyertai cahaya bulan di sana.
Janganlah berputus asa. Jika kau merindukan pertemuan kita.
Kita pasti akan berjumpa.”
“Syairmu sungguh indah, Duhai matahari yang memancarkan cahaya. Dan terima kasih atas semua penjelasanmu.”
“Sama-sama aku ucapkan untukmu, karena seorang pencari cahaya dan orang-orang yang bercahaya adalah berkah bagi semesta alam. Cahaya kebaikanmu bahkan adalah selimut hangat untukku.”
Matahari mulai berjalan condong ke arah barat. “Sambutlah malam yang akan menjelang, tetapi jangan pernah berhenti untuk bercahaya. Karena tak akan ada seorang pun yang bisa memadamkan cahaya bintangmu kecuali dirimu sendiri.
“Jangan pernah berhenti bercahaya!” teriak matahari lagi, ketika sudah hendak dimakan lautan. “Meskipun siang dan malam silih berganti, tetapi kau harus tetap cemerlang.”
Matahari yang bijak tenggelam dan aku menyambut malam dengan rasa syukur, karena semua penciptaan adalah bentuk pembelajaran dan ladang berpikir bagi manusia untuk menuju ke arahNya, begitu seperti yang dikatakan Matahari.

0 komentar:

Posting Komentar