Kamis, 07 Desember 2017

Artikel : SANTRI DAN MEDIA SOSIAL

SANTRI DAN MEDIA SOSIAL

Sebagai agen sosial yang memang harus berkecimpung di tengah masyarakat, baik dalam skala mikro maupun makro, baik struktural maupun kultural, tentu santri harus bisa tanggap terhadap perubahan yang bergulir.
Kemunculan hal baru di tengah masyarakat Indonesia, terutama dalam ranah teknologi informasi, bagaikan pisau bermata ganda. Bisa bermanfaat tetapi juga berbahaya bagi keselamatan penggunanya. Maka dari itu perlu ada upaya identifikasi terhadap hal baru tersebut agar bisa diketahui fungsi, sisi positif, sisi negatif, serta kegunaan pragmatisnya di dalam kehidupan praktis. Hal inilah yang perlu ditekankan oleh para santri dalam menghadapi media sosial online semacam Facebook, Twitter, Instagram, dan semisalnya.
Meskipun santri mempunyai pilihan pribadi untuk mengasingkan diri dari pergaulan dunia maya, namun tidak salah juga jika para santri turut berbaur di dalam dunia tersebut mengingat posisinya sebagai agen pembawa nilai-nilai luhur kepesantrenan. Salah satunya adalah pergumulan santri di dunia maya khususnya media sosial. Tidak anti maupun apriori terhadap hal tersebut. Ketidaktakjuban santri dalam memandang kecanggihan-kecanggihan di dalam media sosial merupakan prasyarat utama sebelum benar-benar terjun ke dalamnya. Sehingga sosok santri benar-benar bisa obyektif dalam menilai sisi positif maupun negatif media sosial tersebut, agar benar-benar bisa bermanfaat, bukan malah membahayakan dirinya sendiri apalagi orang lain.
Menjawab Tantangan Zaman: Adaptif-Integratif
di dalam menghadapi segala macam kebaruan dan kemewahan zaman ini kaum santri tidak hanya harus beradaptasi atau menyesuaikan diri, tetapi juga harus berintegrasi dengan hal-hal baru tersebut agar tidak terlindas gilingan modernisasi.
Kebiasaan beradaptasi hanya akan mendorong manusia untuk menyesuaikan diri dengan realitas, sehingga seorang santri hanya akan memaksakan diri terhadap sesuatu yang baru sehingga menjadi kebiasaan, seakan-akan ia hanya menjadi obyek bagi modernisasi. Berbeda dengan integrasi.
Integrasi merupakan tindakan khas dari tindakan demokratis yang fleksibel menuntut kemampun untuk berpikir dengan kritis. Dengan tindakan integratif ini, kaum santri tidak hanya menerima menghadapi media sosial hanya sebagai barang konsumsi, tetapi juga memanfaatkannya sebagai wahana penyaluran gagasan, pemantauan kondisi sosial, bahkan penularan nilai-nilai transendental maupun sosial ala pesantren ke ranah masyarakat luas.

Setidaknya ada tiga langkah kongkrit yang bisa dilakukan.
Pertama: Tentu dengan melakukan sosialisasi oleh lembaga pesantren kepada para santri dengan mengidentifikasi media-media sosial yang sedang marak dimana-mana, lengkap dengan kegunaan beserta celah maupun keunggulannya, serta ditimbang dengan neraca agama tentang maslahat maupun madharat-nya.
Kedua: langkah individual, yakni ketika seorang santri harus benar-benar menyadari serta membatasi diri dalam mempergunakan wahana ini secara integratif, bukan hanya adaptif.
Ketiga: langkah kolektif, yakni harus ada jaringan tersendiri bagi lingkaran dalam kalangan santri sendiri, demi menjaga agar ikatan tetap erat dan secara langsung mengingatkan tentang identitas serta peran kesantrian di dalam lingkungan media sosial tersebut.
Kesimpulannya: Arus globalisasi dengan segala macam produknya berupa modernisasi, kemajuan teknologi informasi, dan maraknya media sosial dimana-mana tidak bisa diabaikan begitu saja oleh Pesantren dan salah satu unsur utamanya yakni santri. Sebagai agen sosial yang memang harus berkecimpung di tengah masyarakat, santri harus bisa tanggap terhadap perubahan yang bergulir. Maka mau tidak mau, pesantren dengan ikon santrinya harus menyesuaikan diri (adaptasi) sekaligus membaurkan diri (integrasi) terhadap maraknya media sosial online.
Adaptasi menuntut penyesuaian diri terhadap hal baru dan kemajuan teknologi yang muncul. Selain itu dengan tindakan integratif, yakni kaum santri tidak hanya menerima menghadapi media sosial hanya sebagai barang konsumsi, tetapi juga memanfaatkannya sebagai wahana penularan ide dan nilai-nilai transendental maupun sosial ala pesantren ke ranah masyarakat luas.
Sedangkan langkah kongkrit yang bisa dilakukan adalah penyuluhan dari lembaga pesantren tentang seluk beluk media sosial ditimbang dari maslahat maupun madharat-nya, ketahanan mental individual setiap santri dalam menggunakan media tersebut, serta dibentuknya suatu jaringan khusus yang menampung para santri sebagai wadah untuk saling mengingatkan maupun sharing informasi kepesantrenan.


0 komentar:

Posting Komentar