SARJANA INGSUN RIFAI

Acara Prosesi Wisuda S-1 Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Pasuruan

Sang Pejuang Keluarga

Pejuang keluarga yang penuh ketangguhan dan keihlasan demi menyongsong masa depan yang cerah

MENATAP MASA DEPAN YANG CERAH

Tampil biasa dan apa adanya walaupun kadang terlihat rendah dari pada yang lainnya

KEGIATAN PROSES PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

Penerapan Metode Diskusi Dalam Kegiatan Pembelajaran Bahasa Indonesia Yang Dilakukan Setiap Pertemuan

Eling marang Gusti Pangeran tur ra nglaleke dumateng Kanjeng Guru

Biasa dengan membiasakan diri seperti biasa agar tidak terlihat luar biasa walaupun terkadang hanya impian belaka

Kamis, 18 Januari 2018

Humor Abu Nawas: Asmara Sang Pangeran

Humor Abu Nawas:
Asmara Sang Pangeran


Memang Aneh Secara tak terduga Pangeran yang menjadi putra marikota jatuh sakit. Sudah banyak tabib yang didatangkan untuk memeriksa dan mengobati tapi tak seorang pun mampu menyembuhkannya. Akhirnya Raja mengadakan sayembara. Sayembara boleh diikuti oleh rakyat dari semua lapisan. Tidak terkecuali oleh para penduduk negeri tetangga. Sayembara yang menyediakan hadiah menggiurkan itu dalam waktu beberapa hari berhasil menyerap ratusan peserta. Namun tak satu pun dari mereka berha­sil mengobati penyakit sang pangeran. Akhirnya sebagai sahabat dekat Abu Nawas, menawarkan jasa baik untuk menolong sang putra mahkota. Baginda Harun Al Rasyid menerima usul itu dengan penuh harap.
Abu Nawas sadar bahwa dirinya bukan tabib. Dari itu ia tidak membawa peralatan apa-apa. Para tabib yang ada di istana tercengang melihat Abu Nawas yang datang tanpa peralatan yang mungkin diperlukan. Mereka berpikir mungkinkah orang macam Abu Nawas ini bisa mengobati penyakit sang pangeran? Sedangkan para tabib terkenal dengan peralatan yang lengkap saja tidak sanggup. Bahkan penyakitnya tidak terlacak. Abu Nawas merasa bahwa seluruh perhatian tertuju padanya. Namun Abu Nawas tidak begitu memperdulikannya. Abu Nawas dipersilahkan memasuki kamar pange­ran yang sedang terbaring. la menghampiri sang pange­ran dan duduk di sisinya. Setelah Abu Nawas dan sang pangeran saling pandang beberapa saat, Abu Nawas berkata, “Saya membutuhkan seorang tua yang di masa mudanya sering mengembara ke pelosok negeri.” Orang tua yang diinginkan Abu Nawas didatangkan. “Sebutkan satu persatu nama-nama desa di daerah se­latan.” perintah Abu Nawas kepada orang tua itu.
Ketika orang tua itu menyebutkan nama-nama de­sa bagian selatan, Abu Nawas menempelkan telinganya ke dada sang pangeran. Kemudian Abu Nawas memerintahkan agar menyebutkan bagian utara, barat dan timur. Setelah semua bagian negeri disebutkan, Abu Nawas mohon agar diizinkan mengunjungi sebuah desa di sebelah utara. Raja merasa heran. “Engkau kuundang ke sini bukan untuk bertamasya.” “Hamba tidak bermaksud berlibur Yang Mulia.” kata Abu Nawas. “Tetapi aku belum paham.” kata Raja. “Maafkan hamba, Paduka Yang Mulia. Kurang bijaksana rasanya bila hamba jelaskan sekarang.” kata Abu Nawas. Abu Nawas pergi selama dua hari. Sekembali dari desa itu Abu Nawas menemui sang pangeran dan membisikkan sesuatu kemudian menem­pelkan telinganya ke dada sang pangeran. Lalu Abu Nawas menghadap Raja. “Apakah Yang Mulia masih menginginkan sang pangeran tetap hidup?” tanya Abu Nawas. “Apa maksudmu?” Raja balas bertanya. “Sang pangeran sedang jatuh cinta pada seorang gadis desa di sebelah utara negeri ini.” kata Abu Nawas menjelaskan. “Bagaimana kau tahu?” “Ketika nama-nama desa di seluruh negeri disebut­kan tiba-tiba degup jantungnya bertambah keras ketika mendengarkan nama sebuah desa di bagian utara ne­geri ini. Dan sang pangeran tidak berani mengutarakannya kepada Baginda.” “Lalu apa yang harus aku lakukan?” tanya Raja.

“Mengawinkan pangeran dengan gadis desa itu.” “Kalau tidak?” tawar Raja ragu-ragu. “Cinta itu buta. Bila kita tidak berusaha mengobati kebutaannya, maka ia akan mati.” Rupanya saran Abu Nawas tidak bisa ditolak. Sang pangeran adalah putra satu-satunya yang merupakan pewaris tunggal kerajaan. Abu Nawas benar. Begitu mendengar persetujuan sang Raja, sang pangeran berangsur-angsur pulih. Sebagai tanda terima kasih Raja memberi Abu Nawas se­buah cincin permata yang amat indah.    

Humor Abu Nawas: Pintu Akhirat

Humor Abu Nawas:
Pintu Akhirat


Tidak seperti biasa, hari itu Baginda tiba-tiba ingin menyamar menjadi rakyat biasa. Beliau ingin menyaksikan kehidupan di luar istana tanpa sepengetahuan siapa pun agar lebih leluasa bergerak. Baginda mulai keluar istana dengan pakaian yang amat sederhana layaknya seperti rakyat jelata. Di sebuah perkampungan beliau melihat beberapa orang berkumpul. Setelah Baginda mendekat, ternyata seorang ulama sedang menyampaikan kuliah tentang alam barzah. Tiba-tiba ada seorang yang datang dan bergabung di situ, la bertanya kepada ulama itu.
“Kami menyaksikan orang kafir pada suatu waktu dan mengintip kuburnya, tetapi kami tiada mendengar mereka berteriak dan tidak pula melihat penyiksaan-penyiksaan yang katanya sedang dialaminya. Maka bagaimana cara membenarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan yang dilihat mata?” Ulama itu berpikir sejenak kemudian ia berkata,“Untuk mengetahui yang demikian itu harus dengan panca indra yang lain. Ingatkah kamu dengan orang yang sedang tidur? Dia kadangkala bermimpi dalam tidurnya digigit ular, diganggu dan sebagainya. la juga merasa sakit dan takut ketika itu bahkan memekik dan keringat bercucuran pada keningnya. la merasakan hal semacam itu seperti ketika tidak tidur. Sedangkan engkau yang duduk di dekatnya menyaksikan keadaannya seolah-olah tidak ada apa-apa. Padahal apa yang dilihat serta dialaminya adalah dikelilirigi ular-ular. Maka jika masalah mimpi yang remeh saja sudah tidak mampu mata lahir melihatnya, mungkinkah engkau bisa melihat apa yang terjadi di alam barzah?”
Baginda Raja terkesan dengan penjelasan ulama itu. Baginda masih ikut mendengarkan kuliah itu. Kini ulama itu melanjutkan kuliahnya tentang alam akhirat. Dikatakan bahwa di surga tersedia hal-hal yang amat disukai nafsu, termasuk benda-benda. Salah satu benda-benda itu adalah mahkota yang amat luar biasa indahnya. Tak ada yang lebih indah dari barang-barang di surga karena barang-barang itu tercipta dari cahaya. Saking ihdahnya maka satu mahkota jauh lebih bagus dari dunia dan isinya. Baginda makin terkesan. Beliau pulang kembali ke istana.Baginda sudah tidak sabar ingin menguji kemampuan Abu Nawas. Abu Nawas dipanggil: Setelah menghadap Bagiri“Aku menginginkan engkau sekarang juga berangkat ke surga kemudian bawakan aku sebuah mahkota surga yang katanya tercipta dari cahaya itu. Apakah engkau sanggup Abu Nawas?”“Sanggup Paduka yang mulia.” kata Abu Nawas langsung menyanggupi tugas yang mustahil dilaksanakan itu. “Tetapi Baginda harus menyanggupi pula satu sarat yang akan hamba ajukan.”
“Sebutkan syarat itu.” kata Baginda Raja.“Hamba morion Baginda menyediakan pintunya agar hamba bisa memasukinya.” “Pintu apa?” tanya Baginda belum mengerti. Pintu alam akhirat.” jawab Abu Nawas.“Apa itu?” tanya Baginda ingin tahu.“Kiamat, wahai Paduka yang mulia. Masing-masing alam mempunyai pintu. Pintu alam dunia adalah liang peranakan ibu. Pintu alam barzah adalah kematian. Dan pintu alam akhirat adalah kiamat. Surga berada di alam akhirat. Bila Baginda masih tetap menghendaki hamba mengambilkan sebuah mahkota di surga, maka dunia harus kiamat teriebih dahulu.”Mendengar penjetasan Abu Nawas Baginda Raja terdiam.

Di sela-sela kebingungan Baginda Raja Harun Al Rasyid, Abu Nawas bertanya lagi, “Masihkah Baginda menginginkan mahkota dari surga?” Baginda Raja tidak menjawab. Beliau diam seribu bahasa, Sejenak kemudian Abu Nawas mohon diri karena Abu Nawas sudah tahu jawabnya.    

Rabu, 17 Januari 2018

Renungkan!!! Prestasi Indonesia

Renungkan!!!
Prestasi Indonesia

“negeri kita kaya, indah, dan asri”
kalimat itu sejak lahir hingga saat ini tetap kudengar, menggelegar
senang aku berada di Negara persatuan ini
bertahun-tahun aku berdiri
nyatanya, kalimat itu dilontarkan oleh orang-orang lugu
tidak sadar atau pura-pura tidak sadar
kita budak dari wakil rakyat kita sendiri
kita penghasil uang mereka,
dan lalu mereka memperbudak dirinya pada orang kulit putih
pemuda Indonesia belombaxx mendapat medali emas di luar pagar mereka
sedang emas miliknya dikuras si kulit putih
Indonesia kaya akan prestasi
prestasi memalukan
aku malu jadi orang Indonesia


Puisi: Terima Kasih

Terima-Kasih,-Ucapan-Sederhana-Tapi-Sering-Terlupakan.jpgPuisi:
Terima Kasih

Saban hari kau lafalkan kata-kata suci
Sedang aku kau suruh mengikuti
Dari alif hingga ya’
Dari al-fatihah hingga al-ikhlas
Dari lidahku kaku hingga murattal pun aku mampu
Saban hari kau ajari aku ajaran mulia
Ajaran Ilahi dan Rasul-Nya
Aku ingat betul, kau bawa kitab ditanganmu
Sambil mengenakan bangkiak khas dikakimu
Menuju surau untuk bertransaksi ilmu
Dengan beralas keramik yang dingin
Aku buka lembar-lembar berwarna kuning
Dari kitab kuning itulah sari-sarinya kau kemas,
Lalu dituang-suapkan dari lisanmu yang lembut ke telinga-telinga yang awam ini
Berjam-jam kau jelaskan,
Kau kirim-salurkan pada kepala-kepala yang di dalamnya ada benih kehidupan

Ya Sayyidy…
Engkau bapakku, bapak ukhrawi
Kau bagai kawah baruku, terasa terlahir kembali
Vertical horizon ku pahami
Karnamu aku mengerti halal-haram
Karnamu aku apatis pada hedonis
Ya Sayyidy…
Kau pahat hatiku
Kau bentuk jiwaku
Yang sebelumnya seperti kucing-kucing liar di jalanan semu
Meski aku memberontak dan menolak
Semangatmu tetap berkobar menyala-nyala
Meski aku liar dan sering melanggar
Sabarmu tak habis, tak gersang dan beku
Kau terus bakar tekadmu
Menatap dan menjemput mimpi-mimpimu untukku
Ya Sayyidy…

Bagaimana aku harus berterima kasih padamu….

Jumat, 12 Januari 2018

Kisah Humor Abu Nawas: Botol Ajaib

Kisah Humor Abu Nawas:
Botol Ajaib

Tidak ada henti-hentinya. Tidak ada kapok-kapoknya, Baginda selalu memanggil Abu Nawas untuk dijebak dengan berbagai pertanyaan atau tugas yang aneh-aneh. Hari ini Abu Nawas juga dipanggil ke istana.Setelah tiba di istana, Baginda Raja menyambut Abu Nawas dengan sebuah senyuman. “Akhir-akhir ini aku sering mendapat gangguan perut. Kata tabib pribadiku, aku kena serangan angin.” kata Baginda Raja memulai pembicaraan.“Ampun Tuanku, apa yang bisa hamba lakukan hingga hamba dipanggil.” tanya Abu Nawas.“Aku hanya menginginkan engkau menangkap angin dan memenjarakannya.” kata Baginda.

Abu Nawas hanya diam. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. la tidak memikirkan bagaimana cara menangkap angin nanti tetapi ia masih bingung bagai­mana cara membuktikan bahwa yang ditangkap itu memang benar-benar angin. Karena angin tidak bisa dilihat. Tidak ada benda yang lebih aneh dari angin. Tidak seperti halnya air walaupun tidak berwarna tetapi masih bisa dilihat. Sedangkan angin tidak. Baginda hanya memberi Abu Nawas waktu tidak le­bih dari tiga hari. Abu Nawas pulang membawa pekerjaan rumah dari Baginda Raja. Namun Abu Nawas tidak begitu sedih. Karena berpikir sudah merupakan bagian dari hidupnya, bahkan merupakan suatu kebutuhan.

la yakin bahwa dengan berpikir akan terbentang jalan keluar dari kesulitan yang sedang dihadapi. Dan dengan berpikir pula ia yakin bisa menyumbangkan sesuatu kepada orang lain yang membutuhkan terutama orang-orang miskin. Karena tidak jarang Abu Nawas menggondol sepundi penuh uang emas hadiah dari Baginda Raja atas kecerdikannya.

Tetapi sudah dua hari ini Abu Nawas belum juga mendapat akal untuk menangkap angin apalagi memenjarakannya. Sedangkan besok adalah hari terakhir yang telah ditetapkan Baginda Raja. Abu Nawas hampir putus asa. Abu Nawas benar-benar tidak bisa tidur walau hanya sekejap. Mungkin sudah takdir; kayaknya kali ini Abu Nawas harus menjalani hukuman karena gagal melaksanakan perintah Baginda. la berjalan gontai menuju istana. Di sela-sela kepasrahannya kepada takdir ia ingat sesuatu, yaitu Aladin dan lampu wasiatnya.“Bukankah jin itu tidak terlihat?” Abu Nawas bertanya kepada diri sendiri. la berjingkrak girang dan segera berlari pulang. Sesampai di rumah ia secepat mungkin menyiapkan segala sesuatunya kemudian menuju ista­na. Di pintu gerbang istana Abu Nawas langsung dipersilahkan masuk oleh para pengawal karena Baginda se­dang menunggu kehadirannya.

Dengan tidak sabar Baginda langsung bertanya kepada Abu Nawas. “Sudahkah engkau berhasil memenjarakan angin, hai Abu Nawas?” “Sudah Paduka yang mulia.” jawab Abu Nawas dengan muka berseri-seri sambil mengeluarkan botol yang sudah disumbat. Kemudian Abu Nawas menyerahkan botol itu. Baginda menimang-nimang botol itu.

“Mana angin itu, hai Abu Nawas?” tanya Baginda. “Di dalam, Tuanku yang mulia.” jawab Abu Nawas penuh takzim.“Aku tak melihat apa-apa.” kata Baginda Raja.“Ampun Tuanku, memang angin tak bisa dilihat, te­tapi bila Paduka ingin tahu angin, tutup botol itu harus dibuka terlebih dahulu.” kata Abu Nawas menjelaskan. Setelah tutup botol dibuka Baginda mencium bau busuk. Bau kentut yang begitu menyengat hidung.


“Bau apa ini, hai Abu Nawas?!” tanya Baginda marah. “Ampun Tuanku yang mulia, tadi hamba buang angin dan hamba masukkan ke dalam botol. Karena hamba takut angin yang hamba buang itu keluar maka hamba memenjarakannya dengan cara menyumbat mulut botol.” kata Abu Nawas ketakutan.Tetapi Baginda tidak jadi marah karena penjelasan Abu Nawas memang masuk akal. Dan untuk kesekian kali Abu Nawas selamat.      

Kisah Humor Abu Nawas: Menipu Maling

Kisah Humor Abu Nawas: 
Menipu Maling

Tanpa pikir panjang Abu Nawas memutuskan untuk menjual keledai kesayangannya. Keledai itu merupakan kendaraan Abu Nawas satu-satunya. Sebenarnya ia tidak tega untuk menjualnya. Tetapi keluarga Abu Nawas amat membutuhkan uang. Dan istrinya setuju.
Keesokan harinya Abu Nawas membawa keledai ke pasar. Abu Nawas tidak tahu kalau ada sekelompok pen­curi yang terdiri dari empat orang telah mengetahui keadaan dan rencana Abu Nawas.Mereka sepakat akan memperdaya Abu Nawas. Rencana pun mulai mereka susun. Ketika Abu Nawas beristirahat di bawah pohon, salah seorang mendekat dan
 berkata, “Apakah engkau akan menjual kambingmu?” Tentu saja
 Abu Nawas terperanjat mendengar pertanyaan yang begitu tiba-tiba. “Ini bukan kambing.” kata Abu Nawas.
 “Kalau bukan kambing, lalu apa?” tanya pencuri itu selanjutnya.
 “Keledai.”kata Abu Nawas.
“Kalau engkau yakin itu keledai, jual saja ke pasar dan dan tanyakan pada mereka
.” kata komplotan pen­curi itu sambil berlalu.
 Abu Nawas tidak terpengaruh. Kemudian ia meneruskan perjalanannya.
Ketika Abu Nawas sedang menunggang keledai, pencuri kedua menghampirinya dan berkata.”Mengapa kau menunggang kambing.”
Kata Abu Nawas “Ini bukan kambing tapi keledai.”
Kata Si Maling  “Kalau itu keledai aku tidak bertanya seperti itu, dasar orang aneh. Kambing kok dikatakan keledai.”
 “Kalau ini kambing’ aku tidak akan menungganginya.” jawab Abu Nawas tanpa ragu.
 “Kalau engkau tidak percaya, pergilah ke pasar dan tanyakan pada orang-orang di sana.” kata pencuri kedua sambil berlalu.
 Abu Nawas belum terpengaruh dan ia tetap berjalan menuju pasar. Pencuri ketiga datang menghampiri Abu Nawas,
”Hai Abu Nawas akan kau bawa ke mana kambing itu?”
 Kali ini Abu Nawas tidak segera menjawab.
la mulai ragu, sudah tiga orang mengatakan kalau hewan yang dibawanya adalah kambing.
 Pencuri ketiga tidak menyia-nyiakan kesempatan.
 la makin merecoki otak Abu Nawas,
“Sudahlah, biarpun kau bersikeras hewan itu adalah keledai nyatanya itu adalah kambing, kambing . kambiiiiiing !
” Abu Nawas berhenti sejenak untuk beristirahat di bawah pohon. Pencuri keempat melaksanakan strategi busuknya. la duduk di samping Abu Nawas dan mengajak tokoh cerdik ini untuk berbincang-bincang.
 “Ahaa, bagus sekali kambingmu ini…!” pencuri keempat membuka percakapan. “Kau juga yakin ini kambing?” tanya Abu Nawas.
 “Lho? ya jelas sekali kalau hewan ini adalah kam­bing.
 Kalau boleh aku ingin membelinya.”
“Berapa kau mau membayarnya?”
 “Tiga dirham!” Abu Nawas setuju.
 Setelah menerima uang dari pencuri keempat kemudian Abu Nawas langsung pulang. Setiba di rumah Abu Nawas dimarahi istrinya.
 “Jadi keledai itu hanya engkau jual tiga dirham lantaran mereka mengatakan bahwa keledai itu kambing?
” Abu Nawas tidak bisa menjawab. la hanya mendengarkan ocehan istrinya dengan setia sambil menahan rasa dongkol.
Kini ia baru menyadari kalau sudah diperdayai oleh komplotan pencuri yang menggoyahkan akal sehatnya. Abu Nawas merencanakan sesuatu. la pergi ke hutan mencari sebatang kayu untuk dijadikan sebuah tong­kat yang nantinya bisa menghasilkan uang.. Rencana Abu Nawas ternyata berjalan lancar.
Hampir semua orang membicarakan keajaiban tongkat Abu Nawas. Berita ini juga terdengar oleh para pencuri yang telah menipu Abu Nawas. Mereka langsung tertarik. Bahkan mereka melihat sendiri ketika Abu Nawas membeli barang atau makan tanpa membayar tetapi hanya dengan mengacungkan tongkatnya.
 Mereka berpikir kalau tongkat itu bisa dibeli maka tentu mereka akan kaya karena hanya dengan mengacungkan tongkat itu mereka akan mendapatkan apa yang mereka inginkan.
 Akhirnya mereka mendekati Abu Nawas dan berkata, “Apakah tongkatmu akan dijual?”
 “Tidak.” jawab Abu Nawas dengan cuek.
 “Tetapi kami bersedia membeli dengan harga yang amat tinggi.
” kata mereka
. “Berapa?” kata Abu Nawas pura-pura merasa tertarik.
 “Seratus dinar uang emas
.” kata mereka tanpa ragu-ragu.
 “Tetapi tongkat ini adalah tongkat wasiat satu-satunya yang aku miliki.” kata Abu Nawas sambil tetap berpura-pura tidak ingin menjual tongkatnya.
 “Dengan uang seratus dinar engkau sudah bisa hidup enak.” Kata mereka makin penasaran.
 Abu Nawas diam beberapa saat sepertinya merasa keberatan sekali.
 “Baiklah kalau begitu.” kata Abu Nawas kemudian sambil menyerahkan tongkatnya.
 Setelah menerima seratus dinar uang emas Abu Nawas segera melesat pulang. Para pencuri itu segera mencari warung terdekat untuk membuktikan keajaiban tongkat yang baru mereka beli. Seusai makan mereka mengacungkan tongkat itu kepada pemilik kedai.
Tentu saja pemilik kedai marah. “Apa maksudmu mengacungkan tongkat itu padaku?”
 “Bukankah Abu Nawas juga mengacungkan tongkat ini dan engkau membebaskannya?
” tanya para pencuri itu. “Benar.
Tetapi engkau harus tahu bahwa Abu Nawas menitipkan sejumlah uang kepadaku sebelum makan di sini!”
 “Gila! Temyata kita tidak mendapat keuntungan sama sekali menipu Abu Nawas. Kita malah rugi besar!
” umpat para pencuri dengan rasa dongkol.  

Kisah Sufi : Abu Nawas tidak mau Sujud dan Rukuk dalam Salat

Kisah Sufi :
Abu Nawas tidak mau Sujud dan Rukuk dalam Salat


Suatu hari Khalifah Harun Al-Rasyid marah besar pada kawan karibnya yang setia, yaitu Abu Nawas. Ia ingin menghukum mati Abu Nawas setelah menerima laporan bahwa Abu Nawas mengeluarkan fatwa tidak mau rukuk dan sujud dalam salat.

Terlebih lagi, Khalifah mendengar Abu Nawas mengatakan bahwa dirinya suka fitnah! Menurut pembantu-pembantunya, Abu Nawas layak dipancung karena melanggar syariat Islam dan menyebar fitnah.

Khalifah Harun Al-Rasyid mulai terpancing. Tapi untung ada seorang pembantunya yang memberi saran, hendaknya Khalifah melakukan tabayun atau melakukan konfirmasi. Abu Nawas pun diseret menghadap Khalifah.

"Hai Abu Nawas, benar kamu tidak mau rukuk dan sujud dalam salat?" tanya Khalifah.
Abu Nawas menjawab dengan tenang, "Benar, Saudaraku."

Khalifah kembali bertanya dengan nada suara tinggi, "Benar kamu berkata kepada masyarakat bahwa aku, Harun Al-Rasyid, adalah seorang khalifah yang suka fitnah?"

Abu Nawas menjawab, ”Benar, Saudaraku.”

Khalifah berteriak dengan suara menggelegar, "Kamu memang pantas dihukum mati, karena melanggar syariat Islam dan menebarkan fitnah tentang khalifah!"

Abu Nawas tersenyum seraya berkata, "Saudaraku, memang aku tidak menolak bahwa aku telah mengeluarkan dua pendapat tadi, tapi sepertinya kabar yang sampai padamu tidak lengkap. Kata-kataku dipelintir, dijagal, seolah-olah aku berkata salah."

Khalifah berkata dengan ketus, "Apa maksudmu? Jangan membela diri, kau telah mengaku dan mengatakan kabar itu benar adanya."

Abu Nawas beranjak dari duduknya dan menjelaskan dengan tenang, "Saudaraku, aku memang berkata rukuk dan sujud tidak perlu dalam shalat, tapi dalam salat apa? Waktu itu aku menjelaskan tata cara shalat jenazah yang memang tidak perlu rukuk dan sujud."

"Bagaimana soal aku yang suka fitnah?" tanya Khalifah.

Abu Nawas menjawab dengan senyum, "Kalau itu, aku sedang menjelaskan tafsir ayat 28 surat Al-Anfal, yang berbunyi ketahuilah bahwa kekayaan dan anak-anakmu hanyalah ujian bagimu. Sebagai seorang khalifah dan seorang ayah, anda sangat menyukai kekayaan dan anak-anak, berarti anda suka ’fitnah’ (ujian) itu."

Mendengar penjelasan Abu Nawas yang sekaligus kritikan, Khalifah Harun Al-Rasyid tertunduk malu, menyesal dan sadar. Rupanya, kedekatan Abu Nawas dengan Harun Al-Rasyid menyulut iri dan dengki di antara pembantu-pembantunya. Abu Nawas memanggil Khalifah dengan "ya akhi" (saudaraku). Hubungan di antara mereka bukan antara tuan dan hamba. Pembantu-pembantu khalifah yang hasud ingin memisahkan hubungan akrab tersebut dengan memutarbalikkan berita.

Humor Sufi 1001 Malam : Kisah Abu Nawas Menipu Tuhan

Humor Sufi 1001 Malam : 
Kisah Abu Nawas Menipu Tuhan

Kisah ini cukup terkenal dan merupakan awal atau cikal bakal munculnya syair fenomenal yang sudah saya tuliskan di atas. Berikut kisahnya:

Abu Nawas adalah seorang ulama yang mempunyai murid cukup banyak.
Diantara sekian banyak murid Abu nawas, ada satu orang yang hampir selalu menanyakan mengapa Abu Nawas mengatakan begini dan begitu. Suatu ketika ada tiga orang tamu bertanya kepada Abu Nawas dengan pertanyaan yang sama. Orang pertama mulai bertanya,

"Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?"
"Orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil." jawab Abu Nawas.

"Mengapa?" kata orang pertama.

"Sebab lebih mudah diampuni oleh Tuhan." kata Abu Nawas.

Orang pertama puas karena ia memang yakin begitu.

Orang kedua bertanya dengan pertanyaan yang sama. "Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?"

"Orang yang tidak mengerjakan keduanya." jawab Abu Nawas."Mengapa?" kata orang kedua.

"Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu tidak memerlukan pengampunan dari Tuhan." kata Abu Nawas. Orang kedua langsung bisa mencerna jawaban Abu Nawas.

Orang ketiga juga bertanya dengan pertanyaan yang sama. "Manakah yang Lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?"

"Orang yang mengerjakan dosa-dosa besar." jawab Abu Nawas.

"Mengapa?" kata orang ketiga.

"Sebab pengampunan Allah kepada hamba-Nya sebanding dengan besarnya dosa hamba itu." jawab Abu Nawas. Orang ketiga menerima alasan Abu Nawas. Kemudian ketiga orang itu pulang dengan perasaan puas.

Karena belum mengerti seorang murid Abu Nawas bertanya.

"Mengapa dengan pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang berbeda?"

"Manusia dibagi tiga tingkatan. Tingkatan mata, tingkatan otak dan tingkatan hati."

"Apakah tingkatan mata itu?" tanya murid Abu Nawas. "Anak kecil yang melihat bintang di langit. la mengatakan bintang itu kecil karena ia hanya menggunakan mata." jawab Abu Nawas mengandaikan.

"Apakah tingkatan otak itu?" tanya murid Abu Nawas. "Orang pandai yang melihat bintang di langit. la mengatakan bintang itu besar karena ia berpengetahuan." jawab Abu Nawas.

"Lalu apakah tingkatan hati itu?" tanya murid Abu Nawas.

"Orang pandai dan mengerti yang melihat bintang di langit. la tetap mengatakan bintang itu kecil walaupun ia tahu bintang itu besar. Karena bagi orang yang mengerti tidak ada sesuatu apapun yang besar jika dibandingkan dengan KeMaha-Besaran Allah."

Kini murid Abu Nawas mulai mengerti mengapa pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang berbeda. la bertanya lagi.
"Wahai guru, mungkinkah manusia bisa menipu Tuhan?"
"Mungkin." jawab Abu Nawas.
"Bagaimana caranya?" tanya murid Abu Nawas ingin tahu.
"Dengan merayu-Nya melalui pujian dan doa." kata Abu Nawas
"Ajarkanlah doa itu padaku wahai guru." pinta mu rid Abu Nawas

"Doa itu adalah : 
llahi lastu lil firdausi ahla, wala aqwa'alan naril jahiimi, fahabli taubatan waghfir dzunubi, fa innaka ghafiruz dzanbil 'adhimi.

Arti doa itu adalah : Wahai Tuhanku, aku ini tidak pantas menjadi penghuni surga, tetapi aku tidak akan kuat terhadap panasnya api neraka. Oleh sebab itu terimalah tobatku serta ampunilah dosa-dosaku. Karena sesungguhnya Engkaulah Dzat yang mengampuni dosa-dosa besar.

Wallahua'lam bishshowwab.

Syair Al 'Itiraf (Pengakuan) Abu Nawas

Syair Al 'Itiraf (Pengakuan) Abu Nawas


 Ya Tuhanku, tidak pantas bagiku menjadi penghuni surga-Mu
Namun, aku tidak kuat dengan panasnya api neraka
Terimalah taubatku dan ampunilah dosa-dosaku
Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dosa-dosa besar
Dosaku seperti jumlah pasir
Maka terimalah pengakuan taubatku Wahai Pemilik Keagungan
Dan umurku berkurang setiap hari
Sedang dosaku bertambah, bagaimana aku menanggungnya
Ya Tuhanku, hamba-Mu yang berdosa ini datang kepada-Mu
Mengakui dosa-dosaku dan memohon pada-Mu
Seandainya Engkau mengampuni
Memang Engkaulah Pemilik Ampunan
Dan seandainya Engkau menolak taubatku
Kepada siapa lagi aku memohon ampunan selain hanya kepada-MU

Itulah lantunan syair Abu Nawas yang merupakan sebuah pengakuan terhadap segenap dosa yang pernah diperbuatnya.
Dari syair Abu Nawas di atas, ada satu pelajaran berharga yang dapat kita petik, yaitu suatu pertaubatan memang harus terlahir dari hati yang terdalam; yang benar-benar mengakui bahwa ia adalah sang pendosa.

Dia sadar sepenuhnya bahwa banyaknya dosa yang dia lakukan, banyaknya keburukan yang ia sandang dan banyaknya kelalaian yang dilakukan telah menjadikannya tidak layak menjadi ahli surga. Akan tetapi dia yakin dan berharap akan Tuhan yang maha pengampun mengampuni segala dosanya dan bermurah hati memasukkannya ke dalam Sorga-Nya.



 Dalam bahasa lain; bukan banyaknya pahala dan amal perbuatan yang akan membuat kita masuk sorga, melainkan rahmat dan karunia Allah.

6 Syarat Menuntut Ilmu

6 SYARAT MENUNTUT ILMU

Sungguh agung dan mulia kedudukan seorang ahli ilmu di sisi Allah SWT, Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang dianugerahi ilmu beberapa derajat, sebagaimana Allah firmankan:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
Yang artinya: niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Almujadilah ayat 11
Dalam sebuah hadis, nabi pun menyanjung orang alim dengan membandingkannya dengan ahli ibadah sebagaimana beliau sabdakan:
فضل العالم علي العابد كفضل القمر ليلة بدر علي سا ئر الكواكب
Kelebihan seorang alim (ilmuwan) terhadap seorang ‘abid (ahli ibadah) ibarat bulan purnama terhadap seluruh bintang. (HR. Abu Dawud )
Menuntut ilmu hukumnya sangat wajib bagi setiap muslim yang berakal, baik miskin atau kaya, orang kampung atau pun orang kota, selama dia berakal sehat wajib hukumnya menuntut ilmu. Dikatakan dalam Hadis :
طلب العلم فريضة علي كل مسلم
“Menuntut ilmu itu sangat wajib bagi setiap muslim” (HR Ibnu Majah)
Dalam kajian hukum Islam, bahwa standar hidup yang ideal bagi manusia adalah Haddul Kifâyah, Lâ Haddul Kafaf (batas kecukupan, bukan batas pas-pasan)[1]. Dan kita tahu bahwa kewajiban dalam menuntut ilmu dimulai dari rahim ibu sampai liang lahat. Dengan demikian untuk memenuhi standar hidup yang ideal hendaknya tidak hanya pas-pasan. Dalam kitab “Ta’lim al-Muta’allim” yang ditulis oleh Imam Al-Zarnuji, beliau menulis bahwa syarat-syarat mencari ilmu menurut Imam Syafi’i dari Imam Ali bin Abi Thalib ada 6, yaitu:
أخي لن تنال العلم إلا بستةٍ
سأنييك عن تفاصيلها ببيـان
ذكاء وحرص واجتهاد ودرهم
وصحبة استاذٍ وطول زمان
1. Cerdas
Cerdas adalah salah satu syarat untuk menuntut ilmu. Kecerdasan adalah bagian dari pengaruh keturunan jalur psikis. Dari ayah dan bunda yang cerdas akan lahir anak-anak yang cerdas, kecuali adanya sebab-sebab yang memungkinkan menjadi penghalang transformasi sifat-sifat tersebut baik situasi fisis maupun psikis. Sehat jasmani dan lemah jasmani, makanan bayi dalam kandungan maupun situasi psikis ayah bunda seperti semangat dan himmah menuntut ilmu, melakukan kejahatan, emosi, maupun warna pikiran akan ikut memberikan pengaruh yang besar bagi keturunan. Itulah buktinya bahwa dari ayah dan bunda yang sama akan lahir anak-anak dengan kondisi fisik, watak, sifat dan kecerdasan yang berbeda.
Tentang kaitan keturunan dengan ilmu pengetahuan maka kita perlu mengingat bahwa yang diturunkan dari orangtua adalah tingkat kecerdasannya saja bukan kekayaan ilmu pengetahuan. Kekayaan ilmu pengetahuan tidak ada jalan lain kecuali belajar dengan baik. Sabda nabi SAW:
انما العلم با لتعلم
“Bahwasanya ilmu itu diperoleh dengan (melalui) belajar”. Al-Hadis
Dan yang menjadi masalah sekarang bagaimana anak yang cerdas (karena keturunan) tetapi tidak memiliki ketekunan dan kesungguhan dalam menuntut ilmu, jawabannya sudah pasti bahwa dia tidak akan menjadi orang pandai/‘Alim.
2. Rakus atau Tamak
Rakus adalah (punya kemauan dan semangat untuk berusaha mencari ilmu)
“Kejarlah cita-citamu setinggi langit”. Peribahasa ini memberikan arti bercita-citalah setinggi-tingginya dan raihlah cita-cita itu sampai dimana pun. Peribahasa tersebut memberikan motivasi kepada kita untuk pantang menyerah mengejar cita-cita (pendidikan) kita. Orang yang menuntut ilmu haruslah seperti peribahasa di atas: “selalu berusaha dan berusaha menuntut ilmu untuk mencapai cita-cita yang tinggi”. Bahkan menurut Imam as-Syafi’i, dalam menuntut ilmu janganlah langsung merasa puas terhadap apa yang telah didapat dan jangan hanya menuntut ilmu di satu daerah saja.
قال الامام الشافعي في مدح السفر
سافر تجد عوضا عمن تفارقه
وانصب فان لذيذ العيش في النصب
yang artinya:
Pergilah kau, kan kau dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.
Rasul berpesan dalam sebuah hadis:
اطلب العلم و لو بالصين
Walaupun keshasihan hadis ini dipertanyakan, setidaknya hadis ini memotivasi kita untuk pergi jauh dalam menuntut ilmu dan mengejar cita-cita.
Allah pun telah mengingatkan agar tidak semua mu’min pergi berperang, melainkan ada segolongan diantara mereka yang memperdalam ilmu agar bisa memberi peringatan kepada kaumnya
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. At-taubah ayat 122.
Tiga kategori manusia menurut hadis yang diriwatkan oleh Imam Dailami, Rasulullah bersabda:
من كان يومه خيرا من أمسه فهو رابح، ومن كان يومه مثل أمسه فهو مغبون ومن كان يومه شرا من أمسه فهو ملعون
ada tiga kategori manusia: Beruntung: jika hari ini lebih baik dari kemarin, Merugi: hari ini sama seperti kemarin, Celaka/Dilaknat: hari ini lebih buruk dari kemarin.
Jika iri adalah perbuatan yang dilarang, maka iri kepada orang berilmu dibolehkan Rasul, dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhori, Rasul bersabda:
لاَحَسَدَ اِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلْكَتِهِ فِى الْحَقِّ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ الْحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِيْ بِهَا وَيُعَلِّمُهَا {رواه البخاري}
Tidak ada iri hati (yang diperbolehkan) kecuali terhadap dua perkara, yakni :
seseorang yang diberi Allah berupa harta lalu dibelanjakanannya pada sasaran yang benar, dan
seseorang yang diberi Allah berupa ilmu dan kebijaksanaan lalu ia menunaikannya dan mengajarkannya. (HR Al Bukhori)
Di antara jenis penyakit hati adalah sombong, ujub, iri, dengki, tamak, dst. Jadi di antara bentuk penyakit hati adalah iri dan dengki. Dalam bahasa Arab atau bahasa agama ia disebut dengan hasad. Hasad adalah tidak senang melihat seseorang mendapatkan nikmat serta berharap agar nikmat tersebut lenyap. Dalam hal ini hasad berbeda dengan ghibthah. Sebab, ghibthah adalah berharap mendapatkan nikmat seperti yang didapat oleh orang tanpa menginginkan harta itu lenyap dari orang tadi. Inilah iri yang baik yang disebutkan oleh Nabi saw,
لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ عَلَّمَهُ اللَّهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَتْلُوهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ فَسَمِعَهُ جَارٌ لَهُ فَقَالَ لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلَانٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَهُوَ يُهْلِكُهُ فِي الْحَقِّ فَقَالَ رَجُلٌ لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلَانٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ
Tidak boleh iri kecuali dalam dua hal, yaitu (1) seseorang yang Allah ajarkan al-Quran kepadanya. Kemudian ia membacanya malam dan siang sehingga tetangganya mendengarkannya. Lalu tetangga tersebut berkata, “Kalaulah aku diberikan karunia seperti si Fulan, maka aku akan beramal seperti yang ia amalkan”; dan (2) seseorang yang Allah karuniai harta. Ia menghabiskan hartanya dalam kebenaran. Lalu seseorang berkata, “Kalaulah aku dikaruniai seperti apa yang dikaruniakan kepada si Fulan, maka aku akan beramal seperti apa ia amalkan”. (H.R. Bukhari).
3. Penuh Perjuangan dan Sabar
Dikutip dari bukunya Prof. KH. Ali Yafie “Manusia dan Kehidupan” bahwa manusia pada hakekatnya dihadapkan kepada pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab (tantangan). Seorang manusia harus mampu menjawab berbagai pertanyaan menyangkut kehidupannya yang terkait dengan berbagai tantangan dan persoalan. Seorang yang menuntut ilmu sudah barang tentu akan menghadapi macam-macam gangguan dan rintangan. Selain berusaha maka bersabarlah untuk menghadapi semuanya itu, dan perlu diketahui bahwa sabar adalah sebagian dari Iman, “As-Shobru mina al-îmân”. Dan Sabar disini mengandung arti tabah, tahan menghadapi cobaan atau menerima pada perkara yang tidak disenangi atau tidak mengenakan dengan ridha dan menyerahkan diri kepada Allah Swt. Sabda nabi Saw:
الصبر ضياء (رواه مسلم)
“Bersabar adalah cahaya yang gilang-gemilang”. (HR. Muslim)
Sabar artinya tabah, tahan menghadapi cobaan. Orang yang sabar tahan menerima hal-hal yang tidak disenangi atau tidak mengenakkan dengan ridha dan menyerahkan diri kepada Allah.
Sabar adalah salah satu akhlak terpuji. Sabar juga merupakan salah satu kunci untuk meraih kebahagiaan dan ketenangan hidup. Hidup di dunia ini penuh dengan tantangan dan cobaan. Manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia ini tidak luput dari ujian dan cobaan, ketika mengalami ujian dan cobaan kita harus menhadapinya dengan sabar. Sifat sabar bagaikan cahaya yang terang benderang dalam suasana yang gelap gulita.
Akan tetapi kesabaran disini harus diartikan dalam pengertian yang aktif bukan dalam pengertian yang pasif. Artinya nrimo (menerima) apa adanya tanpa usaha untuk memperbaiki keadaan. Sesuai ajaran agama pengertian sabar dan kata-kata sabar itu misalnya dapat ditemukan di dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran. Yakni satu surat yang terdiri dari 200 ayat yang menjelaskan tentang keseluruhan perjuangan besar dan berat yang telah dilakukan rasulullah Saw sepanjang hidupnya dan itu semua direkam dalam Surat Ali Imran. Ada dua perjuangan berat dan sangat menentukan yaitu pertempuran badar dan uhud. Di dalamnya terdapat banyak kata-kata sabar, tetapi kata-kata sabar itu selalu diletakan dalam konteks perjuangan bukan dalam konteks seseorang ditimpa musibah. Dengan demikian dapat diperoleh gambaran dan kesimpulan pengertian bahwa sabar yang aktif itu artinya suatu mentalitas ketahanan belajar, memiliki mental yang kuat untuk tekun belajar dan berusaha keras seoptimal mungkin dengan penuh daya tahan, tidak jemu, tidak bermalas-malasan, tetapi belajar dengan penuh semangat. Selain itu, dalam belajar harus berkonsentrasi karena jika belajar pikirannya bercabang maka tidak bisa optimal. Salah satu bagian dari sabar adalah Hudurul Qalb atau berkonsentrasi.
4. Bekal (biaya)
Setiap perjuangan pasti ada pengorbanan, itulah logikanya, manusia menjalani hidup ini butuh pengorbanan begitupun menuntut ilmu. Biasanya, dalam hal biaya ini menjadi dalih masyarakat yang sangat utama dalam menuntut ilmu khususnya pada pendidikan formal. Sehingga ketika ditanya salah seorang yang tidak belajar di pendidikan formal misalnya, “kenapa kamu atau dia tidak sekolah?” jawabannya sungguh gampang sekali, “saya atau dia tidak sekolah karena tidak punya biaya.
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pendidikan wajib hukumnya bagi setiap muslim, dan dijelaskan lagi dalam hadis
اطلب العلم من المهد الي اللحد
“Tuntutlah ilmu mulai dari rahim ibu sampai liang lahat”. Dari hadis tersebut kita bisa mengetahui long life education bahwa, seumur hidup kita wajib menuntut ilmu. Pendidikan bukan hanya pendidikan formal tetapi non formal pun ada.
Rasul menjanjikan kepada para penuntut ilmu,
ان الله تكفل لطالب العلم برزقه
“Sesungguhnya Allah pasti mencukupkan rezekinya bagi orang yang menuntut ilmu”
Dalam lafal hadis di atas tertulis lafazh takaffala dengan menggunakan fi’il madhy yang aslinya mempunyai arti ‘telah mencukupkan’ yang “seolah-olah” sudah terjadi. Maka lafazh tersebut mempunyai makna pasti, asalkan dibarengi dengan keyakinan terhadap kekuasaan Allah. Dan yakinkanlah bagi para penuntut ilmu walaupun dengan segala kekurangan (biaya) pasti mampu atau bisa menyelesaikan pendidikan. Karena pasti akan ada jalan lain selama manusia berusaha dan yakin terhadap kekuasaan dan pertolongan Allah Al-Yaqinu Lâ Yuzâlu bis-Syak Artinya: ”keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keragu-raguan”. Dan akhirnya maka tidak ada alasan orang tidak bisa menuntut ilmu karena biaya, seperti keterangan sebelumnya carilah jalan lain, solusi lain untuk bisa menuntut ilmu.
5. Bersahabat dengan Guru
Ilmu didapat dengan dua cara. Pertama dengan bil kasbi. Yakni didapat dengan cara usaha keras sebagaimana layaknya pencari ilmu biasa. Ia belajar menuntut ilmu dengan tekun belajar dari bimbingan yang benar. Kedua dengan bil kasyfi. Yakni dengan cara mendekatkan diri kepada Allah Swt secara total. Dengan kedekatannya kepada Allah Swt, Allah akan memberi apa yang ia minta. Cara ini adalah cara untuk orang khusus. Sebagai penuntut ilmu berusahalah semaksimal mungkin untuk dapat mengkorelasikan keduanya. Juga, berusaha semaksimal mungkin untuk mendapat petunjuk guru karena tanpa petunjuk guru dan tanpa taqarrub (ibadah mendekatkan diri) total kepada Allah bisa jadi ilmu tersebut datangnya dari iblis la’natullah ‘alaih. Profesionalisme guru artinya seorang guru harus mampu menguasai pelajaran sesuai dengan bidangnya.
Sebagai guru haruslah mempunyai sifat-sifat yang mencerminkan kemuliaan ilmu dan tabi’at (akhlaq) yang baik. Kita analogikan seorang petani profesional akan merawat tanamannya dari rumput pengganggu, ia akan membasmi hama dan penyakitnya. Demikian pula seorang pendidik haruslah membersihkan dirinya dari segala kebiasaan buruk dalam masyarakat. Ia akan tanggap dan waspada dengan para penyeru maksiat. Hendaklah ia membenahi dirinya sebelum ia menebarkan benih-benihnya. Ia harus menanamnya dalam lahan yang subur. Hendaklah ia menyibukkan diri dengan amal kebaikan, kesibukan-kesibukan akhirat yang akan menjadi tameng dari syahwat dan syubhat. Kemudian sebaik-baik pendidik adalah yang konsisten dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang tercermin lewat akhlak dan amalan-amalannya yang shalih. Cerdas dalam mendeteksi penyakit hati serta berpengalaman dalam mengobatinya, remaja yang tumbuh dari pendidikan—tarbiyah—yang baik maka akan menjadi buah yang segar nan ranum. Ia bermanfaat bagi diri dan masyarakat sekitar.
Beberapa ciri-ciri tabi’at guru (pendidik) yang harus ditanamkan adalah sebagai berikut:
Mencintai pekerjaannya sebagai guru
Adil terhadap semua murid
Sabar dan tenang
Berwibawa (dilihat dari ilmu dan taqwanya) serta kemampuan memengaruhi orang lain
Selalu ikhlas mendoakan muridnya
Berusaha ikhlas mengajarkan ilmunya.
Akibat dari sikap cuek terhadap guru, diungkapkan dalam sebuah pepatah arab:
إن المعـلمَ والطبيبَ كلاهُما لا يَنْصَحَانِ إذا همـا لم يُكْرَمَـا
فاصبر لدائك إن أهنتَ طَبِيبَهُ واصبر لجهلك إن جَفَوْتَ مُعلّما
Sesungguhnya pengajar/guru dan thabib/dokter keduanya tidak akan memberi nasehat jika keduanya belum dihormati. Maka bersabarlah dengan rasa sakitmu jika engkau menjauhi dokter, dan nikmatilah kebodohanmu jika engkau menjauhi guru.
Sementara dalam menghormati guru, Imam Ali bin Abi Thalib berkata:
من علمني حرفا صرت له عبداً
Barang siapa mengajarkan kepadaku satu huruf, maka aku menjadi hamba baginya.
6. Waktu yang lama
Maksudnya selesaikanlah pendidikan itu samapai tuntas, jangan sampai berhenti di tengah jalan
Imam Syafi’I pernah berkata:
ومـــن لــم يذق مـــر التعلم ســـاعة = تجرع ذل الجهـل طـــول حياتــه
ومــــن فاتــه التعليم وقـــــت شبابه = فكبــــر عليه أربعـــــا لـــــوفاته
وذات الفتى – والله – بالعلم والتقى = إذا لـــم يكونا لا اعتبـار لــذاته
Imam Syafi’i Rahimahullah dalam syairnya berkata :
“Barang siapa tidak pernah merasakan pahitnya belajar meski sekejap. Dia akan menelan hinanya kebodohan sepanjang hayatnya
Barang siapa yang ketinggalan belajar waktu mudanya. Maka bertakbirlah 4 kali (shalat mayit) untuk wafatnya (kematiannya)
Jati diri seorang pemuda Demi Allah adalah dengan ilmu dan taqwa. Jika keduanya tiada, dia juga dianggap telah tiada (Diwanus Syafi’i, hal 29)
Imam Syafi’I juga pernah curhat kepada gurunya Imam Waki’ tentang susahnya mendapatkan ilmu:
شكوت الى وكيع سوء حفظي
فأرشدني إلى ترك ترك المعاصي
وأخبرني بأن العلم نور
ونور الله لا يهدى لعاصي
Aku mengadu kepada Imam Waki’i tentang susahnya menghafal atau mendapatkan ilmu. Maka Imam Waki’i memberiku petunjuk untuk meninggalkan maksiat dan mengabarkan kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat.
Dalam sebuah hadis Rasulullah menekankan peranan ilmu sebagai kunci dalam meraih kesuksesan di dunia dan akhirat:
«من أراد الدنيا فعليه بالعلم ومن أراد الآخرة فعليه بالعلم ومن أرادهما معا فعليه بالعلم أيضا»
“Barang siapa yang menginginkan kehidupan dunia, hendaklah dengan ilmu. Siapa yang ingin kehidupan akhirat dengan ilmu. Dan siapa yang menginginkan keduanya (dunia & akhirat) juga dengan ilmu” [HR Bukhari & Muslim]
Namun satu hal yang perlu diingat, walau pun kita meraih kesuksesan, hendaknya kita tetap rendah hati atau tawadhu, sebagaimana diungkapkan dalam sebuah pepatah:
تواضع تكن كالنجم لاح لناظر
على صفحات الماء وهو رفيع
ولاتك كالدخان يعلو بنفسه
الى طبقات الجو وهو وضيع
Bertawadhulah seperti bintang yang jelas nampak terlihat di atas permukaan air padahal ia berada di tempat yang tinggi, dan janganlah engkau seperti asap, yang terus membumbung tinggi, padahal ketika sampai di udara ia menghilang.
Wallahu a’lam bisshowab!


Kamis, 11 Januari 2018

Syarat Menuntut Ilmu Dalam Kitab Ta'limul Muta'allim

SYARAT MENUNTUT ILMU 
DALAM KITAB TA'LIMUL MUTA'ALLIM




Manusia dibedakan dengan makhluk hidup yang lain seperti hewan. Bumi diserahkan kepada hewan-hewan itu sudah siap pakai. Akan tetapi manusia tidak demikian, bumi diserahkan kepada manusia itu sudah siap olah, manusia berkewajiban mengolah. Yang berarti manusia dituntut berupaya, berusaha, dan bekerja keras. Dalam arti belajar dengan tekun bagi para penuntut ilmu untuk mencapai hasil atau tujuan yang diinginkan.
Dengan demikian berarti kerja keras manusia itu adalah bagian dari  kewajibannya. Atau belajar dengan tekun adalah bagian dari kewajiban penuntut ilmu untuk mencapai tujuannya yang lebih baik. 
Menuntut ilmu hukumnya sangat wajib bagi setiap muslim yang berakal, baik miskin atau kaya, orang kampung atau pun orang kota, selama dia berakal sehat wajib hukumnya menuntut ilmu. Dikatakan dalam Hadis :

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَی كُلِّ مُسلِمٍ وَ مُسْلِمَةٍ
“Menuntut ilmu itu sangat wajib bagi setiap muslim laki-laki dan muslim perempuan” —Al-Hadis— 

Dalam kajian hukum Islam, bahwa standar hidup yang ideal bagi manusia adalah Haddul Kifâyah, Lâ Haddul Kafaf (batas kecukupan, bukan batas pas-pasan). Dan kita tahu bahwa kewajiban dalam menuntut ilmu dimulai dari rahim ibu sampai liang lahat. Dengan demikian untuk memenuhi standar hidup yang ideal hendaknya tidak hanya pas-pasan. Dalam kitab “Ta’lim al-Muta’allim” yang ditulis oleh Imam Al-Zarnuji, beliau menulis bahwa syarat-syarat mencari ilmu ada 6, yaitu:

1.     Cerdas. Adalah salah satu syarat untuk menuntut ilmu. Kecerdasan adalah bagian dari pengaruh keturunan jalur psikis. Dari ayah dan bunda yang cerdas akan lahir anak-anak yang cerdas, kecuali adanya sebab-sebab yang memungkinkan menjadi penghalang transformasi sifat-sifat tersebut baik situasi fisis maupun psikis.
      Sehat jasmani dan lemah jasmani, makanan bayi dalam kandungan maupun situasi psikis ayah bunda seperti semangat dan himmah menuntut ilmu, melakukan kejahatan, emosi, maupun warna pikiran akan ikut memberikan pengaruh yang besar bagi keturunan. Itulah buktinya bahwa dari ayah dan bunda yang sama akan lahir anak-anak dengan kondisi fisik, watak, sifat dan kecerdasan yang berbeda.
      Tentang kaitan keturunan dengan ilmu pengetahuan maka kita perlu mengingat bahwa yang diturunkan dari orangtua adalah tingkat kecerdasannya saja bukan kekayaan ilmu pengetahuan. Kekayaan ilmu pengetahuan tidak ada jalan lain kecuali belajar dengan baik. Sabda nabi Saw:
(إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ (الحديث
    “Bahwasanya ilmu itu diperoleh dengan (melalui) belajar”. —Al-Hadis—

      Dan yang menjadi masalah sekarang bagaimana anak yang cerdas (karena keturunan) tetapi tidak memiliki ketekunan dan kesungguhan dalam menuntut ilmu, jawabannya sudah pasti bahwa dia tidak akan menjadi orang pandai/‘Alim.

2. Rakus (punya kemauan dan semangat untuk berusaha mencari ilmu)
      “Kejarlah cita-citamu setinggi langit”. Peribahasa ini memberikan arti bercita-citalah setinggi-tingginya dan raihlah cita-cita itu sampai dimana pun. Peribahasa tersebut memberikan motivasi kepada kita untuk pantang menyerah mengejar cita-cita (pendidikan) kita.
      Orang yang menuntut ilmu haruslah seperti peribahasa di atas: “selalu berusaha dan berusaha menuntut ilmu untuk mencapai cita-cita yang tinggi”.
      Bahkan menurut Imam as-Syafi’i, dalam menuntut ilmu janganlah langsung merasa puas terhadap apa yang telah didapat dan jangan hanya menuntut ilmu di satu daerah saja.


مَافِى الْمَقَامِ لِذِيْ عَقْلٍ وَذِيْ أَدَبٍ  .   مِنْ رَاحَةٍ فَدَعِ اْلاَوْطَانَ وَاغْتَرِبِ
سَافِرْ تَجِدْ عِوَضًا عَمَّنْ تُفَارِقُهُ   .  وَانْصَبْ فَإِنَّ لَذِيْذَ الْعَيْشِ فِى النَّصَبِ

      “Tidak cukup teman belajar di dalam negeri atau dalam satu negeri saja, tapi pergilah belajar di luar negeri, di sana banyak teman-teman baru pengganti teman sejawat lama, jangan takut sengsara, jangan takut menderita, kenikmatan hidup dapat dirasakan sesudah menderita.” (diambil dari kitab Sejarah Hidup dan Silsilah Syekh Kiyai Muhammad Nawawi Tanara Banten yang ditulis oleh H. Rofiuddin. Hal. 4)

Dan ada tiga kategori manusia:
      Berjaya: jika hari ini lebih baik dari kemarin, Terpedaya: hari ini sama seperti kemarin, Celaka: hari ini lebih buruk dari kemarin.

3. Sabar. Dikutip dari bukunya Prof. KH. Ali Yafie “Manusia dan Kehidupan” bahwa manusia pada hakekatnya dihadapkan kepada pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab (tantangan). Seorang manusia harus mampu menjawab berbagai pertanyaan menyangkut kehidupannya yang terkait dengan berbagai tantangan dan persoalan. —2006: 1
      Seorang yang menuntut ilmu sudah barang tentu akan menghadapi macam-macam gangguan dan rintangan. Selain berusaha maka bersabarlah untuk menghadapi semuanya itu, dan perlu diketahui bahwa sabar adalah sebagian dari Iman, “As-Shobru mina al-îmân”. Dan Sabar disini mengandung arti tabah, tahan menghadapi cobaan atau menerima pada perkara yang tidak disenangi atau tidak mengenakan dengan ridha dan menyerahkan diri kepada Allah Swt. Sabda nabi Saw:
اَلصَّبْرُضِيَاءٌ
     “Bersabar adalah cahaya yang gilang-gemilang”.

      Akan tetapi kesabaran disini harus diartikan dalam pengertian yang aktif bukan dalam pengertian yang pasif. Artinya nrimo——menerima— apa adanya tanpa usaha untuk memperbaiki keadaan. Sesuai ajaran agama pengertian sabar dan kata-kata sabar itu misalnya dapat ditemukan di dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran. Yakni satu surat yang terdiri dari 200 ayat yang menjelaskan tentang keseluruhan perjuangan besar dan berat yang telah dilakukan rasulullah Saw sepanjang hidupnya dan itu semua direkam dalam Surat Ali Imran. Ada dua perjuangan berat dan sangat menentukan yaitu pertempuran badar dan uhud. Di dalamnya terdapat banyak kata-kata sabar, tetapi kata-kata sabar itu selalu diletakan dalam konteks perjuangan bukan dalam konteks seseorang ditimpa musibah. Dengan demikian dapat diperoleh gambaran dan kesimpulan pengertian bahwa sabar yang aktif itu artinya suatu mentalitas ketahanan belajar, memiliki mental yang kuat untuk tekun belajar dan berusaha keras seoptimal mungkin dengan penuh daya tahan, tidak jemu, tidak bermalas-malasan, tetapi belajar dengan penuh semangat. Selain itu, dalam belajar harus berkonsentrasi (Khudzurul Qalb) karena jika belajar pikirannya bercabang maka tidak bisa optimal. Salah satu bagian dari sabar adalah Khudzurul Qalb.

4. Bekal (biaya). Setiap perjuangan pasti ada pengorbanan, itulah logikanya, manusia menjalani hidup ini butuh pengorbanan begitupun menuntut ilmu.
      Biasanya, dalam hal biaya ini menjadi dalih masyarakat yang sangat utama dalam menuntut ilmu khususnya pada pendidikan formal. Sehingga ketika ditanya salah seorang yang tidak belajar di pendidikan formal misalnya, “kenapa kamu atau dia tidak sekolah?” jawabannya sungguh gampang sekali, “saya atau dia tidak sekolah karena tidak punya biaya.
      Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pendidikan wajib hukumnya bagi setiap muslim, dan dijelaskan lagi dalam hadis “Tuntutlah ilmu mulai dari rahim ibu sampai liang lahat”. Dari hadis tersebut kita bisa mengetahui bahwa, seumur hidup kita wajib menuntut ilmu. Pendidikan bukan hanya pendidikan formal tetapi non formal pun ada. Rasul menjanjikan kepada para penuntut ilmu,

إنَّ ﺍﷲَتَكَفَّلَ لِطَالِبِ اْلعِلْمِ بِرِزْقِهِ 
“Sesungguhnya Allah pasti mencukupkan rezekinya bagi orang yang menuntut ilmu”

      Dalam lafal hadis di atas tertulis lafazh takaffala dengan menggunakan fi’il madhy yang aslinya mempunyai arti ‘telah mencukupkan’ yang “seolah-olah” sudah terjadi. Maka lafazh tersebut mempunyai makna pasti, asalkan dibarengi dengan keyakinan terhadap kekuasaan Allah. Dan yakinkanlah bagi para penuntut ilmu walaupun dengan segala kekurangan——biaya— pasti mampu atau bisa menyelesaikan pendidikan. Karena pasti akan ada jalan lain selama manusia berusaha dan yakin terhadap kekuasaan dan pertolongan Allah Al-Yaqinu Lâ Yuzâlu bi as-Syak Artinya: ”keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keragu-raguan”. Dan akhirnya maka tidak ada alasan orang tidak bisa menuntut ilmu karena biaya, seperti keterangan sebelumnya carilah jalan lain, solusi lain untuk bisa menuntut ilmu.

5. Petunjuk GuruProfesionalisme Guru
      Ilmu didapat dengan dua cara. Pertama dengan bil kasbi. Yakni didapat dengan cara usaha keras sebagaimana layaknya pencari ilmu biasa. Ia belajar menuntut ilmu dengan tekun belajar dari bimbingan yang benar. Kedua dengan bil kasyfi. Yakni dengan cara mendekatkan diri kepada Allah Swt secara total. Dengan kedekatannya kepada Allah Swt, Allah akan memberi apa yang ia minta. Cara ini adalah cara untuk orang khusus. Sebagai penuntut ilmu berusahalah semaksimal mungkin untuk dapat mengkorelasikan keduanya. Juga, berusaha semaksimal mungkin untuk mendapat petunjuk guru karena tanpa petunjuk guru dan tanpa taqarrub (ibadah mendekatkan diri) total kepada Allah bisa jadi ilmu tersebut datangnya dari iblis la’natullah ‘alaih. Profesionalisme guru artinya seorang guru harus mampu menguasai pelajaran sesuai dengan bidangnya.
      Sebagai guru haruslah mempunyai sifat-sifat yang mencerminkan kemuliaan ilmu dan tabi’at——akhlaq—yang baik. Kita analogikan seorang petani profesional akan merawat tanamannya dari rumput pengganggu, ia akan membasmi hama dan penyakitnya. Demikian pula seorang pendidik haruslah membersihkan dirinya dari segala kebiasaan buruk dalam masyarakat. Ia akan tanggap dan waspada dengan para penyeru maksiat. Hendaklah ia membenahi dirinya sebelum ia menebarkan benih-benihnya. Ia harus menanamnya dalam lahan yang subur. Hendaklah ia menyibukkan diri dengan amal kebaikan, kesibukan-kesibukan akhirat yang akan menjadi tameng dari syahwat dan syubhat. Kemudian sebaik-baik pendidik adalah yang konsisten dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang tercermin lewat akhlak dan amalan-amalannya yang shalih. Cerdas dalam mendeteksi penyakit hati serta berpengalaman dalam mengobatinya, remaja yang tumbuh dari pendidikan—tarbiyah—yang baik maka akan menjadi buah yang segar nan ranum. Ia bermanfaat bagi diri dan masyarakat sekitar.
      Beberapa ciri-ciri tabi’at guru—pendidik—yang harus ditanamkan adalah sebagai berikut:
  • Mencintai pekerjaannya sebagai guru
  • Adil terhadap semua murid
  • Sabar dan tenang
  • Berwibawa (dilihat dari ilmu dan taqwanya) serta kemampuan memengaruhi orang lain
    • Harus gembira
    • Bersifat manusiawi
    • Bekerja sama dengan manusia lain
    • Bekerja sama dengan masyarakat
    • Selalu ikhlas mendoakan muridnya
    • Berusaha ikhlas mengajarkan ilmunya

6. Lama Waktunya. Maksudnya selesaikanlah pendidikan itu samapai tuntas, jangan sampai berhenti di tengah jalan.

Kemudian Pesan dan Prinsip menuntut ilmu tergambar pada kata pepatah sebagai berikut:
   “Berfikirlah di waktu pagi. Bekerjalah di waktu siang. Makanlah di waktu   sore. dan Tidurlah di waktu malam”.

Pada kalimat pertama dalam pepatah mengatakan, “Berfikirlah di waktu pagi”. Mempunyai pengertian agar kita belajar pada usia muda——mulai dari kecil—dengan sungguh-sungguh, tekun, rajin, percaya diri, serta tidak terpengaruh oleh lingkungan.
 Ungkapan tersebut juga menganjurkan agar kita menggunakan waktu sebaik-baiknya, karena kunci keberhasilan dalam menuntut ilmu adalah pandai mengatur waktu secara efektif, dengan mendahulukan aktifitas yang lebih penting dan membuang aktifitas yang kurang penting. Ini dapat dianalogikan sebagaimana uang yang hilang dapatlah dicari gantinya, kesehatan yang terganggu ada obatnya, tetapi bila waktu dan kesempatan yang hilang atau disia-siakan, maka tidak akan ada gantinya untuk selamanya.
Bagi seorang penuntut ilmu, bila di masyarakat hasil belajarnya tidak sesuai yang diharapkan, maka akan mengeluh dan menyesal. Bahkan masyarakat akan mencemoohnya. Hal ini digambarkan oleh seorang penyair :

   “Akan datang kepadamu hari-hari dimana dirimu merasa masih bodoh, dan          akan datang pula berita tentang kekurangan perbekalanmu”.

Bagi seorang penuntut ilmu yang hidup di lingkungan pendidikan, tidak boleh merasa dirinya paling bisa dan bersikap gengsi dengan tidak mau mencari tambahan ilmu. Kisah Nabi Musa a.s. Harus menjadi ibarah. Beliau merasa dirinya paling pandai ketika ditanya oleh umatnya, sehingga Allah memerintahkan Nabi Musa untuk mencari tambahan ilmu kepada Nabi Khadir. Diceritakan dalam Al-Qur’an Surat Al-Kahfi Ayat 66-78, sebagai berikut:
Musa Berkata kepada Khidhr: "Bolehkah Aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang Telah diajarkan kepadamu?"
Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama Aku.
Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?"
Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati Aku sebagai orang yang sabar, dan Aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun".
Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, Maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai Aku sendiri menerangkannya kepadamu".
Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu Telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.
Dia (Khidhr) berkata: "Bukankah Aku Telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku".
Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum Aku Karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani Aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku".
Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, Maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan Karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu Telah melakukan suatu yang mungkar".
Khidhr berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?"
Musa berkata: "Jika Aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, Maka janganlah kamu memperbolehkan Aku menyertaimu, Sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku".
Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, Maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu".
Khidhr berkata: "Inilah perpisahan antara Aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.

Pada kalimat kedua“Bekerjalah di waktu siang”. Pepatah ini mengandung pengertian agar mengamalkan ilmu yang sudah diperoleh, baik dengan mengajar maupun terus mencari tambahan ilmu lagi. Rasulullah Saw, bersabda:

   “Andai kata seseorang boleh merasa cukup dengan ilmunya, niscaya Nabi             Musa-lah yang paling cukup”.

Dalam menuntut ilmu pengetahuan, tidak ada kata berhenti. Dalam arti, seorang penuntut ilmu yang telah selesai pendidikannya dan berkecimpung di masyarakat, tidak bisa mementingkan urusan bisnis dan ekonomi saja, tapi juga harus ikut memecahkan problematika yang muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Motivasi yang harus ditanamkan adalah dengan keikhlasan. Sehingga dengan hal tersebut orang lain akan lebih mudah menghargainya. Sikap ikhlas seseorang dapat diketahui dari tidak adanya pamrih apapun dari orang lain. Seorang penuntut ilmu harus mampu menghormati orang lain, karena bagaimana pun juga seseorang tidak akan bisa sukses dalam mencapai tujuan tanpa ada peran orang lain. Sikap dan perilaku hormat ini digambarkan oleh pesan Abu Bakar r.a kepada tentaranya :

   “Perbaikilah dirimu, maka niscaya orang lain akan berbuat baik     terhadapmu”.

Pada kalimat ketiga“Makanlah di waktu sore”. Pepatah ini mengandung pengertian bahwa jerih payah seseorang yang telah dikerjakan di waktu muda, pada saat tua tinggal memetik hasilnya. Seorang penyair mengatakan :
  
“Karena orang-orangtua dulu telah menanam maka kita dapat memakan buahnya sekarang. Maka kita sekarang dituntut menanam sehingga buahnya dapat dimakan oleh orang-orang yang akan datang”.

Pada kalimat terakhir“Tidurlah di waktu malam”. Artinya ketika engkau wafat, maka wafatlah dengan tenang.  

Mari kita perhatikan persyaratan selanjutnya yang harus dipenuhi bagi penuntut ilmu khususnya bagi penuntut ilmu agama. Ada empat macam persyaratan yang tidak boleh ditinggalkan supaya ilmu yang dipelajarinya menjadi ilmu yang manfaat dan barakah——bertambah kebaikan—.
Pertama: penuntut ilmu, khususnya penuntut ilmu agama ketika keluar dari rumah pergi ke tempat belajar, harus punya niatan semata-mata untuk menghilangkan kebodohan.
نَوَيْتُ طَلَبَ الْعِلْمِ فَرْضًا ِﷲِ تَعلی
“Nawaitu thalaba al-ilmi fardhal lillahi ta’ala”

Kedua: niat menuntut ilmu agama supaya kehidupan kita di dunia fana’ ini berguna dan bermanfaat untuk orang lain. Nabi Muhammad Saw bersabda:

   “Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain”.
Rasulullah Saw mengumpamakan sifat orang mukmin seperti sifat lebah, dalam sabda-nya:
“Sifatnya orang mukmin seperti sifatnya lebah (tawon madu),
1.     Bila makan, yang dimakan adalah halal——yaitu sari bunga yang dihisapnya¯¯,
2.     Bila mengeluarkan, yang dikeluarkan adalah madu, yang bermanfaat bagi kesehatan. Bila kita mengeluarkan pembicaraan, pembicaraan kita harus berguna dan bermanfaat bagi orang lain. Pembicaraannya tidak menyakitkan orang lain.
3.     Bila hinggap di dahan yang lapuk maka lebah tidak merusak (tidak mematahkan dahan yang lapuk yang dihinggapinya).
Ketiga: ketika berangkat menuntut ilmu mempunyai niatan untuk menghidupkan ilmu agama atau meneruskan perjuangan para ulama ketika pulang nanti. Karena, jika mayoritas umat Islam sudah meninggalkan mempelajari ilmu agama, maka ilmu agama akan lenyap dan hilang dengan sendirinya. Seperti yang disinyalir oleh nabi dalam sabda-nya:

“Pelajarilah ilmu agama (tuntutlah ilmu agama dengan bersungguh-sungguh         dan tekun) sebelum ilmu agama itu ditarik, dicabut oleh Allah. Caranya Allah mencabut ilmu agama itu karena wafatnya ulama (yang membidangi ilmu agama itu sendiri)”.

Sedangkan generasi penerusnya enggan untuk mempelajarinya, dengan dalih kalau mempelajari ilmu agama dengan tekun, khawatir masa depannya suram, khawatir tidak bisa kaya, tidak punya jabatan, dan lain-lain seperti yang kita saksikan pada masa sekarang ini.
Ilmu  agama itu diangkat, maksudnya ilmu agama sudah tidak dianggap penting lagi. Tidak mendapatkan perhatian yang serius, memandang ilmu agama dengan sebelah mata dan akhirnya lenyap karena tidak ada yang mempelajarinya.
Keempat: niat menuntut ilmu agama untuk diamalkan. Bukan untuk bangga, untuk menyombongkan terhadap orang lain, tapi diamalkan dikala sudah kembali ketempat masing-masing.

   “Ilmu tanpa amal membahayakan (bagi yang punya ilmu), dan amal tanpa            ilmu menyesatkan (dirinya sendiri dan orang lain)”.

Ketenangan Hati
Segala pekerjaan dilakukan tidak dalam keadaan tenang, maka akan menimbulkan masalah. Begitu juga dengan menuntut ilmu, seyogyanya para penuntut ilmu berkonsentrasi penuh dalam belajar jangan ada keragu-raguan, jangan tergesa-gesa yang akhirnya bisa merusak belajar. Pergunakanlah waktu sebaik mungkin untuk belajar, dengan kata lain tiada hari tanpa belajar. Karena Agama Islam sangat memerhatikan pentingnya soal waktu. Tenangkan hati jangan sampai memikirkan hal-hal yang tidak penting.
Bahwa manusia yang memperoleh kebaikan dalam hidup adalah mereka yang memperoleh ketenteraman batin. Hidup penuh ketenangan, tanpa rasa takut maupun khawatir. Semuanya akan diperoleh mana kala ikhtiyar dan usaha manusia ditopang oleh Taqwa dan Tawakkal. Tawakkal disini berarti kepasrahan setelah berusaha. Penuntut ilmu berusaha belajar setekun mungkin, kemudian berdoa. Itulah yang dimaksud oleh firman Allah Swt:

Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali (kekasih-kekasih) Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak——pula mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa”. (QS. Yunus: 62-63).

Tuntutan Hati
Tuntutan hati dibagi, antara lain:
1.     Ilmu. Bahwa sifat hati selalu ingin tahu sehingga manusia didefinisikan sebagai makhluk yang selalu bertanya atau makhluk filsafat.
2.     Hidayah. Artinya gemar melakukan yang baik, terpuji, menghindari perbuatan yang jelek. Bahkan tiap-tiap perbuatan yang jelek pada hakikatnya bertentangan dengan hati nurani.
3.     Irsyad. Artinya mampu menyerap petunjuk rohani serta mampu membedakan amal yang baik dan jelek.
4.     Taufiq. Artinya mampu melakukan perbuatan yang sesuai dengan tuntutan Rasul Saw, dan akal sehat.
5.     Ma’rifat. Artinya mampu melihat Allah dengan mata hati. Bahkan mata hati adalah satu-satunya alat untuk ma’rifatullah. Tatkala akal dan mata kepala tidak mampu menemukan hakekat Allah.

Kemudian hendaknya para penuntut ilmu dapat memelihara dan membersihkan hati dari sifat-sifat sebagai berikut:
1.     Isti’jal (tergesa-gesa)
Bahwa tergesa-gesa adalah pekerjaan syetan. Pada hakikatnya semua kegiatan——pekerjaan— yang baik dengan niat yang baik bagi mukmin bernilai ibadah. Karenanya harus ditunaikan dengan tenang, tidak tergesa-gesa bahkan harus disertai dengan taqwa dan tawakkal.
2.     Hasad (dengki)
        Tidak senang apabila temannya mendapat nikmat atau berusaha dengan segala macam jalan untuk merebutnya. Kalimat bijak menyatakan:

الْحَسُوْدُ لاَيَسُوْدُ وَلَوْبَلَغَ اْلمَقْصُوْدُ (الكلمةالحكيمة)
            “Orang hasud (dengki) tidak pernah mampu menjadi pemimpin (yang baik)            sekalipun ia telah berhasil merebut kepemimpinan itu (dari tangan orang           lain)”.

       Orang hasud bahkan akan merusak kebaikan bagaikan api melalap kayu bakar. Sebagai mana sabda nabi Saw yang berbunyi:

فَإِنَّ الحَسَد يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الخَطَبَ (الحديث)
“Maka sesungguhnya hasud dapat memakan merusak— kebaikan seperti api melalap kayu bakar”. —Al-Hadis—

       Dengan hasud orang akan menyiksa batin dan dirinya sendiri. Setiap muslim          terhadap orang lain yang memperoleh nikmat harus ikhlas atau bahkan ikut            mensyukuri sambil berusaha dan berdoa kepada Allah, sehingga nantinya akan tiba giliran nikmat untuk dirinya.
3.     Kibr (Sombong)
        Merasa dirinya paling besar, sedang lainnya rendah. Kibr, sifat yang hanya boleh dimiliki oleh Allah Swt. Soal kaya, miskin, pangkat dan tidak, dijadikan Allah sebagai seni kehidupan. Yaitu agar kehidupan ini berjalan harmonis dan saling kasih sayang.
4.     Tulul Amal (Tinggi dan Panjang Angan-angan)
        Berangan-angan terhadap hal yang tidak realistis, melainkan bersifat melamun dan khayalan. Nabi melarang membuang-buang waktu dan melakukan yang tidak berguna. Sebagai mana sabda nabi Saw yang berbunyi:

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ المرءِ تَرَكَ مَا لاَ يَعْنِيْهِ (رواه البخاري)
      Agama juga melarang orang berfikir yang melebihi batas dari jangkauan kemampuannya. Sebagaimana sabda nabi Saw yang berbunyi:

تَفَكَّرُوْا فِي الْخَلْقِ وَلاَتَفَكَّرُوْا فِي الخَالِقِ فَإنَّكُمْ لاَتَقْدِرُوْنَ قَدْرَهُ (رواه أبوالشيخ)
“Berfikirlah kamu sekalian——sebatas— makhluk Allah dan janganlah berfikir (melebihi batas) tentang dzat Allah. Karena sesungguhnya engkau tidak akan mampu mencapai (hakekatnya)”. (HR. Abu Syekh).



Fungsi hati dalam kehidupan manusia:
ü      Tempat menyimpan suara hati (Concience), manusia akan menjadi baik mana kala mau konsisten dengan panggilan hati nuraninya, karena suara hati adalah pantulan dari fitrah jiwanya. (Lihat Surat ar-Rûm, Ayat. 30)
ü      Fungsi seluruh tubuh manusia, yang dimaksud adalah bahwa kebaikan maupun kejelekan seluruh tubuh. Kebaikan seseorang menentukan kesehatan jasmaninya. Sebaliknya hati yang jelek akan besar pengaruhnya terhadap kejelekan jasmani.

Nabi Saw, bersabda:
اَلآ إنَّ فِيْ الجَسَدِ مُضْغَةٌ إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وَإذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ اَلآ وَهِيَ القَلْبُ (رواه البخاري ومسلم)
“Ingat di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila ia baik maka akan baik seluruh anggota tubuh dan apabila ia rusak maka akan rusak seluruh anggota tubuh. Ingatlah itulah hati”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Obat Hati
Adapun beberapa obat hati yang mungkin sudah kita tahu diantaranya, sebagai berikut:
1)      Membaca Al-Qur’an dan makna-nya
2)      Mendirikan Shalat malam (Qiyamullail)
3)      Berkumpul/ bergaul dengan orang saleh
4)      Memperbanyak puasa sunnah
5)      Berdzikir kepada Allah dengan lama pada malam hari.