SANTRI DAN MEDIA SOSIAL
Sebagai agen sosial yang memang harus berkecimpung di tengah masyarakat,
baik dalam skala mikro maupun makro, baik struktural maupun kultural, tentu
santri harus bisa tanggap terhadap perubahan yang bergulir.
Kemunculan hal baru di tengah masyarakat Indonesia, terutama dalam ranah
teknologi informasi, bagaikan pisau bermata ganda. Bisa bermanfaat tetapi juga
berbahaya bagi keselamatan penggunanya. Maka dari itu perlu ada upaya
identifikasi terhadap hal baru tersebut agar bisa diketahui fungsi, sisi
positif, sisi negatif, serta kegunaan pragmatisnya di dalam kehidupan praktis.
Hal inilah yang perlu ditekankan oleh para santri dalam menghadapi media sosial
online semacam Facebook, Twitter, Instagram, dan semisalnya.
Meskipun santri mempunyai pilihan pribadi untuk mengasingkan diri dari
pergaulan dunia maya, namun tidak salah juga jika para santri turut berbaur di
dalam dunia tersebut mengingat posisinya sebagai agen pembawa nilai-nilai luhur
kepesantrenan. Salah satunya adalah pergumulan santri di dunia maya khususnya
media sosial. Tidak anti maupun apriori terhadap hal tersebut. Ketidaktakjuban
santri dalam memandang kecanggihan-kecanggihan di dalam media sosial merupakan
prasyarat utama sebelum benar-benar terjun ke dalamnya. Sehingga sosok santri
benar-benar bisa obyektif dalam menilai sisi positif maupun negatif media
sosial tersebut, agar benar-benar bisa bermanfaat, bukan malah membahayakan
dirinya sendiri apalagi orang lain.
Menjawab Tantangan Zaman: Adaptif-Integratif
di dalam menghadapi segala macam kebaruan dan kemewahan zaman ini kaum
santri tidak hanya harus beradaptasi atau menyesuaikan diri, tetapi juga harus
berintegrasi dengan hal-hal baru tersebut agar tidak terlindas gilingan
modernisasi.
Kebiasaan beradaptasi hanya akan mendorong manusia untuk menyesuaikan diri
dengan realitas, sehingga seorang santri hanya akan memaksakan diri terhadap
sesuatu yang baru sehingga menjadi kebiasaan, seakan-akan ia hanya menjadi
obyek bagi modernisasi. Berbeda dengan integrasi.
Integrasi merupakan tindakan khas dari tindakan demokratis yang fleksibel
menuntut kemampun untuk berpikir dengan kritis. Dengan tindakan integratif ini,
kaum santri tidak hanya menerima menghadapi media sosial hanya sebagai barang
konsumsi, tetapi juga memanfaatkannya sebagai wahana penyaluran gagasan,
pemantauan kondisi sosial, bahkan penularan nilai-nilai transendental maupun
sosial ala pesantren ke ranah masyarakat luas.
Setidaknya ada tiga langkah kongkrit yang bisa dilakukan.
Pertama: Tentu dengan melakukan sosialisasi oleh lembaga
pesantren kepada para santri dengan mengidentifikasi media-media sosial yang
sedang marak dimana-mana, lengkap dengan kegunaan beserta celah maupun
keunggulannya, serta ditimbang dengan neraca agama tentang maslahat maupun
madharat-nya.
Kedua: langkah individual, yakni ketika seorang santri
harus benar-benar menyadari serta membatasi diri dalam mempergunakan wahana ini
secara integratif, bukan hanya adaptif.
Ketiga: langkah kolektif, yakni harus ada jaringan
tersendiri bagi lingkaran dalam kalangan santri sendiri, demi menjaga agar
ikatan tetap erat dan secara langsung mengingatkan tentang identitas serta
peran kesantrian di dalam lingkungan media sosial tersebut.
Kesimpulannya: Arus globalisasi dengan segala macam produknya berupa modernisasi,
kemajuan teknologi informasi, dan maraknya media sosial dimana-mana tidak bisa
diabaikan begitu saja oleh Pesantren dan salah satu unsur utamanya yakni
santri. Sebagai agen sosial yang memang harus berkecimpung di tengah
masyarakat, santri harus bisa tanggap terhadap perubahan yang bergulir. Maka
mau tidak mau, pesantren dengan ikon santrinya harus menyesuaikan diri
(adaptasi) sekaligus membaurkan diri (integrasi) terhadap maraknya media sosial
online.
Adaptasi menuntut penyesuaian diri terhadap hal baru dan kemajuan teknologi
yang muncul. Selain itu dengan tindakan integratif, yakni kaum santri tidak
hanya menerima menghadapi media sosial hanya sebagai barang konsumsi, tetapi
juga memanfaatkannya sebagai wahana penularan ide dan nilai-nilai transendental
maupun sosial ala pesantren ke ranah masyarakat luas.
Sedangkan langkah kongkrit yang bisa dilakukan adalah penyuluhan dari
lembaga pesantren tentang seluk beluk media sosial ditimbang dari maslahat
maupun madharat-nya, ketahanan mental individual setiap santri dalam
menggunakan media tersebut, serta dibentuknya suatu jaringan khusus yang
menampung para santri sebagai wadah untuk saling mengingatkan maupun sharing
informasi kepesantrenan.
0 komentar:
Posting Komentar