Kamis, 14 September 2017

Cerpen Motivasi : Hampa

Cerpen Motivasi

Hampa

Ku rebahkan tubuhku di atas kasur sambil meraih handphone-ku yang berdering nada panggilan dari Ari –sahabatku- sambil menghela nafas panjang aku menekan tombol hijau dan meletakkannya di telinga sebelah kiri.

“Halo!” Jawabku malas.
“Halo! Bro, lo di mana?” Tanya Ari dari seberang saluran telepon.
“Di rumah.” Jawabku singkat.
“Gue lagi di tempat tongkrongan biasa. Kenapa lo nggak ke sini?”
“Nggak tau nih, gue lagi males banget ke tempat tongkrongan. Besok aja gue ke sananya.”
“ Ah! Nggak asik lo! Yaudah deh ntar gue bilang ke anak-anak kalo lo lagi nggak enak badan.”
“Iya, thanks ya bro.” Jawabku singkat sambil mengakhiri pembicaraan dengan menekan tombol merah. Kulempar handphone-ku ke sisi kanan tempat tidur yang sebelumnya telah kumatikan, saat ini aku sedang tidak ingin diganggu.

Akhir-akhir ini perasaanku selalu gelisah tak menentu, entah apa yang terjadi padaku saat ini. Aku merasa hidupku terasa hampa, tak ada yang istimewa dari hidup seorang remaja berusia tujuh belas tahun sepertiku yang setiap hari kerjanya hanya bersenang-senang bersama teman se-genk, meminta uang saku lebih kepada mama –yang bekerja kantoran- hanya untuk hang out bareng mereka. Terkadang aku merasa bersalah karena tidak bisa membantu mama menjalani tugasnya sebagai single parent tapi malah menyusahkannya walaupun mama berkata ia tidak apa-apa. Tapi, mau gimana lagi aku bingung apa yang harus kulakukan untuk mengisi hidupku sendiri yang kutahu bersenang-senang itu adalah satu-satunya cara untuk mengisi hidupku ini. Aku merasa ada sesuatu yang hilang dari diriku sendiri, entah apa sesuatu itu yang jelas itu sangat menyiksa diriku membuat hatiku merasa hampa.

****

Hosh…hosh…hosh.. aku berusaha mengatur napasku saat berhasil melewati pintu gerbang sekolah yang nyaris saja ditutup. Huft… lega rasanya hari ini aku tidak terlambat lagi. Bergegas aku masuk ke dalam kelas XII IPA 5 dan langsung duduk di kursiku. Kembali, perasaan aneh itu muncul lagi terasa sangat hampa dan aneh tentunya karena aku masih tak mengerti dengan yang terjadi padaku.
“WOY!!” Aku tersentak dari lamunanku ketika Ari menepuk pundakku.
“Lo kenapa, Ken?” Ucapnya melihat ekspresi kagetku.
“Eng…enggak pa-pa.” Jawabku singkat.
“Akhir-akhir ini lo aneh banget tau!” Ucap Ari yang sudah dua tahun ini menjadi teman semejaku.
Baru saja aku akan membuka mulut, Pak Jodi –Guru Bahasa Inggris- sudah masuk untuk mengisi jam pelajaran pertama. Tapi, lagi-lagi ada yang aku merasa ada yang salah dengan semua ini sampai-sampai membuatku tak bisa berkonsentrasi menyimak pelajaran.

*****

“KEN!!” Ari menghampiriku dengan Tiger kebanggaannya. “Lo nggak bawa motor?” Tanyanya heran melihatku berjalan lesu menuju pintu gerbang sekolah.
“Gue lagi males bawa motor.” Jawabku dengan wajah lesu.
“Lo kenapa sih, Ken? Lo sakit? Atau lagi ada masalah sama nyokab lo? Akhir-akhir ini lo aneh banget tau, kalo ada masalah cerita dong ke gue.” Ari langsung memberondong pertanyaan padaku.
Huft…aku menarik napas panjang.
“Gue nggak pa-pa, Ri.”
“Yakin, lo? Udah lo naik ke motor gue aja, ntar gue anter pulang.” Ucap Ari, tapi aku menolak tawarannya dengan alasan aku sedang ingin naik busway. Masih dengan wajah cemasnya, Ari kemudian pamit dan melengos pergi.

*****

Aku berjalan di sisi kiri jalan, masih dengan rasa hampa yang terus menghantui perasaanku. Pikiranku menerawang kembali ke waktu di mana Tuhan telah memanggil ayahku dalam kecelakaan kereta api enam bulan silam. Sejak kepergian pria itu, aku merasa ada sesuatu yang hilang dari dalam diriku. Pria itu telah mengajarkan banyak hal pada anak laki-laki semata wayangnya ini. Dia mengajarkanku bagaimana hidup sebagai seorang laki-laki. “Ayah, aku merindukanmu.” Bisik batinku. Tapi, entah mengapa rasa itu datang tiba-tiba.
Aku memang masih mempunyai ibu yang sekarang bekerja kantoran dan selalu pulang larut malam sehingga menyita waktuku untuk merasakan kasih sayang seorang ibu terutama kasih sayang seorang ayah yang telah tiada. Aku memang sudah berusia tujuh belas tahun bahkan beberapa bulan lagi aku akan mengikuti ujian akhir sekolah dan menentukan perguruan tinggi mana yang akan ku pilih. Aku butuh ayah yang suka memberikan saran-saran terbaiknya serta motivasinya yang selalu membuatku bersemangat.

TIIN…TIIN..!! Aku tersentak mendengar klakson motor yang melaju cepat berada tepat dibelakangku. Aku ingin berlari menghindar tapi, Oh tidak! tubuhku apa yang terjadi? Mengapa tidak mau bergerak?
GUBRAK!!! Penglihatanku tiba-tiba menjadi gelap.

*****

Perlahan aku membuka mataku, mendapati diriku sedang terbaring di tikar berwarna merah dengan campuran hijau yang lusuh. Aku memandang ke sekeliling ruangan tempat aku berada, banyak sekali kertas-kertas terpasang di dinding yang tak bisa ku baca karena tulisannya terlalu kecil di lihat dari kejauhan dan satu-satunya foto yang terpasang di dinding terdapat dua orang laki-laki dan satu orang perempuan di dalamnya. Sepertinya itu foto keluarga. Kupalingkan pandanganku ke sebelah kiri tepat di sampingku terdapat sebuah lemari kaca besar yang di dalamnya tersimpan banyak sekali piala, piagam dan penghargaan lainnya.

“Bu! Anak itu udah sadar.” Aku tersentak melihat seorang laki-laki yang kelihatannya sebaya denganku datang menghampiriku. Aku merasa ada yang aneh dengan laki-laki itu, aku mengamatinya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Kaki! Kaki kirinya tidak ada. Hanya tinggal kaki kanan dan paha kirinya saja yang masih ada.
“Kamu heran ya lihat aku seperti ini?” Ucap laki-laki itu seolah-olah dapat membaca jalan pikiranku berjalan menghampiriku dengan tongkatnya untuk sebagai pengganti sementara kaki kirinya.
“Gue ada di mana? Apa yang terjadi?” Tanyaku sambil memegang perban kecil yang menempel di kepala sebelah kiriku.
“Ini rumahku, tadi kamu keserempet motor dan kamu pingsan seharian.” Jelas laki-laki itu.
Lalu, seorang wanita paruh baya dengan senyuman yang ramah membawa segelas teh dan meletakkannya di sampingku.
“Ini saya buatkan teh anget, diminum ya, biar baikan. Saya mau kerja dulu, kamu istirahat di sini aja dulu sampe ngerasa enakan di temenin sama anak saya Dani.” Ucap wanita itu sambil melirik ke arah laki-laki –tanpa kaki kiri itu- yang sekarang sudah duduk di sampingku.

“Terima kasih, tante.” Ucapku sambil tersenyum lalu wanita itu pergi meninggalkan aku dan laki-laki itu.

Aku berusaha berdiri dengan susah payah. Laki-laki yang di panggil Dani itu kemudian mengambil tongkatnya untuk berdiri juga.

“Itu foto aku, ibu dan ayahku.” Ucapnya sambil menunjuk ke arah foto keluarga yang kulihat tadi. “Kalo kertas-kertas itu…” Tiba-tiba ia tersenyum dan matanya menjadi berbinar-binar. “Kertas itu…adalah daftar target yang ingin ku capai dalam hidupku.”
Aku membaca salah satu kertas itu yang tertera nomor 299 pada urutan akhir berisi tulisan.
Aku ingin bisa berlari seperti dulu. Gleg… aku merasa iba padanya.
“Aku mulai nulis target-target ini semenjak kepergian ayahku dalam kecelakaan kereta api dua tahun silam..” Kecelakaan kereta? Ayah? Ia senasib denganku..
“Trus apa hubungannya semua target-terget ini dengan meninggalnya ayah lo?” Tanyaku dengan jantung berdebar kencang nyaris copot pada tempatnya.
“Karena..” Dani tersenyum ke arah foto keluarga yang tergantung di dinding. “Karena Ayah adalah pria yang sangat aku sayangi, darinya aku belajar untuk hidup sebagai laki-laki.” Gleg…lagi-lagi sama, Oh Tuhan! apa maksud semua ini? Bisikku dalam hati. “Sejak beliau meninggal, hidupku jadi nggak karuan, karena nggak ada lagi ayah yang menasihati untuk hidup dan tegar sebagai seorang laki-laki, nggak ada lagi ayah yang…” Ia terdiam sebentar. “Jadi, aku buat target ini karena aku mau ayah di alam sana ayah bangga dan nggak sia-sia selama ini membimbing aku buat ngejalanin hidup meski sekarang keadaanku seperti ini.” Dani melirik ke kaki kirinya yang kini hanya tinggal setengah, ia berusaha tersenyum meski air matanya sudah mengembang di pelupuk matanya.

“Jadi, lo buat target-target ini karena pengen buat ayah lo bangga?” Tanyaku dengan suara bergetar. Dani hanya menganggukkan kepalanya dan tetap berusaha tersenyum. “Trus ibu lo gimana?”
“Ibuku sekarang kerja jadi kuli cuci baju buat makan sehari-hari dan aku bekerja sambilan dagang nasi uduk di depan rumah buat bayar sekolahku. Gini-gini aku bisa jago masak juga lho!” Ucapnya sambil mengacungkan jempol ke arahku.
“Sekolah?” Tanyaku heran.
“Iya, karena sekarang aku udah kelas tiga SMA jadi aku harus terus berjuang hingga lulus nanti dan dapetin beasiswa buat kuliah. Dan itu adalah salah satu targetku juga.”
“Piala sebanyak ini lo dapetin hanya dalam waktu dua tahun?” Tanyaku takjub melihat lemari kaca besar itu.
“Enggak juga sih, aku baru dapet dua puluh piala dalam waktu dua tahun, dan sisanya itu berkat dukungan dari ayah. Dan dari kemenangan-kemenangan ini aku berharap juga bisa menang dalam hidup ini.”

Deg…deg…jantungku berdebar semakin cepat anak yang sedang berdiri di depanku senasib denganku tapi, aku masih jauh lebih beruntung daripada dia. Ayah kami memang sudah meninggal akibat kecelakaan kereta api walaupun waktu kejadiannya tak sama. Tapi, setidaknya aku masih beruntung karena aku tidak kehilangan kaki kiriku dan juga kehidupanku masih jauh lebih layak darinya. Tapi, justru ketegaranku yang kalah darinya. Ia sangat tegar menghadapi cobaan ini bahkan ia mambuat target-target yang ingin dicapainya dalam hidup ini untuk membuat ayahnya di alam sana bangga dan tak menyesal mempunyai anak seperti dia.

Oh Tuhan! Mengapa aku menjadi pecundang seperti ini? Tanpa banyak berpikir lagi aku langsung berpamitan pada Dani dan mengucapkan banyak-banyak terima kasih karena ia dan ibunya telah menolongku. Aku terus berlari dengan perasaan lega karena aku telah menemukan jawaban dari rasa kehampaan hatiku ini. Ayah memang sudah tiada tapi, aku bisa membuktikan padanya bahwa ia adalah ayah yang terbaik untukku dan aku tidak akan menyia-nyiakan hidup ini lagi.
Aku berlutut di samping makam ayah, meremas tanah merah yang sudah mulai mengering sejak 6 bulan lalu.

“Ayah, terima kasih atas segala yang kau berikan untuk anakmu ini selama ini. Aku berjanji tidak akan menyia-nyiakan hidup ini lagi dan aku berjadi akan menjaga ibu. Love you forever dad!” Kataku sambil mencium papan nisan ayah.

*****

Saat aku membuaka pintu rumah, aku mendapati mama yang tertidur di sofa. Kulihat jam di dinding yang menunjukkan pukul satu siang. Mama enggak berangkat kerja? Pikirku. Aku menghampiri tubuh wanita paruh baya yang terlihat seperti malaikat yang sedang terbaring, lalu kuselimuti tubuhnya dengan selimut milikku.

“Maafkan atas segala kesalahanku, karena telah menyia-nyiakan kasih sayang yang engkau berikan selama ini. Aku sudah berjanji pada ayah untuk selalu menjagamu dan tidak akan menyia-nyiakan hidup ini lagi. Aku berjanji dan ini adalah target pertama dalam hidupku yang akan kucapai suatu hari nanti.” Kataku tersenyum lega, lalu aku mencium kening malaikatku ini.

0 komentar:

Posting Komentar