6 SYARAT MENUNTUT ILMU
Sungguh agung dan mulia kedudukan seorang ahli
ilmu di sisi Allah SWT, Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan
orang-orang yang dianugerahi ilmu beberapa derajat, sebagaimana Allah
firmankan:
يَرْفَعِ
اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
Yang artinya: niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat. Almujadilah ayat 11
Dalam sebuah hadis, nabi pun menyanjung orang
alim dengan membandingkannya dengan ahli ibadah sebagaimana beliau sabdakan:
فضل
العالم علي العابد كفضل القمر ليلة بدر علي سا ئر الكواكب
Kelebihan seorang alim (ilmuwan) terhadap
seorang ‘abid (ahli ibadah) ibarat bulan purnama terhadap seluruh bintang. (HR.
Abu Dawud )
Menuntut ilmu hukumnya sangat wajib bagi setiap
muslim yang berakal, baik miskin atau kaya, orang kampung atau pun orang kota,
selama dia berakal sehat wajib hukumnya menuntut ilmu. Dikatakan dalam Hadis :
طلب
العلم فريضة علي كل مسلم
“Menuntut ilmu itu sangat wajib bagi setiap
muslim” (HR Ibnu Majah)
Dalam kajian hukum Islam, bahwa standar hidup
yang ideal bagi manusia adalah Haddul Kifâyah, Lâ Haddul Kafaf (batas
kecukupan, bukan batas pas-pasan)[1]. Dan kita tahu bahwa kewajiban dalam
menuntut ilmu dimulai dari rahim ibu sampai liang lahat. Dengan demikian untuk
memenuhi standar hidup yang ideal hendaknya tidak hanya pas-pasan. Dalam kitab
“Ta’lim al-Muta’allim” yang ditulis oleh Imam Al-Zarnuji, beliau menulis bahwa
syarat-syarat mencari ilmu menurut Imam Syafi’i dari Imam Ali bin Abi Thalib
ada 6, yaitu:
أخي لن
تنال العلم إلا بستةٍ
سأنييك عن تفاصيلها ببيـان
ذكاء وحرص واجتهاد ودرهم
وصحبة استاذٍ وطول زمان
سأنييك عن تفاصيلها ببيـان
ذكاء وحرص واجتهاد ودرهم
وصحبة استاذٍ وطول زمان
1.
Cerdas
Cerdas adalah salah satu syarat untuk menuntut
ilmu. Kecerdasan adalah bagian dari pengaruh keturunan jalur psikis. Dari ayah
dan bunda yang cerdas akan lahir anak-anak yang cerdas, kecuali adanya
sebab-sebab yang memungkinkan menjadi penghalang transformasi sifat-sifat
tersebut baik situasi fisis maupun psikis. Sehat jasmani dan lemah jasmani,
makanan bayi dalam kandungan maupun situasi psikis ayah bunda seperti semangat
dan himmah menuntut ilmu, melakukan kejahatan, emosi, maupun warna pikiran akan
ikut memberikan pengaruh yang besar bagi keturunan. Itulah buktinya bahwa dari
ayah dan bunda yang sama akan lahir anak-anak dengan kondisi fisik, watak,
sifat dan kecerdasan yang berbeda.
Tentang kaitan keturunan dengan ilmu
pengetahuan maka kita perlu mengingat bahwa yang diturunkan dari orangtua
adalah tingkat kecerdasannya saja bukan kekayaan ilmu pengetahuan. Kekayaan
ilmu pengetahuan tidak ada jalan lain kecuali belajar dengan baik. Sabda nabi
SAW:
انما
العلم با لتعلم
“Bahwasanya ilmu itu diperoleh dengan (melalui)
belajar”. Al-Hadis
Dan yang menjadi masalah sekarang bagaimana
anak yang cerdas (karena keturunan) tetapi tidak memiliki ketekunan dan
kesungguhan dalam menuntut ilmu, jawabannya sudah pasti bahwa dia tidak akan
menjadi orang pandai/‘Alim.
2. Rakus
atau Tamak
Rakus adalah (punya kemauan dan semangat untuk
berusaha mencari ilmu)
“Kejarlah cita-citamu setinggi langit”.
Peribahasa ini memberikan arti bercita-citalah setinggi-tingginya dan raihlah
cita-cita itu sampai dimana pun. Peribahasa tersebut memberikan motivasi kepada
kita untuk pantang menyerah mengejar cita-cita (pendidikan) kita. Orang yang
menuntut ilmu haruslah seperti peribahasa di atas: “selalu berusaha dan
berusaha menuntut ilmu untuk mencapai cita-cita yang tinggi”. Bahkan menurut
Imam as-Syafi’i, dalam menuntut ilmu janganlah langsung merasa puas terhadap
apa yang telah didapat dan jangan hanya menuntut ilmu di satu daerah saja.
قال
الامام الشافعي في مدح السفر
سافر تجد
عوضا عمن تفارقه
وانصب
فان لذيذ العيش في النصب
yang artinya:
Pergilah kau, kan kau dapatkan pengganti dari
kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa
setelah lelah berjuang.
Rasul berpesan dalam sebuah hadis:
اطلب
العلم و لو بالصين
Walaupun keshasihan hadis ini dipertanyakan,
setidaknya hadis ini memotivasi kita untuk pergi jauh dalam menuntut ilmu dan
mengejar cita-cita.
Allah pun telah mengingatkan agar tidak semua
mu’min pergi berperang, melainkan ada segolongan diantara mereka yang
memperdalam ilmu agar bisa memberi peringatan kepada kaumnya
وَمَا
كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ
مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا
رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin
itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap
golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka
tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah
kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. At-taubah ayat 122.
Tiga kategori manusia menurut hadis yang
diriwatkan oleh Imam Dailami, Rasulullah bersabda:
من كان
يومه خيرا من أمسه فهو رابح، ومن كان يومه مثل أمسه فهو مغبون ومن كان يومه شرا من
أمسه فهو ملعون
ada tiga kategori manusia: Beruntung: jika hari
ini lebih baik dari kemarin, Merugi: hari ini sama seperti kemarin,
Celaka/Dilaknat: hari ini lebih buruk dari kemarin.
Jika iri adalah perbuatan yang dilarang, maka
iri kepada orang berilmu dibolehkan Rasul, dalam hadis yang diriwayatkan Imam
Bukhori, Rasul bersabda:
لاَحَسَدَ
اِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلْكَتِهِ
فِى الْحَقِّ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ الْحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِيْ بِهَا
وَيُعَلِّمُهَا {رواه البخاري}
Tidak ada iri hati (yang diperbolehkan) kecuali
terhadap dua perkara, yakni :
seseorang yang diberi Allah berupa harta lalu
dibelanjakanannya pada sasaran yang benar, dan
seseorang yang diberi Allah berupa ilmu dan kebijaksanaan lalu ia menunaikannya dan mengajarkannya. (HR Al Bukhori)
seseorang yang diberi Allah berupa ilmu dan kebijaksanaan lalu ia menunaikannya dan mengajarkannya. (HR Al Bukhori)
Di antara jenis penyakit hati adalah sombong,
ujub, iri, dengki, tamak, dst. Jadi di antara bentuk penyakit hati adalah iri
dan dengki. Dalam bahasa Arab atau bahasa agama ia disebut dengan hasad. Hasad
adalah tidak senang melihat seseorang mendapatkan nikmat serta berharap agar
nikmat tersebut lenyap. Dalam hal ini hasad berbeda dengan ghibthah. Sebab,
ghibthah adalah berharap mendapatkan nikmat seperti yang didapat oleh orang tanpa
menginginkan harta itu lenyap dari orang tadi. Inilah iri yang baik yang
disebutkan oleh Nabi saw,
لَا
حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ عَلَّمَهُ اللَّهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ
يَتْلُوهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ فَسَمِعَهُ جَارٌ لَهُ فَقَالَ
لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلَانٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ
وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَهُوَ يُهْلِكُهُ فِي الْحَقِّ فَقَالَ رَجُلٌ
لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلَانٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ
Tidak boleh iri kecuali dalam dua hal, yaitu
(1) seseorang yang Allah ajarkan al-Quran kepadanya. Kemudian ia membacanya
malam dan siang sehingga tetangganya mendengarkannya. Lalu tetangga tersebut
berkata, “Kalaulah aku diberikan karunia seperti si Fulan, maka aku akan beramal
seperti yang ia amalkan”; dan (2) seseorang yang Allah karuniai harta. Ia
menghabiskan hartanya dalam kebenaran. Lalu seseorang berkata, “Kalaulah aku
dikaruniai seperti apa yang dikaruniakan kepada si Fulan, maka aku akan beramal
seperti apa ia amalkan”. (H.R. Bukhari).
3. Penuh
Perjuangan dan Sabar
Dikutip dari bukunya Prof. KH. Ali Yafie
“Manusia dan Kehidupan” bahwa manusia pada hakekatnya dihadapkan kepada
pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab (tantangan). Seorang manusia harus
mampu menjawab berbagai pertanyaan menyangkut kehidupannya yang terkait dengan
berbagai tantangan dan persoalan. Seorang yang menuntut ilmu sudah barang tentu
akan menghadapi macam-macam gangguan dan rintangan. Selain berusaha maka
bersabarlah untuk menghadapi semuanya itu, dan perlu diketahui bahwa sabar
adalah sebagian dari Iman, “As-Shobru mina al-îmân”. Dan Sabar disini
mengandung arti tabah, tahan menghadapi cobaan atau menerima pada perkara yang
tidak disenangi atau tidak mengenakan dengan ridha dan menyerahkan diri kepada
Allah Swt. Sabda nabi Saw:
الصبر
ضياء (رواه مسلم)
“Bersabar adalah cahaya yang gilang-gemilang”.
(HR. Muslim)
Sabar artinya tabah, tahan menghadapi cobaan.
Orang yang sabar tahan menerima hal-hal yang tidak disenangi atau tidak
mengenakkan dengan ridha dan menyerahkan diri kepada Allah.
Sabar adalah salah satu akhlak terpuji. Sabar
juga merupakan salah satu kunci untuk meraih kebahagiaan dan ketenangan hidup.
Hidup di dunia ini penuh dengan tantangan dan cobaan. Manusia dalam menjalani
kehidupannya di dunia ini tidak luput dari ujian dan cobaan, ketika mengalami
ujian dan cobaan kita harus menhadapinya dengan sabar. Sifat sabar bagaikan
cahaya yang terang benderang dalam suasana yang gelap gulita.
Akan tetapi kesabaran disini harus diartikan
dalam pengertian yang aktif bukan dalam pengertian yang pasif. Artinya nrimo
(menerima) apa adanya tanpa usaha untuk memperbaiki keadaan. Sesuai ajaran
agama pengertian sabar dan kata-kata sabar itu misalnya dapat ditemukan di
dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran. Yakni satu surat yang terdiri dari 200 ayat
yang menjelaskan tentang keseluruhan perjuangan besar dan berat yang telah
dilakukan rasulullah Saw sepanjang hidupnya dan itu semua direkam dalam Surat
Ali Imran. Ada dua perjuangan berat dan sangat menentukan yaitu pertempuran
badar dan uhud. Di dalamnya terdapat banyak kata-kata sabar, tetapi kata-kata
sabar itu selalu diletakan dalam konteks perjuangan bukan dalam konteks
seseorang ditimpa musibah. Dengan demikian dapat diperoleh gambaran dan
kesimpulan pengertian bahwa sabar yang aktif itu artinya suatu mentalitas
ketahanan belajar, memiliki mental yang kuat untuk tekun belajar dan berusaha
keras seoptimal mungkin dengan penuh daya tahan, tidak jemu, tidak
bermalas-malasan, tetapi belajar dengan penuh semangat. Selain itu, dalam
belajar harus berkonsentrasi karena jika belajar pikirannya bercabang maka
tidak bisa optimal. Salah satu bagian dari sabar adalah Hudurul Qalb atau
berkonsentrasi.
4. Bekal
(biaya)
Setiap perjuangan pasti ada pengorbanan, itulah
logikanya, manusia menjalani hidup ini butuh pengorbanan begitupun menuntut
ilmu. Biasanya, dalam hal biaya ini menjadi dalih masyarakat yang sangat utama
dalam menuntut ilmu khususnya pada pendidikan formal. Sehingga ketika ditanya
salah seorang yang tidak belajar di pendidikan formal misalnya, “kenapa kamu
atau dia tidak sekolah?” jawabannya sungguh gampang sekali, “saya atau dia
tidak sekolah karena tidak punya biaya.
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pendidikan
wajib hukumnya bagi setiap muslim, dan dijelaskan lagi dalam hadis
اطلب
العلم من المهد الي اللحد
“Tuntutlah ilmu mulai dari rahim ibu sampai
liang lahat”. Dari hadis tersebut kita bisa mengetahui long life education
bahwa, seumur hidup kita wajib menuntut ilmu. Pendidikan bukan hanya pendidikan
formal tetapi non formal pun ada.
Rasul menjanjikan kepada para penuntut ilmu,
ان الله
تكفل لطالب العلم برزقه
“Sesungguhnya Allah pasti mencukupkan rezekinya
bagi orang yang menuntut ilmu”
Dalam lafal hadis di atas tertulis lafazh
takaffala dengan menggunakan fi’il madhy yang aslinya mempunyai arti ‘telah
mencukupkan’ yang “seolah-olah” sudah terjadi. Maka lafazh tersebut mempunyai
makna pasti, asalkan dibarengi dengan keyakinan terhadap kekuasaan Allah. Dan
yakinkanlah bagi para penuntut ilmu walaupun dengan segala kekurangan (biaya)
pasti mampu atau bisa menyelesaikan pendidikan. Karena pasti akan ada jalan
lain selama manusia berusaha dan yakin terhadap kekuasaan dan pertolongan Allah
Al-Yaqinu Lâ Yuzâlu bis-Syak Artinya: ”keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh
keragu-raguan”. Dan akhirnya maka tidak ada alasan orang tidak bisa menuntut
ilmu karena biaya, seperti keterangan sebelumnya carilah jalan lain, solusi
lain untuk bisa menuntut ilmu.
5.
Bersahabat dengan Guru
Ilmu didapat dengan dua cara. Pertama dengan
bil kasbi. Yakni didapat dengan cara usaha keras sebagaimana layaknya pencari
ilmu biasa. Ia belajar menuntut ilmu dengan tekun belajar dari bimbingan yang
benar. Kedua dengan bil kasyfi. Yakni dengan cara mendekatkan diri kepada Allah
Swt secara total. Dengan kedekatannya kepada Allah Swt, Allah akan memberi apa
yang ia minta. Cara ini adalah cara untuk orang khusus. Sebagai penuntut ilmu
berusahalah semaksimal mungkin untuk dapat mengkorelasikan keduanya. Juga,
berusaha semaksimal mungkin untuk mendapat petunjuk guru karena tanpa petunjuk
guru dan tanpa taqarrub (ibadah mendekatkan diri) total kepada Allah bisa jadi
ilmu tersebut datangnya dari iblis la’natullah ‘alaih. Profesionalisme guru
artinya seorang guru harus mampu menguasai pelajaran sesuai dengan bidangnya.
Sebagai guru haruslah mempunyai sifat-sifat
yang mencerminkan kemuliaan ilmu dan tabi’at (akhlaq) yang baik. Kita
analogikan seorang petani profesional akan merawat tanamannya dari rumput
pengganggu, ia akan membasmi hama dan penyakitnya. Demikian pula seorang
pendidik haruslah membersihkan dirinya dari segala kebiasaan buruk dalam
masyarakat. Ia akan tanggap dan waspada dengan para penyeru maksiat. Hendaklah
ia membenahi dirinya sebelum ia menebarkan benih-benihnya. Ia harus menanamnya
dalam lahan yang subur. Hendaklah ia menyibukkan diri dengan amal kebaikan,
kesibukan-kesibukan akhirat yang akan menjadi tameng dari syahwat dan syubhat.
Kemudian sebaik-baik pendidik adalah yang konsisten dengan Al-Qur’an dan
Al-Sunnah yang tercermin lewat akhlak dan amalan-amalannya yang shalih. Cerdas
dalam mendeteksi penyakit hati serta berpengalaman dalam mengobatinya, remaja
yang tumbuh dari pendidikan—tarbiyah—yang baik maka akan menjadi buah yang
segar nan ranum. Ia bermanfaat bagi diri dan masyarakat sekitar.
Beberapa ciri-ciri tabi’at guru (pendidik) yang
harus ditanamkan adalah sebagai berikut:
Mencintai pekerjaannya sebagai guru
Adil terhadap semua murid
Sabar dan tenang
Berwibawa (dilihat dari ilmu dan taqwanya)
serta kemampuan memengaruhi orang lain
Selalu ikhlas mendoakan muridnya
Berusaha ikhlas mengajarkan ilmunya.
Akibat dari sikap cuek terhadap guru,
diungkapkan dalam sebuah pepatah arab:
إن
المعـلمَ والطبيبَ كلاهُما لا يَنْصَحَانِ إذا همـا لم يُكْرَمَـا
فاصبر لدائك إن أهنتَ طَبِيبَهُ واصبر لجهلك إن جَفَوْتَ مُعلّما
فاصبر لدائك إن أهنتَ طَبِيبَهُ واصبر لجهلك إن جَفَوْتَ مُعلّما
Sesungguhnya pengajar/guru dan thabib/dokter
keduanya tidak akan memberi nasehat jika keduanya belum dihormati. Maka
bersabarlah dengan rasa sakitmu jika engkau menjauhi dokter, dan nikmatilah
kebodohanmu jika engkau menjauhi guru.
Sementara dalam menghormati guru, Imam Ali bin
Abi Thalib berkata:
من علمني
حرفا صرت له عبداً
Barang siapa mengajarkan kepadaku satu huruf,
maka aku menjadi hamba baginya.
6. Waktu
yang lama
Maksudnya selesaikanlah pendidikan itu samapai
tuntas, jangan sampai berhenti di tengah jalan
Imam Syafi’I pernah berkata:
ومـــن
لــم يذق مـــر التعلم ســـاعة = تجرع ذل الجهـل طـــول حياتــه
ومــــن فاتــه التعليم وقـــــت شبابه = فكبــــر عليه أربعـــــا لـــــوفاته
وذات الفتى – والله – بالعلم والتقى = إذا لـــم يكونا لا اعتبـار لــذاته
ومــــن فاتــه التعليم وقـــــت شبابه = فكبــــر عليه أربعـــــا لـــــوفاته
وذات الفتى – والله – بالعلم والتقى = إذا لـــم يكونا لا اعتبـار لــذاته
Imam Syafi’i Rahimahullah dalam syairnya
berkata :
“Barang siapa tidak pernah merasakan pahitnya belajar meski sekejap. Dia akan menelan hinanya kebodohan sepanjang hayatnya
Barang siapa yang ketinggalan belajar waktu mudanya. Maka bertakbirlah 4 kali (shalat mayit) untuk wafatnya (kematiannya)
“Barang siapa tidak pernah merasakan pahitnya belajar meski sekejap. Dia akan menelan hinanya kebodohan sepanjang hayatnya
Barang siapa yang ketinggalan belajar waktu mudanya. Maka bertakbirlah 4 kali (shalat mayit) untuk wafatnya (kematiannya)
Jati diri seorang pemuda Demi Allah adalah
dengan ilmu dan taqwa. Jika keduanya tiada, dia juga dianggap telah tiada
(Diwanus Syafi’i, hal 29)
Imam Syafi’I juga pernah curhat kepada gurunya
Imam Waki’ tentang susahnya mendapatkan ilmu:
شكوت الى
وكيع سوء حفظي
فأرشدني إلى ترك ترك المعاصي
فأرشدني إلى ترك ترك المعاصي
وأخبرني
بأن العلم نور
ونور الله لا يهدى لعاصي
ونور الله لا يهدى لعاصي
Aku mengadu kepada Imam Waki’i tentang susahnya
menghafal atau mendapatkan ilmu. Maka Imam Waki’i memberiku petunjuk untuk
meninggalkan maksiat dan mengabarkan kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya dan
cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat.
Dalam sebuah hadis Rasulullah menekankan
peranan ilmu sebagai kunci dalam meraih kesuksesan di dunia dan akhirat:
«من أراد الدنيا فعليه
بالعلم ومن أراد الآخرة فعليه بالعلم ومن أرادهما معا فعليه بالعلم أيضا»
“Barang siapa yang menginginkan kehidupan dunia,
hendaklah dengan ilmu. Siapa yang ingin kehidupan akhirat dengan ilmu. Dan
siapa yang menginginkan keduanya (dunia & akhirat) juga dengan ilmu” [HR
Bukhari & Muslim]
Namun satu hal yang perlu diingat, walau pun
kita meraih kesuksesan, hendaknya kita tetap rendah hati atau tawadhu,
sebagaimana diungkapkan dalam sebuah pepatah:
تواضع
تكن كالنجم لاح لناظر
على صفحات الماء وهو رفيع
ولاتك كالدخان يعلو بنفسه
الى طبقات الجو وهو وضيع
على صفحات الماء وهو رفيع
ولاتك كالدخان يعلو بنفسه
الى طبقات الجو وهو وضيع
Bertawadhulah seperti bintang yang jelas nampak
terlihat di atas permukaan air padahal ia berada di tempat yang tinggi, dan
janganlah engkau seperti asap, yang terus membumbung tinggi, padahal ketika
sampai di udara ia menghilang.
Wallahu a’lam bisshowab!
0 komentar:
Posting Komentar