Kota
santri terang oleh sinar purnama. Semilir angin yang bertiup dari utara membawa
hawa sejuk. Sebagian rumah telah menutup pintu dan jendelanya. Namun geliat
hidup kota santri masih terasa. Di atap masjid pondok pesantren seorang pemuda
berdiri tegap menghadap menara masjid. Kedua matanya memandang.
Namaku Arya.
Aku adalah seorang hamba. Aku terlahir dengan kasih sayang kedua orangtuaku.
Suatu hari kedua orangtuaku menyuruhku untuk menimba ilmu di pondok pesantren,
karena aku terlahir di tengah keluarga yang kurang mampu jadi aku pergi dengan
berjalan kaki. Aku terus melangkah dengan keyakinan. Aku ingin membanggakan
kedua orangtuaku, aku terbayang-bayang kasih sayang mereka.
Awal
hidup di pesantren memang tak semudah yang aku bayangkan. Aktivitas dari bangun
pagi hingga kembali tidur sudah diatur di selembar kertas yang ditempel di
dinding kamar masing-masing. Ketika jam tiga pagi, sudah ada pendamping yang
siap meneriaki kami untuk segera bangun untuk melaksanakan shalat tahajud. Setelah
itu kami harus menghafalkan Al-Quran sembari menunggu adzan subuh tiba
“Sudah
hafal berapa juz, Arya?” kata Kang Khoiron padaku.
“Waduh kang, masih sedikit. Masih tiga juz kang” kataku nyengir.
“Alhamdulillah, terus semangat! Allah menyukai orang-orang yang dekat dengan
Al-Quran. Tapi Arya, sudah coba menguji hafalmu kan?” ujar Kang Khoiron
menambahi perkataanya.
“Sudah kang, sudah saya setor ke Ustadz. Amir lahh…”
“Hahaha, kamu lucu sekali. Bukan itu maksudnya Arya! Begini, maksud saya,
cobalah kamu gunakan hafalanmu ketika shalat sunnah. Perpanjanglah bacaan
dengan surat-surat yang sudah kamu hafal” ujar Kang Khoiron sembari
meninggalkanku.
“Oo begitu… baikklah kang, akan Arya coba. Syukron Mas!” teriakku pada mas Khoiron
yang telah berlalu.
Lalu aku
pergi ke kamar untuk melepas peralatan sholatku dan aku segera bergegas ke
kamar mandi. setelah selesai mandi, aku langsung mengambil piring untuk
mengambil makanan.. Setelah mengambil makanan aku langsung duduk di samping
asrama, Setelah selesai makan aku langsung cuci piring dan siap pergi ke
sekolah.
“Arya,
tungguiin aku dong.” Ucap Dika
“Iya iya cepet” Ucap Arya.
Sepanjang
perjalanan untuk ke kelas aku kelupaan sesuatu yang untuk dibawanya ke kelas.
“Astagfirullah, ada yang kelupaan?” Ucap Arya
“Apaan yang kelupaan?” Tanya Rizal
“Bukuku.. udah kalian duluan saja ke kelasnya nanti aku akan menyusul” Jawab Arya.
Lalu ada
temanku yang menyamperiku dan di tangannya ada kelihatan sebuah buku.
“Arya ini bukumu bukan?” Tanya Alvin
“Iya iya ini bukuku.” Jawab Arya
“lain kali jangan ditinggalkan di kasur ya .” Ucap Alvin
“iya, syukron ya vin” ucap Arya
“Afwan” jawab Alvin. Lalu aku berlari ke kelas, setelah itu di kelasaku belajar
dan mendapatkan berbagai ilmu yang besar dan lumayan banyak. Setelah itu bel
pun berbunyi untuk menandai untuk istirahat
“Arya,
sholat dhuha dulu yuk. mau gak?” Tanya Alvin
“Ok, ajak teman-teman yang lain juga ya” Jawab Arya
Setelah aku mengajak teman-teman yang lain, aku langsung berangkat ke masjid
untuk sholat dhuha.
Setelah
selesai solat dhuha, kami jajan ke kantin tetapi salah satu sepatu teman kami
ada yang hilang.
“Astagfirullah, Dimana ya sepatuku yang sebelah lagi?” Tanya Alvin
“Mungkin kesenggol orang, terus jatuh dan mungkin ketendang kali.” Jawab Rizal
“Akhh… gak mungkin pasti ada yang jail nih” Ucap Alvin.
Kebetulan
salah satu dari kami ada yang menemukan sepatu milik teman kami..
“Vin nih sepatumu” Ucap Dika
“Di mana?” Tanya Alvin
“Nih, di sini” Jawab Dika
“Wah makasih ya sudah ditemukan sepatuku” Ucap Alvin sambil terseyum
“Ya sama-sama” Jawab Dika
Beberapa
saat kemudian bel pun berbunyi
“Ya udah sekarang kita masuk kelas yuk” Ucap Arya sembari meninggalkan
teman-temannya
Akhirnya bel istirahat pun kelar aku dan kawan-kawanku masuk ke kelas mereka
masing-masing. kami pun di kelas ini belajar dengan sungguh-sungguh supaya kami
bisa membanggakan orangtua kami, Belajar adalah usaha kita untuk bisa bersaing
mendapatkan nilai tertinggi.
“Alhamdulillah Dikit lagi Bel pulang dan sholat dzuhur” Ucap Ali di dalam
hatinya
Bel
pulang berbunyi
Setelah kami belajar, kami langsung menuju ke masjid untuk solat dzuhur
berjama’ah. Setelah kami sholat mengambil tas kami, Lalu kita menuju ke
kamarnya masing-masing untuk beristirahat sebentar, biar nanti gak kelelahan
saat muraja’ah.
Bel
menandakan sholat ashar pun dibunyikan aku pun terbangun dari tidurku,
lumayanlah tidurnya gak lama dan gak sebentar. Lalu aku bergegas menuju ke
kamar mandir untuk cuci muka dan wudhu, setelah itu aku langsung mengambil
peralatan sholatku dan memakainya setelah aku pakai aku langsung berangkat ke
masjid.. Sesampai di masjid aku langsung solat tahiyatal masjid dan muraja’ah
hafalan tak berapa lama kemudian azanpun dikumandangkan di sini, Setelah azan
aku pun langsung sholat sunnah dan tak setelah selesai kemudian iqomah pun
dikumandangkan. lalu temanku datang.
“Arya,
ayo kita setoran muraja’ah kita coba tes aku ya” ucap Rizal
“Sebentar, panggil kawan-kawan biar kita muraja’ah bareng-bareng.”. Lalu Arya
memanggil kawan-kawan untuk saling setor menyetor, lalu kami semua langsung
muraja’ah nanti kami saling setor menyetor terhadap teman baru nanti dites oleh
ustad kami, beberapa kemudian ada dari teman kami yang menyetor duluan dan kami
juga gak akan mau kalah dengan dia setelah beberapa menit semuanya langsung
menyetor ke ustadznya..
“ustadz,
saya mau setoran” ucap Arya
“iya sabar satu persatu ya Arya” Ucap ustadz. Akhirnya dari beberapa kami ada
yang sudah menyeselesaikan setorannya, dan terakhir tinggal si rizal sehabis
selesai rizal kami langsung izin ke asrama
Hari
sudah terlampau sore, mentari sebentar lagi akan tenggelam. “Teeett… teeett…”,
terdengar suara bel yang berarti waktu istirahat sudah berakhir. Aku dan
teman-temanku tergesa-gesa menyelesaikan pekerjaannya, yaitu mencuci pakaiannya
di sebuah kolam yang letaknya tidak jauh dari asrama tempat kita tinggal.
“Setelah selesai mencuci pakaian, aku mandi dulu, menjemur pakaiannya nanti
sajalah”, gumamku dalam hati. Arya masuk lewat pintu belakang asrama, dengan
meletakkan handuk di bahunya dan di tangannya membawa perkakas mandi. Tak
dihiraukannya pandangan geram ketua asrama yang sedang menunggu di pintu depan,
siap untuk mengunci pintu.
Setelah
selesai mandi, Arya kemudian menutup pintu belakang, lalu segera memasang
seragam dan mengambil kitab. Dengan tergesa-gesa dia berlari keluar asrama.
Dibiarkannya kancing bajunya yang belum terpasang. Tiba-tiba dia bertemu dengan
kang adam. Dengan ekspresi geram, seakan kang adam ingin menyampaikan sesuatu
kepada Arya
“Setelah
magrib kamu berdiri di mushala!”, kata Kang Adam ketua asrama yang bawel itu
“Hah, kenapa kang?” sahut Arya protes
“Salahmu sendiri, sering terlambat!!, teman-temanmu sudah selesai mengerjakan
pekerjaannya, Cuma kamu yang selalu terlambat dibanding mereka!” Arya terdiam,
tak berani menjawab. Yah, begitulah hari-harinya di pesantren, selalu diampit
waktu, sering terlambat, dan disanksi adalah tiga hal yang tidak dapat
dipisahkan olehnya.
Rasa
rindu kepada orangtua belum lah terobati, tiba-tiba rizal menghampiriku untuk
mengabari bahwa ibuku meneleponku, aku langsung berlari menuju kantor untuk
mengangkat telepon dari ibuku.
“Ayah sehat Bu?” tanyaku kepada Ibu lewat telepon. Ibu hanya terdiam, tiba-tiba
saja terdengar isakan tangis di luar sana
“Ibu, apakah ibu menangis?” tanyaku lagi.
“Ayahmu Arya..” jawab ibu sambil terisak
“Ayah Kenapa Ibu??” tanyaku.
Perasaan ini bercampur antara bingung, resah dan sedih, aku bertanya-tanya pada
hati. Ada apa ini?, apa yang terjadi dengan ayah?
“Ayahmu sudah tidak ada Arya..” ibu menjelaskannya dengan menangis.
Hati ini
begitu sakit bagaikan tertusuk pedang. Aku tak mampu berkata-kata, aku hanya
terduduk lemas menahan air mataku. Ayahku!! Pemilik cinta tanpa akhir
meninggalkanku dan ibu. Ayahku yang mendidikku agar aku menjadi anak yang kuat
telah pergi ke rumah ilahi Teman-temanku yang tau aku menangis langsung
merangkulku dan menepuk pundakku.
“Jangan bersedih temanku… berdirilah dan buat ayahmu bangga padamu…” Kata Rizal
merangkulku. Kata-katanya membuatku bangkit dari jatuh yang sangat menyakitkan.
“Buktikan temanku bahwa kita para santri dapat mengenggam dunia dan
membanggakan bangsa dan agama” kata teman-temanku. Mereka merangkulku
seakan-akan mereka adalah tiang-tiang yang menguatkanku ketika aku jatuh.
Kini aku
sudah dipuncak tingkat menengah akhir. Melegalisir ijazah adalah kegiatan yang
popular di kalangan kami yang baru diwisuda. Ini kegiatan penanda bahwa masa
bersenang-senang disekolah sudah habis, kini tiba waktunya bersaing untuk
mengapai cita-cita kita masing-masing. Aku mendapatkan beasiswa di yaman untuk
melanjutkan studyku, aku semakin yakin bahwa aku pasti mengenggam dunia.
Ketika
aku kembali ke Jombang, aku ingat sekali waktu aku melenggang turun dengan
langkah ringan dari pesawat yang membawaku dari yaman, aku merasa menjelma
seperti tokoh utama di film Hollywood yang melangkah gagah menuruni tangga
pesawat dengan slow motion, ujung-ujung rambut berkibar-kibar ditiup angin dan
adzan maghrib yang mengiringi. Inilah aku seorang anak kampung yang telah
mengenggam separuh dunia, aku tidak menyangka 4 tahun yang penuh kelimpahan ini
telah terlewati. Aku langsung menuju pondok pesantren yang selalu aku rindukan.
Aku naik keatap masjid menghadap menara masjid pondok pesantrenku. Aku
mendongak melihat langit malam.
“Ayah lihatlah Singa kecilmu ini sudah menjadi Singa dewasa yang hebat”. Kataku
sambil memejamkan mata. Rizal menghampiriku dan memegang pundakku. Kami berdua
tersenyum bersama angin malam dan dengan saksi indahku bersama cahaya bulan
purnama di atas pesantrenku.
0 komentar:
Posting Komentar