Sabtu, 16 Desember 2017

Granggang Kiai Subkhi: Kisah Persatuan TNI dan Umat Islam Melawan Penjajah

Granggang Kiai Subkhi: Kisah Persatuan TNI dan Umat Islam Melawan Penjajah



Lasykar bambu runcing di masa perang kemerdekaan. – Foto: Arsip Nasional
Satu Islam, Jakarta – Perang kemerdekaan tak bisa lepas dari ikon ‘granggang’ (bambu runcing.). Senjata tradisional yang dibuat dari bambu yang ujungnya diruncingkan telah dikenal luas. Senjata ini sudah mulai dipakai dalam ketentaraan semenjak pendudukan Jepang. Dari beberapa foto tua tampak prajurit Peta berlatih menggunakan bambu runcing. Mereka memperlakukan bambu runcing layaknya senjata bayonet.
Dan bila pada 5 Oktober  (hari ulang tahun TNI)  maka soal bambu runcing harus juga dibahas. Bahkan, ketika nanti memperingati peristiwa penting lainnya, misalnya ketika Kolonel Sudirman (kemudian menjadi Panglima Besar Jendral Sudirman) berhasil mempecundangi pasukan Inggris di Ambarawa (dikenal dengan Palagan Ambarawa, 15 Desember 1945), ternyata  semangat heroisme pejuang saat itu juga terkait dengan soal bambu runcing.
Apalagi, meski belum banyak yang tahu, amalan dan doa dari Kiai Subkhi itulah yang dilakukan Jenderal Sudirman selama memimpin perang kemerdekaan, adalah hasil ‘ngaji’ beliau dengan KH Subkh, selaku ulama penyeru perlawanan dengan senjata bambu runcing dari Pesantren Parakan, Temanggung, Jawa Tengah.
https://i1.wp.com/satuislam.org/wp-content/uploads/2017/10/Sudirman_2.jpg?resize=477%2C300&ssl=1
Bukan hanya itu, amalan agar  Pak Dirman (sebutan akrab Jendral Sudirman) di dalam memimpin perang gerilya ‘selalu dalam keadaan suci’ atau menjaga wudhu, adalah salah satu ‘petunjuk laku’ dari Kiai Subkhi. Nasihat Pak Dirman,”Bagaimana kamu bisa berjuang melawan penjajah bila dirimu tidak dalam keadaan suci lahir dan batin’ itu merupakan intisari dari ajaran Kiai Subkhi yang leluhurnya adalah berasal dari Pesantren Mlangi, Yogyakarta, yang merupakan kekuatan inti Pasukan Diponegoro. Tak heran bila kemudian ada sebutan bahwa salah satu guru spiritual Jendral Sudirman adalah KH Subkhi tersebut. (Keterangan gambar di atas: Jendral Sudirman singgah di Stasiun Manggarai, 11 November 1946).
Maka ketika  memperingati hari ulang tahun TNI dan juga hadirnya fakta sejarah perjuangan rakyat dengan bermodal senjata tradisionilnya bambu runcing, pada sisi lain memang mau tidak mau juga tak bisa terlepas dari kenangan atas jasa para pejuang lasykar bersenjata umat Islam dan sikap teguh para ulama yang terus memompa semangat rakyat untuk melakukan jihad melawan kekuatan tentara kolonial. Salah satu tokohnya ya Kiai Subkhi ini.
Posisi dan letak pesantren ini yang berada di ‘kota sejuk’ Temanggung dan tak jauh dari salah satu markas utama tentara Belanda yang berada di Ambarawa, memang menjadi tempat strategis untuk menggerakan perlawanan bersenjata. Kekuatan ini menjadi berlipat dengan semburan semangat dan doa dari Kiai Subkhi yang menyerukan perlawanan melawan penjajah Belanda merupakan ajang jihad sebagai bukti kecintaan terhadap tanah air dan bangsa Indonesia.
Saat itu,  kaum muslim, khususnya para pejuang, sangat percaya akan tuah dari bambu runcing bila sudah didoakan oleh Kiai Subkhi. Bahkan saking terkenalnya, masa rakyat beramai-ramai mendatangi pesantrennya. Angkutan kereta api (kini rutenya sudah dimatikan) yang menuju kawasan Temanggung kala itu selalu penuh disesaki penumpang yang membawa sebatang bambu dengan panjang dua meter yang ujungnya diruncingkan itu. Mereka datang untuk meminta ‘karomah’  atau doa dari kiai tersebut.
https://i0.wp.com/satuislam.org/wp-content/uploads/2017/10/kh-subkhi-pengasuh-pesantren-bambu-runcing-tarakan-temanggung-_171006081603-327.jpg?resize=610%2C409&ssl=1KH Subkhi, Pengasuh Pesantren Bambu Runcing Tarakan, Temanggung. – Dok: Republika
Semangat perjuangan kaum santri melawan penjajah yang dicirikan melawan tentara Ingris dan Belanda (sekutu) saat  itu memang bergaung dengan hebat. Tak peduli tua, muda, atau anak-anak mereka ingin pergi berperang. Kalau tidak punya senjata api seperti senapan atau pistol, mereka akan membuat bambu runcing.Dan agar lebih percaya diri mereka membawa senjata tradisonal ‘granggang’ ini ke Kiai Subkhi untuk didoakan.
Akibatnya, bagi para lelaki santri yang tinggal di kawasan Kedua dan Banyumas, pada saat itu, tidak mengherankan bila di rumah sederhananya yang kebanyakan masih terbuat dari bambu, selalu tersimpan bambu runcing yang telah didoakan Kiai Subkhi itu. Di atap langgar, di bawah genteng, pasti terselip beberapa bilah bambu runcing. Juga di rumah para santtri di antara dinding bilik bambu juga  terselip bambu runcing.
Jadi tampaknya kaum santri saat itu sudah merasa harus siap bertempur ketika tentara penjajah datang ke lingkungan atau rumahnya.

Bagi anak-anak, pada saat itu pun banyak yang merengek ingin pergi ke Pesantren Parakan. Tujuannya sama dengan mereka yang dewasa,  yakni meminta doa untuk bambu runcing yang dibuatnya hingga meminta doa kekebalan senjata dan peluru.
Tentu saja keinginan tersebut tak bakal diluluskana oleh para orang tua mereka dengan berbagai alasan. Salah satu argumen yang dipakainya adalah: Yang boleh meminta doa kebal hanyalah orang yang sudah  dewasa (baligh) dan sudah disunat!

“Hanya orang yang sudah sunat saja yang boleh minta doa kekebalan. Yang belum, tentu tidak boleh.
“Coba kamu pikir apabila kamu benar-benar kebal senjata tajam. Terus nanti bagaimana kamu bisa dipotong ‘kulup’-nya (ujung kemaluan pria). Lha ini kan buat repot tukang sunat saja,’’ begitu alasan para orang tua ketika menolak anaknya pergi ke Parakan untuk minta doa kebal kepada Kiai Subkhi.
Antusiasme anak-anak untuk ikut meminta doa kekebalan saat itu memang masuk akal. Alasannya, selain mereka ingin pergi piknik naik kereta api ke Parakan yang terkenal punya jalur pemandangan indah, alasan lainnya adalah dalam soal ‘transfer’ doa kebal dari Kiai Subkhi, saat itu dikabarkan melalui metode atau cara yang sederhana  saja. Hanya berdzikir sebentar, lalu mengucapkan syahadat, shalawat  dan kemudian meminum air putih yang sudah didoakan Kiai Subkhi.
Setelah diberi alasan itu maka anak-anak pun yakin bahwa mereka belum bisa pergi ke Parakan.’’Iya ya..nanti ‘dagingnya alot’. Masa kalau sunat harus pakai pisau besar seperti yang dipunyai pedagang daging di pasar,’’ kata anak-anak menyakinkan dirinya
https://i0.wp.com/satuislam.org/wp-content/uploads/2017/10/lasykar-rakyat-tengah-berada-di-stasiun-kroya-_171006081727-445.jpg?resize=610%2C409&ssl=1Lasykar rakyat tengah berada di stasiun Kroya. – Dok: Republika
Tak hanya para santri pesantren saja, orang tua mereka juga mendorong agar putranya yang menuntut ilmu di pesantren agar membuat bambu runcing yang nantinya akan disuwukan (didoakan) kepada Kiai Subkhi.
Pesantren Parakan di Kabupaten Temanggung ini tentu saja segera menjadi tujuan para pejuang yang datang dari seantero Jawa yang ingin memenangan perang. Dan tak hanya soal doa untuk bambu runcing. di antara mereka tak lupa juga banyak yang meminta agar tubuhnya bisa kebal tusukan dan sabetan senjata tajam, atau kebal dari terjangan peluru.
Dari kisah yang beredar di kalangan mantan pejuang Hizbullah, ‘karomah’ bambu runcing Kiai Subkhi mulai terkenal saat menjelang pertempuran Ambarawa. Pada suatu pagi, seusai mengajar santrinya, Kiai Subkhi berdiri di tengah halaman sembari memegang sebilah ‘granggang’. Tiba-tiba tepat di atas langit pesantrennya, melintaslah pesawat pengebom Belanda yang saat itu memang sangat ditakuti pejuang kemerdekaan. Pesawat itu oleh para pejuang diberi julukan ‘cocor merah’ karena bagian depan pesawat tersebut dilumuri cat berwarna merah.
Nah, karena kesal terhadap pesawat itu, tiba-tiba saja Kiai Subkhi mengangkat bambu runcing yang dipegangnya seraya mengarahkan ujung runcingnya ke arah pesawat Cocor Merah yang tengah melintas di atas kepalanya.’’Allahu Akbar..!’’ kata Kiai Subkhi sembari mengarahkan bambu runcingnya.
Anehnya, entah karena apa, setelah takbir diteriakan dan bambu runcing diarahkan, pesawat Cocor Merah tiba-tiba terlihat oleng. Tak hanya itu, pesawat pengebom itu kemudian menukik kencang ke arah bumi. Semua santri pun terkesima. Dan beberapa jam kemudian, datang laporan dari para pejuang yang menyatakan bahwa ada pesawat Cocor Merah yang terjun ke Rawa Pening. Katanya, pesawat itu mengalami gangguan mesin sehingga pesawat pun jatuh tercebur masuk ke dalam rawa.
Kisah inilah yang kemudian meluas. Menteri agama di era Presiden Sukarno, KH Syaifuddin Zuhri pun mengisahkan: “Berbondong-bondong barisan-barisan Lasykar dan TKR menuju ke Parakan, sebuah kota kawedanan di kaki dua gunung pengantin Sundoro dan Sumbing….. Diantaranya yang paling terkenal adalah Hizbullah di bawah pimpinan Zainul Arifin, Barisan Sabilillah di bawah pimpinan KH Masykur.

“Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia” di bawah pimpinan Bung Tomo,  “Barisan Banteng” di bawah pimpinan dr. Muwardi, Lasykar Rakyat dibawah pimpinan Ir. Sakirman, “Laskar Pesindo” dibawah pimpinan Krissubbanu dan masih banyak lagi.
Sudah beberapa hari ini baik TKR maupun badan-badan kelasykaran berbondong-bondong menuju ke Parakan……”.

KH Saefudin Zuhri yang juga ayah dari menteri agama Lukman Hakim Saefudin, bahkan sempat mengantarkan para terkemuka seperti KH AWahid Hasyim,  KH Zainul Arifin, dan beberapa petinggi negara untuk datang ke Parakan.
Sejak itulah Parakan di dalam masa perang kemerdekaan dikenal sebagai kota ‘ganggrang’ atau bambu runcing!
Sumber: Republika

0 komentar:

Posting Komentar